Sabtu, 09 Maret 2013
Kementerian Lingkungan Hidup: “Bioremediasi Chevron Sesuai Ketentuan”
Jakarta, EnergiToday -- Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (8/3) kembali menyidangkan perkara dugaan korupsi bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan terdakwa Team Leader Sumatera Light North Widodo, dan Team Leader Sumatera Light South Kukuh Kertasafari. Para saksi dimintai keterangan tentang peraturan dan kebijakan yang menyangkut bioremediasi serta Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) dan izin yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sudharmawatiningsih menghadirkan dua saksi untuk Widodo, yaitu Deputi IV Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), Limbah B3, dan Sampah, KLH Masnellyarti Hilman, dan Asisten Deputi Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 Wirjono Kusumodiardjo. Dua saksi lain yaitu Wirjono Kusumodiardjo, dan Ridwan J Tamin untuk terdakwa Kukuh Kertasafari.
Masnellyarti menjelaskan, peraturan yang digunakan untuk pengelolaan limbah B3 Chevron adalah Peraturan Pemerintah (PP) 18 junto 85 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor 128 Tahun 2003 tentang bioremediasi.” Saksi mengatakan, secara garis besarnya, Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) harus dibawah 15 lalu dia dapat diolah dengan menggunakan mikroba, seperti disyaratkan pada Kepmen 128 tersebut, dan untuk syarat administrasi ada di Kepmen 18 Tahun 2009.
Ia juga dicecar Jaksa tentang izin yang sudah dikeluarkan kepada CPI untuk pengelolaan limbah saat dirinya menjabat Deputi IV Menteri LH. Saksi mengatakan bahwa izinnya saat itu sedang dalam proses untuk diperbarui, tetapi muncul surat dari Asisten Deputi yang memverifikasi meminta untuk dilakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Surat ini berkaitan dengan diberlakukannya Undang-Undang No 32 tahu 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang saat itu baru saja disahkan. Beleid itu memang menghendaki adanya dokumen Amdal untuk aktivitas yang berdampak penting dan besar untuk lingkungan hidup. Poyek bioremediasi digolongkan dalam kategori membutuhkan dokumen Amdal ini.
Tentang alasan Kementerian Lingkungan Hidup membiarkan proyek bioremediasi walaupun belum ada pembaruan izin, kata Nelly, "Undang-undang mengatakan bahwa lahan terkontaminasi perlu diisolasi agar tak mencemari lingkungan," dan ia melanjutkan." Namun dengan adanya undang-undang lingkungan yang baru, maka setiap pembaruan izin mensyaratkan adanya Amdal, " Atusan baru ini menyebabkan adanya masa transisi, dan harus kami pertimbangkan situasinya." Apalagi, katanya, CPI sudah melaksanakan proyek bioremediasi sesuai Kepmen No.128 Tahun 2003.
Nelly, panggilan Masnellyarti, juga menjelaskan bahwa sebelum tahun 2009 telah ada beberapa izin yang dikeluarkan untuk proyek bioremediasi Chevron antara lain, yaitu izin Nomor 69 Tahun 2006, izin nomor 567 Tahun 2006, lokasinya satu Mina, satu di lapangan Mutiara. Izin No 136 Tahun 2007 lokasinya Kota Batak, izin No 233 Tahun 2007 di Libo, izin No 234 Tahun 2007 di Pematang.
Atas pertanyaan jaksa tentang kedaluarsa izin atau batas akhir perizinan tersebut, Nelly menjelaskan bahwa untuk izin di Mina habis 8 Maret 2008, izin di Mutiara tanggal 8 Desember 2008, sementara di Kota Batak 27 Februari 2009, di Libo 7 Mei 2009, dan di Kota Pematang, 7 Mei 2009.
Nelly juga mengakui bahwa dirinya mengetahui adanya beberapa izin yang habis, tetapi kegiatan bioremediasi tetap dilaksanakan tanpa menunggu keluarnya izin baru. Hal ini terjadi karena terdapat beberapa lokasi pencemaran tanah oleh minyak yang cukup besar yang harus segera diolah di lapangan bioremadiasi untuk menghindari pencemaran lebih besar. (WIS).
Klik link Energitoday.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar