Hukumonline.com
BP Migas mengaku sudah pernah diaudit oleh BPK, BPKP, dan unit perawatan internal.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Andhi Nirwanto berharap penyidikan perkara korupsi bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dapat segera dilimpahkan ke penuntutan. Penyidik telah memiliki sejumlah bukti penting untuk memenuhi pembuktian unsur tindak pidana korupsi.
Salah satunya adalah pembukuan mengenai cost recovery program bioremediasi CPI. Beberapa waktu lalu, penyidik bersama BP Migas mendatangi kantor CPI untuk mengambil dokumen tersebut. Setelahnya, penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tiga orang saksi dari BP Migas untuk mengklarifikasi dokumen itu.
Penyidik mendapatkan fakta bahwa program bioremediasi CPI telah masuk dalam penghitungan cost recovery. Andhi menjelaskan, cost recovery itu diperhitungkan atau dikeluarkan setiap tahun. “Jadi, kalau case-nya tahun yang lalu-lalu, pasti sudah dikeluarkan. Tapi, kami masih menunggu hasil BPKP,” katanya, Jum’at (19/10).
Dengan berbagai alat bukti yang dimiliki penyidik, Andhi meminta perkara korupsi bioremediasi dituntaskan dalam waktu tidak terlalu lama lagi. Hingga kini, penyidik belum menemukan keterlibatan pihak lain, seperti Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BP Migas Hadi Prasetyo mengaku tidak mengetahui apakah program bioremediasi CPI telah masuk dalam cost recovery. Kontrak bagi hasil yang diteken BP Migas dan CPI merupakan kontrak jangka panjang. Selama pengeboran masih berlangsung, bioremediasi tetap dilakukan.
“(Cost recovery) Itu kan yang sedang dilihat. Kalau yang masuk ke BP Migas, sifatnya laporan kwartal. Buku detail laporannya tidak ada di BP Migas, tapi di masing-masing KKKS. Makanya kemarin dari pihak Kejaksaan minta BP Migas untuk mendampingi melihat buku itu di kantor Chevron,” ujar Hadi kepada hukumonline.
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) adalah para kontraktor yang bekerja sama dengan BP Migas dalam melakukan eksplorasi, eksploitasi, serta pemasaran minyak dan gas bumi. Hadi mengungkapkan, program bioremediasi ini dimulai sejak 1994. Limbah hasil pengeboran dahulu hanya diuruk dan ditimbun dalam tanah.
“Sebelum ada UU Lingkungan Hidup tidak ada masalah. Sekarang, karena mulai merambah ke hutan, setelah sekian tahun muncul berbagai masalah. Limbah yang diuruk saja, dalam sekian tahun akan bereaksi. Tanaman menjadi mati. Akhirnya, yang paling cocok menormalkan kembali adalah dengan bioremediasi,” jelas Hadi.
Hadi melanjutkan, secara manajemen, BP Migas memiliki tugas untuk memastikan kadar limbah dalam tanah hasil bioremediasi telah kembali ke kadar normal. Namun, BP Migas tidak melakukan pengecekan lapangan karena sudah ada lembaga lain, yaitu KLH yang bertugas meneliti kadar limbah dalam tanah hasil bioremediasi.
Menurut Hadi, KLH akan mengambil sample tanah untuk diuji di laboratoriumnya. Apabila kandungan limbah dalam tanah telah dinyatakan normal dan memenuhi syarat, KLH mengeluarkan sertifikasi. BP Migas menjadikan sertifikasi itu sebagai acuan bahwa kegiatan penormalan tanah atau bioremediasi sudah dilakukan.
Lantas, apakah KLH pernah mengeluarkan sertifikasi untuk program bioremediasi CPI? Hadi menyatakan, secara prosedur, seharusnya sertifikasi tersebut dikeluarkan KLH. Meski belum melihat sertifikasi KLH secara langsung, dia meyakini sertifikasi itu ada karena program bioremediasi telah berjalan dengan baik.
Penyelesaian secara perdata
Temuan penyidik mengenai cost recovery merupakan salah satu bukti penting untuk memenuhi unsur kerugian negara dalam perkara korupsi bioremediasi CPI. Hadi berpendapat, cost recovery tidak masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tidak sepeserpun uang APBN yang diambil dalam industri hulu migas.
“Ini kontrak bagi hasil. Semua aktivitas dibiayai hasil sumber daya alam. Kalau tidak menghasilkan, tidak ada yang diganti. Tapi, karena menghasilkan, maka diperhitungkan. Sektor hulu migas ditargetkan mengisi kantong APBN, AS$31,7 miliar untuk tahun 2013. Target itu harus dipenuhi untuk penerimaan negara dari sektor migas,” terang Hadi.
Hadi mengatakan,cost recovery itu nantinya akan dikurangkan dari pendapatan kontrak bagi hasil antara BP Migas dengan CPI. Biasanya, kontrak bagi hasil BP Migas dan CPI adalah 15 persen-85 persen. Setelah biaya-biaya dimasukkan ke dalam biaya investasi yang harus dikembalikan, bagi hasilnya menjadi 35 persen-65 persen.
“Biaya investasi yang harus dikembalikan, cost recovery itu macam-macam bentuknya, diantaranya bioremediasi, mungkin yang dulu-dulu sudah ada. Namun, dalam kontrak bagi hasil yang jangka panjang ini, kalau ada kesalahan di situ, sifatnya perdata. Itu bisa dianulir dalam tanda kutip, artinya direvisi,” ujar Hadi.
Dengan demikian, Hadi mengatakan, sesuai klausul kontrak bagi hasil antara BP Migas dan CPI, penyelesaian yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah dalam pelaksanaan kontrak adalah dengan cara perdata. BP Migas juga sudah pernah diaudit oleh BPK, BPKP, dan unit perawatan internal.
“Namun, jika (permasalahan terjadi) antara KKKS dan subkontraktornya, ya itu hitung-hitungan bisnis mereka. Jadi, misalkan, saya jadi kontaktornya KKKS, saya dapat proyek. Kalau saya nakal, ketahuan ya dihukum saya,” tutur Hadi seraya menambahkan belum ada panggilan pemeriksaan berikutnya yang diterima BP Migas dari penyidik.
Penyidik telah menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus korupsi bioremediasi CPI. Lima tersangka diantaranya berasal dari unit kerja CPI dan dua sisanya berasal dari perusahaan pemenang tender bioremediasi, PT Sumigita Jaya (SJ) dan PT Green Planet Indonesia (GPI).
Ketujuh tersangka itu adalah Manajer SLN dan SLS Endah Rumbiyanti, Team Leader SLN Kabupaten Duri Widodo, Team Leader SLS Migas Kukuh, General Manager SLS Operation Bachtiar Abdul Fatah, General Manager SLN Operation CPI Alexiat Tirtawidjaja, Direktur Utama SJ Herlan, dan Direktur GPI Ricksy Prematuri.
Empat karyawan CPI, Endah, Widodo, Kukuh, Bachtiar bersama Herlan dan Ricksy hingga telah ditahan penyidik sejak 27 September 2012. Sementara, tersangka bernama Alexiat belum ditahan, bahkan diperiksa karena sedang menunggu suaminya yang sakit di Amerika Serikat.
Kejagung telah mengantongi sejumlah alat bukti, termasuk hasil uji laboratorium yang menyatakan tanah bioremediasi CPI positif tercemar limbah. Penyidik berpendapat proyek bioremediasi yang dilakukan fiktif, sehingga negara diduga mengalami kerugian hingga AS$23,361 juta atau sekitar Rp200 miliar.
klik langsung link hukumonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar