Pertengahan tahun 2012, bioremediasi yang dilakukan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dinilai fiktif oleh kejaksaan agung (Kejagung). Pengadilan Tipikor Jakarta tengah mengadili 5 terdakwa. Mereka adalah Ricksy Prematury (Direktur PT Green Planet Indonesia), Herlan Bin Ompo (Direktur Sumigita Jaya), Endah Rumbiyanti alias Rumbi (Manajer Lingkungan SLN/SLS PT CPI), Widodo (Team Leader Sumatera Light North PT CPI) dan Kukuh Kertasafari (Team Leader SLS). Mereka berlima didakwa atas dugaan korupsi proyek normalisasi lahan tercermar minyak atau bioremediasi lahan di Riau.
Sebagaimana diketahui, CPI merupakan perusahaan eksplorasi minyak bumi yang terikat production sharing contract (PSC) dengan BP Migas (sekarang berubah menjadi SKK Migas). CPI, selaku perusahaan PSC, mempunyai salah satu kewajiban yaitu memulihkan lahan-lahan yang tercemar akibat operasi dan eksplorasi.
Dalam pelaksanaan bioremediasi, CPI menggelar tender di sejumlah lokasi yang menjadi wilayah kerja operasinya. Sepanjang tahun 2006 sampai 2012, ada puluhan tender yang digelar CPI. PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya memenangkan sejumlah tender yang dilakukan dengan seleksi yang ketat dan transparan.
Negara mengalami kerugian?
Keputusan Kejagung yang menetapkan 5 tersangka dalam kasus ini tentu bukan tanpa alasan. Kejagung menduga bioremediasi tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya alias fiktif maka proyek bioremediasi tersebut dianggap merugikan keuangan negara.
Hakim persidangan menjelaskan bahwa dengan tidak dilakasanakan proyek bioremediasi sesuai permen Negara mengalami kerugian karena biaya bioremediasi diambil dari cost recovery Negara. Cost recovery merupakan suatu bentuk investasi tidak langsung Pemerintah Indonesia dalam kegiatan hulu migas. Jika pun benar bioremediasi ini benar fiktif adanya, Ricksy dan Herlan adalah kontraktor-kontraktor yang bekerja sama dengan CPI, kontrak yang jelas antara sesama swasta.
Kemudian berdasarkan pada hubungan kontraktual (perdata) berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi di bidang pertambangan hubungan antara negara dan investor (CPI) adalah equal. Indonesia sebagai pemilik SDA dan CPI sebagai kontaktor. Sehingga, penyelesaian perselisihan antara kedua belah pihak yang terkait dengan pelaksanaan suatu kontrak adalah tunduk kepada hukum kontrak/ hukum perdata. Artinya, penyelesaian permasalahan hukum yang ditimbulkan oleh kontrak, ditempuh sesuai mekanisme yang telah disepakati dalam kontrak.
Saksi Ahli Tidak Kredibel
Diduga laporan awal kasus ini berasal dari Edison Effendi, yang pernah beberapa kali mengikuti tender proyek bioremediasi di CPI tetapi kalah. Anehnya, Edison kemudian justru diangkat sebagai ahli yang digunakan jaksa untuk mengambil sampel tanah tercemar di area Chevron yang kemudian digunakan untuk menyusun dakwaan dalam kasus ini.
Dari tingkat penyelidikan hingga penyidikan, Kejagung menjadikan Edison sebagai ahli utama untuk mengambil sampel tanah tercemar di areal Chevron. Teknik sampling yang dilakukan Edison menyalahi banyak aturan, termasuk lokasi pengambilan sampel. Edison dan timnya menguji tanah tercemar dari sumber tanah di Minas untuk kontraktor PT Green Planet Indonesia (GPI). Padahal, PT GPI tak pernah bekerja di Minas, tetapi di Sumatera Light North, yaitu di Libo, Pematang, dan Mutiara yang jaraknya tiga jam perjalanan dari Minas.
Kejanggalan lainnya sang saksi ahli tidak berhenti sampai disitu, Saksi ahli mengemukakan bahwa menurut Kepmen sampel tanah tercemar dapat diwakili jika diambil di daerah Rasuna Said (Jakarta). Suatu pernyataan yang sangat janggal, jelas sampel tersebut tidak representatif dengan lokasi kejadian yang berada di Riau.
Rendahnya Kredibilitas Perhitungan Kerugian Negara
Juniver Sinaga saksi ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyimpulkan terjadi kerugian keuangan negara berdasarkan perhitungan dan laporannya semata-mata dari keterangan dari Edison Effendi, tidak melakukan upaya investigasi lebih sebelum mengambil kesimpulan.
Menurut ahli keuangan negara Arifin P Surya Atmadja, BPKP tidak punya kewenangan menghitung kerugian negara. Sesuai UU No. 15 tahun 2005, lembaga yang berhak mengaudit adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Karena BPKP tidak mempunyai kewenangan menghitung kerugian negara maka hasilnya pun menjadi tidak sah dan tidak bisa dijadikan alat bukti.
Kejanggalan lain menyangkut nilai kerugian keuangan negara. Terdapat perbedaan antara jumlah yang dilaporkan dalam laporan Terjadinya Tindak Pidana yang ditandatangani oleh Kasubdit Tindak Pidana Korupsi Kejagung dengan apa yang disampaikan saksi ahli dalam pengadilan Tipikor.
Di dalam Surat Dakwaan Jaksa yang menjadi dasar adalah Kepmen LH No.128 Tahun 2003 tentang konsentrasi minimal tanah tercemar (TPH/Total Petroleum Hidrokarbon). Dalam surat dakwaan tersebut Jaksa menulis: Konsentrasi minimal tanah tercemar (TPH/Total Petroleum Hidrokarbon) +7.5 – 15 % dengan standar hasil bioremediasi TPH ≤ 1 %. Padahal, Kepmen LH tersebut menyebutkan: “Konsentrasi maksimum TPH awal sebelum proses pengolahan biologis tidak lebih dari 15%” dan hasil TPH Akhir pengolahan adalah ≤ 1 %. Jelas sekali Jaksa telah melakukan rekayasa fakta.
Kesimpulan
Kasus ini semakin mencoreng wajah hukum di Indonesia. Sejak awal penyelidikan, penyidikan, hingga persidangan, kasus ini penuh kejanggalan dan keganjilan. Bioremediasi adalah opsi mitigasi dampak lingkungan dari cemaran limbah minyak bumi. Berdasarkan prinsip PSC jika memang terbukti ada permasalahan dalam pelaksanaan kontrak, mestinya masuk ranah hukum perdata. Namun oleh kejaksaan dipaksa digusur ke ranah hukum pidana.
Padahal jelas banyak dukungan yang mengalir dari beberapa ahli bioremediasi bahkan KLH yang menyatakan bahwa kasus ini terlalu dipaksakan muncul karena bioremediasi yang berjalan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan, entah ada kekuatan apa yang membuat kasus ini tetap diproses.
Semakin terlihat ketika fakta-fakta ilmiah tidak bisa beriringan dengan proses hukum yang diterapkan di Negara kita. Entah akhir seperti apa drama kasus ini? Ranah sumber daya energi terutama minyak bumi memang lahan “basah” yang menguasai hajat orang banyak, sehingga wajar apabila banyak intrik dan polemik yang mengitarinya. Adakah kepentingan khusus yang bersembunyi di dalam kasus ini ataukah ini adalah cerminan dari orang-orang yang tidak amanah dalam tanggung jawab yang diberikan?
Salam,
Shafira Adlina
Grup Diskusi FC3 Energi dan Lingkungan, Forum Indonesia Muda
Klik Link
Tidak ada komentar:
Posting Komentar