Banyak yang bertanya kepada saya ketika kasus bioremediasi Chevron (CPI) mulai menjadi isu nasional. Saya cukup bingung, kenapa pertanyaan itu dilemparkan ke saya, yang notabene bukan siapa-siapanya Chevron. Setelah coba saya renungi, mungkin sebabnya adalah karena saya berasal dari Riau. Saya sering berbicara tentang lingkungan, terutama di Riau, dikarenakan kapasitas saya sebagai mahasiswa Kimia Lingkungan di UGM, Yogyakarta. Sehingga mendengar bioremediasi adalah hal biasa selama masa-masa perkuliahan.
Walau begitu, tak banyak yang bisa saya komentari mengenai kasus bioremediasi di CPI, bukannya karena saya tak mengerti masalah bioremediasi, tetapi lebih karena memang saya tidak mengetahui secara pasti tentang proyek bioremediasi yang dilakukan oleh CPI di wilayah Sumatera itu, terlebih lagi pegawai CPI yang saya tanyakan mengenai proyek ini agak sedikit “pelit” memberi informasi yang mumpuni.
Sebelum beranjak lebih jauh membahas mengenai hal ini, mengetahui pengertian mengenai bioremediasi sangatlah penting. Bioremediasi adalah salah satu metode pengolahan limbah dengan bantuan mikroorganisme (bakteri). Dalam hal ini limbah yang akan diolah tersebut adalah minyak bumi yang tercecer ke lingkungan, terutama di tanah.
Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 128/2003, proses bioremediasi dikatakan berhasil, jika Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) kecil dari 1%. Selain itu, senyawa-senyawa Poly Aromatic Hydrocarbon (PAH) lainnya, seperti Benzena, Toluene, Etil Benzena, Xylene (BTEX) harus dalam kondisi seminimum mungkin. Senyawa-senyawa kimia yang disebutkan ini adalah golongan senyawa yang sangat toksik dan dapat terakumulasi dalam waktu yang cukup lama dalam tubuh makhluk hidup, termasuk manusia di dalamnya.
Proses bioremediasi dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu in situ atau ex situ. Jika in situ, proses pengelolaan limbah dengan bioremediasi ini dilakukan langsung di tempat yang terpapar limbah berbahaya. Sementara itu pada ex situ, tanah yang terpapar limbah berbahaya tersebut dipindahkan kepada suatu tempat yang dinamakan fasilitas bioremediasi tanah (berupa galian tanah). Di tempat tersebut kemudian tanah-tanah terpapar limbah minyak diolah secara bioremediasi. Menurut Kepmen LH No. 128/2003 lagi, proses ini berlangsung selama 3-4 bulan.
Untuk keberlanjutan proses bioremediasi, sejatinya tanah yang telah dibioremediasi bisa digunakan kembali untuk ditanami berbagai jenis tanaman. Hal ini turut menjadi indikator keberhasilan proses bioremediasi, dimana kandungan TPH atau BTEX tidak terdistribusi ke tanaman (buah, bunga, batang, akar, atau daun) atau kalaupun terdistribusi berada tidak melebihi ambang batas yang telah ditetapkan oleh berbagai instansi kesehatan. Bayangkan jika tanah-tanah itu tidak bisa digunakan kembali, maka akan sangat banyak lahan yang dibutuhkan dan akan sangat banyak pula membiarkan lahan-lahan kosong beracun yang suatu saat berpotensi digunakan oleh masyarakat.
Realita atau Kebohongan?
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah proses bioremediasi yang dilakukan oleh CPI Sumatera beserta pihak ketiga yang ditunjuk seperti yang teori yang telah saya sebutkan? Nah, itu kemudian yang kita sama-sama pertanyakan sebagai orang yang berada di luar sistem tersebut.
Jika melihat penghargaan PROPER kategori Hijau yang diberikan oleh Kem LH pada 2011, kita mungkin saja turut mengaminkan bahwa memang benar PT CPI telah melakukan proses pengelolaan lingkungan dengan tingkat tinggi, termasuk proses bioremediasi di wilayah Sumatera. Tentu ini bukan penghargaan sembarang, karena pastinya kajian ini juga melibatkan berbagai peneliti-peneliti dari berbagai universitas terkenal di negeri ini. Lihat saja, banyak peneliti-peneliti turut “membela” kepentingan CPI dengan membenarkan proses bioremediasi yang dilakukan di wilayah Sumatera tersebut.
Tapi menjadi menarik ketika Kejaksaan Agung (KA) malah tidak semudah itu percaya dengan penghargaan PROPER kategori Hijau yang diberikan Kem LH. Buktinya mereka membeberkan beberapa fakta mengenai kefiktifan proyek bioremediasi yang dilakukan oleh pihak CPI, sekalipun banyak peneliti-peneliti tadi mencibir hal yang dilakukan oleh KA ini. Sampling dan proses analisis yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung turut dipertanyakan.
Mengingat proses bioremediasi ini membutuhkan 3-4 bulan, dimungkinkan saja KA memantau ke lokasi pengelolaan limbah pada masa-masa inkubasi tersebut, sehingga tidak tampak aktivitas pengelolaan sama sekali. Tapi cukup mengherankan juga jika memang seperti ini adanya, karena seharusnya proses bioremediasi walau membutuhkan inkubasi 3-4 bulan, seharusnya ada aktivitas yang dilakukan hampir setiap harinya, seperti proses pembajakan dan pembalikan ataupun proses penyiraman.
Indikasi Penyelewengan Anggaran Negara
Keputusan KA yang menetapkan 5 tersangka dalam kasus ini, dimana dua orang berasal dari kontraktor sebagai pihak ketiga yang menangani proyek bioremediasi di CPI wilayah Sumatera dan tiga orang lagi berasal dari karyawan CPI, bukan tanpa alasan. Menurut KA ada indikasi penyelewengan anggaran negara dari total 9,9 juta dolar AS yang telah digunakan oleh CPI untuk proyek remediasi selama ini.
Menurut anggota komisi energi DPR, Satya Widya Yudha dalam diskusi Energy and Mining Editor Society (E2S) di Jakarta beberapa waktu yang lalu mengatakan bahwa besaran nilai proyek bioremediasi yang dilakukan oleh CPI dimintakan kepada pemerintah melalui mekanisme Cost Recovery. Cost Recovery merupakan suatu bentuk investasi tidak langsung Pemerintah Indonesia dalam kegiatan hulu migas. Namun di beberapa kesempatan Manager Corporate Communication PT CPI, Dony Indrawan mengatakan bahwa anggaran proyek bioremediasi dimasukkan dalam biaya operasi.
Lepas dari semua itu, jika memang benar bahwa proyek bioremediasi itu benar-benar tidak dilakukan secara benar, maka di sana jelas ada uang masyarakat Indonesia yang secara sengaja diambil untuk digunakan bagi kepentingan CPI, kontraktor, ataupun siapa saja penikmat itu, baik itu melalui biaya operasional ataupun cost recovery. Tentunya nilai itu akan sangat besar jumlahnya jika digunakan untuk kepentingan masyarakat dibanding digunakan untuk proyek yang sama sekali tidak digunakan sebagaimana mestinya atau dilakukan dengan setengah hati.
Jujur dan Cinta Pada Negeri
Menetapkan keputusan pada kasus bioremediasi ini tentunya bukanlah hal yang mudah, sebab di negeri ini semua bisa dibeli. Dimana pada saat ini kita berada pada kondisi krisis kepercayaan pada pemangku kepentingan. Bisa jadi keterangan-keterangan peneliti atau KemenLH atau pengamat yang membela CPI itu “dibeli” atau bisa jadi Kejaksaan Agung ditunggangi urusan politis. Who knows? Yap, hanya Tuhan yang tahu siapa yang benar-benar benar.
Yang bisa kita harapkan adalah ada kemauan dari Chevron untuk membuka diri dalam melakuka monev proyek yang dilakukannya kepada pihak-pihak yang belum pernah terlibat sama sekali dengan proyek ini. Tentunya pihak-pihak tersebut harus bersumpah untuk melakukan monitoring dan evaluasi atas proyek ini secara jujur dengan rasa cinta pada tanah air, sehingga kasus ini tidak berlarut-larut yang bisa dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu. Juga harus ada orang-orang dalam di KA ataupun CPI dengan segala pendukungnya untuk menceritakan sebenarnya apa yang terjadi. Sudah saatnya Anda cinta pada negeri dan ingat pada kematian, uang yang Anda peroleh saat ini hanyalah kenikmatan sementara. Jujurlah pada negeri ini sebagai wujud cinta pada Tanah Pertiwi. Wallahu’alam.
Klik Blog Satya Yudha
Klik Link Kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar