Masnellyarti Hilman |
JAKARTA – Dedikasi Masnellyarti Hilman patut diacungi jempol. Meski sudah memasuki masa pensiun, pejabat senior Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) ini masih bersedia hadir untuk memberi keterangan sebagai saksi, di persidangan kasus bioremediasi. Bahkan wanita 60 tahun ini sempat dimarahi jaksa, saat sibuk memberikan penjelasan dan membolak-balik setumpuk data yang dibawanya.
Nelly yang sudah memasuki masa pensiun sejak 1 Juli 2013, hadir sebagai saksi dalam persidangan kasus bioremediasi dengan terdakwa karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipkor) Jakarta, Kamis, 1 Agustus 2013.
Persidangan yang dijadwalkan untuk dimulai pukul 09.00 WIB itu, terpaksa menggunakan ruang sidang yang lebih kecil, gara-gara Majelis Hakim terlambat datang, dan ruang sidang yang sudah disiapkan digunakan untuk persidangan kasus lain yang Majelis Hakimnya sudah lebih dulu siap. Akibatnya ruangan terasa penuh sesak.
Toh kondisi ini tidak menyurutkan semangat Nelly yang sedang berpuasa Ramadan, untuk memberikan keterangan. Maklum, sepanjang proyek bioremediasi Chevron berlangsung hingga kasusnya bergulir ke pengadilan, Masnellyarti Hilman menjabat Deputi IV Bidang Pengelolaan Limbah B3, Pengelolaan B3 dan Pengelolaan Sampah KLH.
Dalam persidangan itu, Nelly banyak menjelaskan bagaimana KLH melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan bioremediasi oleh pelaku industri, termasuk Chevron. Mulai dari izin yang diberikan, perpanjangan izin, hingga keharusan menyelesaikan program pembersihan tanah tercermar limbah sesuai mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Lingkungan Nomor 32 Tahun 2009.
Nelly juga menjelaskan sejauh mana penerapan Keputusan Menteri (Kepmen) LH Nomor 128 tahun 2003 tentang “Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi Secara Biologis”. Regulasi ini merupakan payung hukum pelaksanaan bioremediasi di industri minyak dan gas bumi (migas) Indonesia.
Kesimpulannya, seperti yang sudah pernah ditegaskan Nelly dalam beberapa persidangan sebelumnya, kegiatan bioremediasi yang dilaksanakan Chevron, sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebelumnya, Nelly juga dihadirkan sebagai saksi di persidangan bioremediasi, untuk terdakwa Herland bin Ompo, Ricksy Prematuri, Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, dan Widodo.
Meski persidangan yang menghadirkan Nelly sebagai saksi, lebih banyak mengungkap berbagai keterangan ilmiah, namun susana panas sulit dihindari. Situasi ini diakibatkan salah satu anggota Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni Jaksa Marbun, yang kerap marah-marah karena menilai keterangan Nelly bertele-tele. Seakan lupa bahwa berada di hadapannya adalah wanita usia 60 tahun yang dihadirkan sebagai saksi, dan harus membuka tumpukan data guna memberikan penjelasan yang tepat.
Penasehat hukum terdakwa sampai berkali-kali mengingatkan, Masnellyarti Hilman yang sedang dicecar JPU adalah saksi. “Mestinya saksi yang dihadirkan dihargai, dan diberi keleluasaan untuk menjelaskan persoalan sesuai kompetensinya. Sehingga tidak patut diperlakukan seolah orang yang sedang diadili,” tutur salah seorang penasehat hukum terdakwa, Maqdir Ismail. Hakim Ketua Antonius Widijantono juga ikut menegur jaksa, agar tidak marah-marah dalam meminta keterangan pada saksi.
Nelly sendiri telah mengabdi di KLH sejak 1980. Pada 1 Juli 2013 lalu, ibu dua anak kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat ini memasuki masa pensiun. Namun ia tetap menunjukkan dedikasinya dengan hadir sebagai saksi ke persidangan, guna menjelaskan proyek lingkungan yang pernah diawasinya.
Sejak permulaan sidang hingga akhir, Nelly dibantu oleh seorang stafnya untuk membuka tumpukan data yang dibawanya ke persidangan. Semoga, Nelly yang selama menjabat dikenal “galak” terhadap perusahaan pelanggar UU Lingkungan, tidak kapok setelah dimarahi jaksa. Dan masih bersedia hadir di persidangan guna turut mengungkap kebenaran.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Klik Dunia-energi.com
Toh kondisi ini tidak menyurutkan semangat Nelly yang sedang berpuasa Ramadan, untuk memberikan keterangan. Maklum, sepanjang proyek bioremediasi Chevron berlangsung hingga kasusnya bergulir ke pengadilan, Masnellyarti Hilman menjabat Deputi IV Bidang Pengelolaan Limbah B3, Pengelolaan B3 dan Pengelolaan Sampah KLH.
Dalam persidangan itu, Nelly banyak menjelaskan bagaimana KLH melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan bioremediasi oleh pelaku industri, termasuk Chevron. Mulai dari izin yang diberikan, perpanjangan izin, hingga keharusan menyelesaikan program pembersihan tanah tercermar limbah sesuai mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Lingkungan Nomor 32 Tahun 2009.
Nelly juga menjelaskan sejauh mana penerapan Keputusan Menteri (Kepmen) LH Nomor 128 tahun 2003 tentang “Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi Secara Biologis”. Regulasi ini merupakan payung hukum pelaksanaan bioremediasi di industri minyak dan gas bumi (migas) Indonesia.
Kesimpulannya, seperti yang sudah pernah ditegaskan Nelly dalam beberapa persidangan sebelumnya, kegiatan bioremediasi yang dilaksanakan Chevron, sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebelumnya, Nelly juga dihadirkan sebagai saksi di persidangan bioremediasi, untuk terdakwa Herland bin Ompo, Ricksy Prematuri, Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, dan Widodo.
Meski persidangan yang menghadirkan Nelly sebagai saksi, lebih banyak mengungkap berbagai keterangan ilmiah, namun susana panas sulit dihindari. Situasi ini diakibatkan salah satu anggota Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni Jaksa Marbun, yang kerap marah-marah karena menilai keterangan Nelly bertele-tele. Seakan lupa bahwa berada di hadapannya adalah wanita usia 60 tahun yang dihadirkan sebagai saksi, dan harus membuka tumpukan data guna memberikan penjelasan yang tepat.
Penasehat hukum terdakwa sampai berkali-kali mengingatkan, Masnellyarti Hilman yang sedang dicecar JPU adalah saksi. “Mestinya saksi yang dihadirkan dihargai, dan diberi keleluasaan untuk menjelaskan persoalan sesuai kompetensinya. Sehingga tidak patut diperlakukan seolah orang yang sedang diadili,” tutur salah seorang penasehat hukum terdakwa, Maqdir Ismail. Hakim Ketua Antonius Widijantono juga ikut menegur jaksa, agar tidak marah-marah dalam meminta keterangan pada saksi.
Nelly sendiri telah mengabdi di KLH sejak 1980. Pada 1 Juli 2013 lalu, ibu dua anak kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat ini memasuki masa pensiun. Namun ia tetap menunjukkan dedikasinya dengan hadir sebagai saksi ke persidangan, guna menjelaskan proyek lingkungan yang pernah diawasinya.
Sejak permulaan sidang hingga akhir, Nelly dibantu oleh seorang stafnya untuk membuka tumpukan data yang dibawanya ke persidangan. Semoga, Nelly yang selama menjabat dikenal “galak” terhadap perusahaan pelanggar UU Lingkungan, tidak kapok setelah dimarahi jaksa. Dan masih bersedia hadir di persidangan guna turut mengungkap kebenaran.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Klik Dunia-energi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar