MBM TEMPO, 16 Desember 2012
Rubrik Hukum
Majelis hakim mengabulkan praperadilan penahanan para tersangka kasus Chevron. Kejaksaan tetap melanjutkan kasusnya ke pengadilan.
SUASANA Lebaran muncul di rumah tahanan Kejaksaan Agung, Selasa siang dua pekan lalu. Sebuah ruang tamu di dalam tahanan disulap menjadi musala dadakan. Saat itu, azan asar terdengar dari masjid yang berada di sebelah rumah tahanan. Sebelum salat dan sesudah salat, takbir berkumandang tak henti-henti di dalam "musala" tersebut. "Kami menangis berpelukan sambil terus takbiran," kata Kukuh Kertasafari, mengisahkan peristiwa itu kepada Tempo.
Belasan kilometer dari situ, di saat bersamaan, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memang baru mengetukkan palu. Hakim Samiadji, Suko Harsono, Haryono, dan Ari Jiwantara mengabulkan gugatan praperadilan empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, yang menjadi tersangka korupsi proyek bioremediasi dan tiga di antaranya mendekam di Rutan Kejaksaan Agung. "Membebaskan tersangka pada praperadilan ini dari tahanan setelah putusan ini dibacakan," ujar hakim Suko Harsono saat membacakan putusan.
Karyawan Chevron itu adalah Widodo, Bachtiar Abdul Fatah, dan Kukuh Restafari. Satu tersangka lain, Endah Rumbiyanti, ditahan di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Keempatnya pejabat teras kilang minyak Chevron di Duri dan Minas, Riau. Putusan ini langsung disampaikan kepada salah satu pengacara mereka yang saat itu berada di rutan lewat pesan pendek (SMS). Semua penggugat tak menghadiri sidang tersebut. "Kejaksaan tak mengizinkan kami ikut sidang," kata Kukuh. Putusan itu yang membuat Kukuh dan rekan-rekannya berlinang air mata.
Awalnya, ujar Kukuh, penyidik memperbolehkan mereka hadir di persidangan. Pada saat-saat akhir, izin tersebut dianulir tanpa alasan yang jelas. Kukuh tak paham mengapa menjadi tersangka dalam kasus ini. Padahal tugasnya sehari-hari mengepalai tim yang mengelola kilang minyak dan tak berhubungan dengan bioremediasi. Bioremediasi adalah"teknik" mengolah kembali tanah yang terpapar limbah agar menjadi normal kembali.
Alasan ketidakjelasan ini pula yang digunakan para hakim membebaskan para tersangka. Tanpa perbedaan pendapat, para majelis hakim menyatakan penetapan status tersangka terhadap empat karyawan Chevron tidak sah. Tindakan jaksa dinilai melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang mengakibatkan kerugian negara. "Kejaksaan tidak bisa membuktikan adanya minimal dua alat bukti untuk dapat dijadikan dasar penetapan tersangka," kata Suko.
Meski membebaskan keempat pejabat Chevron itu, hakim menolak mengabulkan permintaan untuk mencabut status tersangka terhadap mereka. Menurut dia, penanggalan status tersangka bukan kewenangan sidang praperadilan. "Sidang praperadilan juga tak bisa memerintahkan Kejaksaan menghentikan penyidikan kasus ini," ucapnya.
Kejaksaan menangkap keempat orang tersebut pada September lalu setelah memanggil mereka untuk dimintai keterangan. Sebelumnya, sejak Oktober 2011, Kejaksaan menyidik adanya dugaan korupsi yang dilakukan salah satu perusahaan penghasil minyak di Indonesia ini. Korupsi itu berkaitan dengan proyek bioremediasi yang mereka lakukan di Riau sejak 2006.
Proyek tersebut, menurut Kejaksaan Agung, diduga membuat negara rugi Rp 200 miliar. Chevron dianggap bersalah karena menyerahkan pengelolaan teknologi tingkat tinggi itu kepada dua perusahaan yang tak layak: PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya. "Keduanya perusahaan biasa yang tak memiliki sertifikat khusus bidang bioremediasi," kata Direktur Penyidikan M. Adi Toegarisman.
Kejaksaan menganggap proyek ini dikerjakan ala kadarnya. Padahal, sejak 2003, Chevron rutin mengklaim biaya bioremediasi kepada pemerintah lewat Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Dari sinilah kerugian negara sebesar Rp 200 miliar itu berasal. Direktur kedua perusahaan yang menjadi rekanan Chevron itu, Herlan dan Ricksy Prematuri, ikut menjadi tersangka dan sudah ditahan. Tapi mereka tak ikut dibebaskan karena tak turut menggugat penahanan itu.
Kejaksaan mengklaim telah memiliki segudang barang bukti menjerat para tersangka, antara lain dokumen kontrak, laporan proyek, dan puluhan dokumen lain. Tim penyidik bahkan sudah terbang ke Minas dan Duri untuk memotret lahan yang diduga tercemar serta mengambil sampel tanah itu untuk dibawa dan diteliti di Jakarta oleh ahli berkaliber internasional. Sayangnya, hingga kini belum ada publikasi dari penelitian ini.
Meski mengklaim memiliki bukti segudang, Chevron menganggap banyak kejanggalan dari kasus ini. Pengacara Chevron, Maqdir Ismail, mengatakan penetapan para tersangka tidak berdasarkan alasan yang jelas. Endah, misalnya, awalnya diminta datang ke Kejaksaan untuk menjelaskan seluk-beluk bioremediasi, tapi justru ditahan. Begitu pula tersangka lain, yang langsung ditangkap saat pemanggilan pertama. Padahal alasan pemanggilan itu untuk dimintai keterangan.
Kejanggalan lain, kata dia, adalah penetapan Edison Effendi sebagai saksi ahli oleh penyidik. Edison, ujar Maqdir, adalah wakil dari perusahaan yang beberapa kali ikut dalam lelang proyek bioremediasi di Chevron, tapi dia selalu kalah."Keterangan ahli bisa menimbulkan konflik karena sakit hati kalah lelang," ucap Maqdir. Ia pun mencium aroma rekayasa dalam penyidikan ini.
Karena itulah, pada Selasa pekan lalu, Chevron lewat pengacaranya mengadukan kejanggalan-kejanggalan ini ke Komisi Kejaksaan di Jalan Rambai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pengaduan ini, kata Maqdir, untuk mengkritik kinerja para jaksa. "Kami berharap Komisi Kejaksaan ikut menelisik kejanggalan ini," ujarnya.
Komisioner Komisi Kejaksaan Kaspudin Nor berjanji akan mempelajari dan memperdalam isi laporan, termasuk bukti-bukti yang dilampirkan. Komisi, ujar dia, akan mengagendakan rapat pleno untuk menentukan apakah ada pelanggaran yang dilakukan penyidik Kejaksaan atau tidak."Kalau benar ada pemaksaan perkara, nanti pasti kelihatan," katanya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung tak mempermasalahkan kasus ini dibawa ke Komisi Kejaksaan. Upaya ini, kata dia, adalah hak para tersangka dan PT Chevron. Baginya, saat ini yang paling penting adalah penyidik tetap melanjutkan kasus tersebut."Jadi proses yang di Komisi jalan, yang di Kejaksaan juga jalan," ucapnya
Yang membuat penyidik tak happy adalah putusan praperadilan tersebut. Putusan itu dianggap "offside". Hakim dianggap mengintervensi penyidikan oleh kejaksaan. Wakil Jaksa Agung Darmono melihat ada penyimpangan dalam putusan praperadilan itu. "Hanya, bentuk penyimpangannya masih belum jelas," katanya.
Saat ini tim kejaksaan, ujar dia, tengah mengkaji perlu-tidaknya mengadukan penyimpangan para hakim tersebut ke Komisi Yudisial. Menurut Darmono, Kejaksaan tengah mengumpulkan bahan-bahannya. "Penyimpangan ini akan digunakan untuk mengajukan keberatan kami terhadap vonis praperadilan itu," ucapnya.
Vonis praperadilan itu tampaknya malah membuat kejaksaan "bersemangat" memproses kasus Chevron. Jumat pekan lalu, penyidik sudah merampungkan penyerahan tahap kedua semua berkas penyidikan. Pekan sebelumnya, kasus ini sudah dinyatakan P-21 (lengkap). Menurut Adi Toegarisman, Kukuh dan para tersangka lain, Kamis siang pekan lalu, sudah menandatangani penyerahan dokumen tahap II tersebut. Adi mengatakan persidangan akan digelar secepatnya dalam bulan ini. Ia berjanji akan membuktikan Chevron telah merugikan negara. "Kami punya bukti yang sangat kuat," katanya.
Mustafa Silalahi, Indra Wijaya, Anton Aprianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar