Jakarta, EnergiToday -- Kasus-kasus yang cukup ramai diberitakan media seperti kasus IM2/Indosat, Hotasi Nababan/Merpati dan proyek bioremediasi Chevron adalah sebagian dari deretan kasus-kasus terkait kontrak bisnis yang dituduhkan terjadi korupsi karena dianggap merugikan keuangan negara.
Menurut Prof. Dr. Ridwan Khairandy, SH., MH, perjanjian mengenai production sharing (PSC) sebagai instrumen pengaturan hubungan antara negara dan investor dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi yang sukses pertama kali diterapkan di Indonesia pada 1960-an dan sekarang diikuti oleh lebih 40 negara.
“Hubungan antara negara dan investor didasarkan pada hubungan kontraktual (perdata) berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi di bidang pertambangan. Negara sebagai pemilik SDA dan investor sebagai kontaktor dimana Negara adalah pihak dalam PSC sehingga hubungan antara negara dan investor equal,” ujarnya dalam seminar Penerapan Delik Korupsi Dalam Transaksi Bisnis – Suatu Analisis Kasus Cost Recovery Antara KKKS dan SKK Migas di Hotel Grand Aston Jogjakarta (23/2).
Dalam seminar sehari ini hadir para pembicara yang merupakan ahli-ahli di bidangnya seperti Prof. Dr. Ridwan Khairandy, SH., MH, Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej, SH., M.Hum, dan Kadiv Hukum SKK Migas, M. I. Zikrullah. Sementara itu Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. menyampaikan makalahnya pada seminar ini.
Terkait berbagai kasus yang muncul, Dr. Mudzakkir, S.H., M.H dalam makalahnya menjelaskan bahwa penyelesaian perselisihan antara kedua belah pihak yang terkait dengan pelaksanaan suatu kontrak adalah tunduk kepada hukum kontrak atau hukum perdata.
Perselisihan dalam kontrak harus diselesaikan melalui mekanisme yang berlaku dalam hukum kontrak yang telah disepakati sebelumnya.
“Tidak ada cara lain penyelesaian permasalahan hukum yang ditimbulkan oleh kontrak, kecuali dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati kedua belah pihak dalam kontrak,” tuturnya. (US)
Klik link Energitoday.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar