Minggu, 05 Agustus 2012

Adu Bukti Proyek Bakteri

MBM TEMPO, 5 Agustus 2012
Rubrik Hukum

Kejaksaan Agung tetap yakin ada korupsi dalam proyek bioremediasi yang dilakukan PT Chevron. Sejumlah dokumen akan dijadikan bukti adanya pelanggaran dalam proyek yang disebut telah merugikan negara sekitar Rp 200 miliar ini. Chevron menyiapkan bukti untuk diuji.

Sejauh mata memandang, hanya hamparan tanah kekuningan yang dominan terlihat. Tak jauh dari hamparan itu, tampak gundukan tanah kehitaman membentuk bukit-bukit kecil. Siang itu, selain kedatangan rombongan dari Kota Pekanbaru, tak ada aktivitas manusia di sudut ladang minyak Minas, sekitar 30 kilometer dari ibu kota Provinsi Riau tersebut.


"Di sini tempat pengolahan limbah minyak itu," kata Nur Lela, pemimpin rombongan dari PT Chevron Pacific Indonesia, Kamis pekan lalu. Lela meyakini, nun di dalam rongga-rongga lapisan tanah kekuningan itu, jutaan bakteri tengah berjuang keras. Mereka berusaha menetralkan tanah dari limbah minyak mentah.

Lela menerangkan, gundukan hitam merupakan tanah tercemar minyak yang baru dikeruk dan diangkut dari tempat lain. Tanah itu menumpuk begitu saja karena belum sempat diolah. Adapun yang kekuningan berarti tanah hampir selesai dipulihkan secara bioremediasi.

Teknik ini mengandalkan keampuhan mikroba pengurai dalam tanah untuk membersihkan limbah minyak. Agar bakteri pengurai berkembang biak dan giat bekerja, gundukan tanah tercemar diberi pupuk, disirami air, lalu diaduk-aduk. Tanah disebut pulih bila kandungan minyak mentahnya tinggal satu persen atau kurang. Siklus pemulihan tanah dengan cara ini bisa tiga-enam bulan.

Wahyu Budiarto, General Manager PT Chevron untuk wilayah selatan Sumatera, mengatakan saat ini PT Chevron memiliki sembilan fasilitas bioremediasi. Lima di antaranya berlokasi di wilayah Minas. Sisanya berada di kawasan Duri, ladang minyak lain di wilayah Riau.

Diterapkan sejak 2003, pihak Chevron mencatat, teknik bioremediasi telah memulihkan lebih dari setengah juta kubik meter tanah. Tanah olahan telah dipakai menghijaukan lahan seluas 60 hektare di Riau. "Dalam teknik bioremediasi, kami adalah pelopor," kata Yanto Sianipar, Vice President PT Chevron Pacific Indonesia, kepada Tempo.

Tapi catatan "sukses" itu tak serta-merta membebaskan PT Chevron dari masalah yang membelitnya sejak Oktober tahun lalu. Lima petinggi PT Chevron kini justru telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi oleh Kejaksaan Agung dalam proyek bioremediasi yang mereka banggakan. Jaksa menduga proyek bioremediasi itu fiktif belaka. Bukan hanya para tersangka yang dag-dig-dug. Hingga dua pekan lalu, 61 pegawai dan pensiunan Chevron pun diperiksa jaksa. "Kami dibuat sibuk sekali," ujar Yanto.
*****

Masalah hukum yang membelit PT Chevron bermula pada 5 Oktober 2011. Saat itu, penyidik di bawah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung mengeluarkan surat perintah penyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan proyek bioremediasi oleh perusahaan penghasil minyak tanah rata-rata 357 ribu barel per hari tersebut.

Menurut Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung M. Adi Toegarisman, penyelidikan kasus dugaan korupsi PT Chevron bermula dari pengaduan masyarakat. Pengadu melaporkan proyek bioremediasi yang sejak 2006 disubkontrakkan Chevron kepada perusahaan lain diduga bermasalah.

Hasil penelusuran jaksa, dua perusahaan yang ditunjuk Chevron, yakni PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya, hanyalah kontraktor umum. Mereka tak memiliki keahlian dan sertifikat khusus di bidang bioremediasi. Karena itu, jaksa menduga proyek bioremediasi tersebut fiktif atau tidak dikerjakan sebagaimana mestinya. Padahal, sejak 2003, PT Chevron selalu mengklaim biaya bioremediasi kepada pemerintah Indonesia melalui BP Migas. Kejaksaan Agung memperkirakan kerugian negara akibat proyek fiktif ini sekitar US$ 23,36 juta atau kurang-lebih Rp 200 miliar.

Setelah memeriksa pelapor dan para saksi, 12 Maret lalu, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang tersangka. Lima di antaranya penanggung jawab proyek dan kepala manajer dari PT Chevron. Mereka adalah Endah Rumbiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirtawidjaja, dan Bachtiar Abdul Fatah. Dua lainnya direktur dari perusahaan rekanan, Herlan dan Ricksy Prematuri. Akhir Maret lalu, enam tersangka dilarang bepergian ke luar negeri. Adapun Alexiat Tirtawidjaja sudah berada di luar negeri sebelum pencekalan itu keluar. Alexiat ke Amerika untuk menemani suaminya berobat.

Jaksa menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat para tersangka. Jaksa menuduh mereka memperkaya diri atau korporasi dengan cara merugikan keuangan negara.

Sejumlah bukti sudah dimiliki jaksa untuk membawa para tersangka ke meja hijau. Bukti itu antara lain dokumen kontrak, laporan proyek, serta puluhan dokumen lain. "Jumlahnya tak kurang dari satu mobil boks ukuran sedang," kata sumber Tempo. Pada 8-9 Februari lalu, tim jaksa pun terbang menuju Minas. Di sana, selain memotret lahan dan fasilitas pengolah tanah yang tercemar, mereka mengambil ratusan kilogram sampel tanah, yang kemudian dibawa ke Jakarta.

Sumber di Kejaksaan Agung itu menuturkan jaksa sudah mengundang sejumlah ahli berkaliber internasional untuk turut memeriksa sampel tanah di laboratorium dan menganalisis hasilnya. Hanya, kendati sampel sudah masuk laboratorium, hingga kini kejaksaan belum mengumumkan hasil pemeriksaan mereka. "Semua bukti terus kami kaji," kata Wakil Jaksa Agung Darmono awal pekan lalu kepada Tempo kala ditanya perihal hasil pengujian sampel tanah tersebut.

Manajer Komunikasi Korporat PT Chevron Donny Indrawan mengatakan Chevron akan bersikap kooperatif dengan kejaksaan. Selain menyerahkan barang bukti, PT Chevron, kata dia, tak pernah menghindar ketika pegawainya diperiksa. Sewaktu tim jaksa mengambil sampel tanah di Riau, misalnya, ujar Donny, tim Chevron juga memberitahukan di mana jaksa sebaiknya mengambil sampel tanah yang tercemar, yang masih diolah, dan yang bersih dari limbah.

Chevron menolak bila proyek bioremediasi dituding fiktif. Menurut Donny, proyek penguraian minyak dengan bakteri bukan hal baru bagi Chevron. Perusahaan ini telah mengkaji dan mengembangkan teknik itu sejak 1994. Setelah berkali-kali melakukan uji coba, Chevron akhirnya mengantongi izin penerapan teknik bioremediasi dari Kementerian Lingkungan Hidup pada 2002.

Sampai 2005, tim Chevron sendiri yang mempraktekkan teknik bioremediasi. Mereka memulihkan tanah yang tercemar selama proses produksi sejak 1950-an hingga akhir 1980-an. Baru sejak 2006, Chevron menyerahkan pengerjaan pemulihan tanah kepada perusahaan lain. Sejauh ini, Chevron mengklaim telah membersihkan 132 dari 300 titik tanah yang tercemar minyak mentah. Chevron pun memasang target, pada 2019, semua titik tanah yang tercemar selesai dibersihkan."Jadi, bagaimana bisa disebut fiktif?" ujar Yanto Sianipar. "Hasil kerja kami siap diuji."

Ihwal perusahaan yang dikontraknya, Chevron tak serta-merta menolak penilaian jaksa yang menyatakan perusahaan itu minim pengalaman bioremediasi. Tapi, menurut Yanto, itu tak jadi masalah. Yang penting, kedua perusahaan bisa mengerjakan teknik bioremediasi yang dikembangkan Chevron. Toh, standar operasinya sudah dibuat terperinci dan jelas. "Mereka tinggal jalankan SOP. Kami yang mengontrol."

Meski begitu, Chevron menegaskan tak asal main tunjuk perusahaan. Dalam dua kali tender, pada 2006 dan 2007, kata Yanto, ada empat perusahaan yang mengajukan penawaran. "Keduanya kami pilih lewat tender terbuka dan ketat," ujarnya.

Lain Chevron, lain pendapat kejaksaan. Menurut seorang jaksa di Kejaksaan Agung, kontrak seperti itu justru bermasalah. Dalam dokumen kontrak, Chevron seolah-olah menyerahkan sepenuhnya proyek bioremediasi kepada kontraktor. Kalau prakteknya Chevron masih cawe-cawe dalam pengerjaan bioremediasi, kata dia, itu menyimpang dari kontrak. Penghitungan klaim biaya pemulihan kepada negara, ujar sumber ini, bisa tumpang-tindih. Karena itulah, menurut si sumber, jaksa pun menjadikan dokumen kontrak tersebut sebagai salah satu bukti menjerat Chevron.

Perihal tuduhan telah merugikan negara, Yanto menyatakan pihaknya tak me ngerti akan hitung-hitungan jaksa. Sejak 2006 sampai 2011, biaya pemulihan (cost recovery) yang diklaim Chevron kepada BP Migas tak lebih dari US$ 10,5 juta. Jumlah itu berdasarkan klaim yang diajukan perusahaan kontraktor. Chevron baru akan membayar kontraktor bila tanah yang diolah hanya menyisakan kadar minyak mentah maksimal 1 persen. "Itu batas aman yang diizinkan pemerintah," ujar Yanto.

Menurut Chevron, klaim cost recovery masih dalam payung kontrak kerja sama Chevron dengan BP Migas (pemerintah Indonesia). Dalam kontrak, kedua pihak sepakat menanggung bersama biaya operasional dan berbagi keuntungan. Nah, biaya pemulihan lingkungan itu masuk komponen biaya operasional yang juga ditanggung bersama. Pembagiannya: 85 persen untuk pemerintah Indonesia dan 15 persen untuk Chevron.

Karena itu, Chevron tak bisa terima bila uang yang telah mereka klaim dikategorikan sebagai kerugian negara. Apalagi, selama ini, kontrak kerja sama Chevron dan BP Migas telah lolos audit Badan Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Kendati sejumlah argumentasi sudah dilemparkan Chevron, Kejaksaan Agung belum menunjukkan tanda-tanda akan menyurutkan langkah. Menurut Wakil Jaksa Agung Darmono, belum dibukanya hasil pengujian sampel tanah dan belum ditahannya tersangka sama sekali bukan indikasi kasus itu mandek. Yang jelas, kata dia, jaksa memiliki cukup banyak bukti untuk meneruskan kasus ini hingga pengadilan. "Insya Allah, tak akan terhenti."

Jajang Jamaludin, Anton Aprianto (Jakarta), Riyan Nofitra (Riau)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar