Rabu, 28 Agustus 2013

Kasus Bachtiar Dipaksakan, Namanya Tidak Ada Dalam Kontrak Bioremediasi

Rabu, 28 Agustus 2013
Dunia Energi

Bachtiar Abdul Fatah saat menjalani sidang pengadilan kasus bioremediasi.
JAKARTA – Keterangan saksi di persidangan semakin membuktikan bahwa penetapan Bachtiar Abdul Fatah sebagai terdakwa dalam kasus bioremediasi, berbau rekayasa dan dipaksakan. Pasalnya, nama karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) itu sama sekali tidak ada dalam kontrak bioremediasi.

Kesaksian mencengangkan itu terungkap dalam persidangan kasus bioremediasi PT CPI, yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin, 26 Agustus 2013. Nono Gunarso, saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengaku tidak pernah melihat nama Bachtiar dalam kontrak-kontrak bioremediasi. 
 

Nono Gunarso yang saat ini menjabat Kepala Divisi Akuntansi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), mengaku pernah menjabat Kepala Divisi Pemeriksaan Biaya SKK Migas sejak 17 Maret 2009 sampai 30 April 2012.

Nono menerangkan di depan persidangan, selama dirinya memegang jabatan Kepala Divisi Pemeriksaan Biaya SKK Migas, tidak pernah melihat nama terdakwa Bachtiar Abdul Fatah dalam kontrak-kontrak CPI yang dilaporkan ke SKK Migas, termasuk dalam kegiatan bioremediasi.

Kesaksian Nono ini nampaknya selaras dengan Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 27 November 2012 lalu, yang telah membebaskan Bachtiar dari statusnya sebagai tersangka, karena dinilai tidak terkait dengan kasus bioremediasi.

Belakangan, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap itu disimpangi oleh penyidik Kejaksaan Agung, dengan kembali menetapkan Bachtiar sebagai tersangka pada Juni 2013 dan melimpahkan berkasnya ke Pengadilan Tipikor.

Nono sendiri mengaku tidak tahu menahu tentang bioremediasi. Karena tugas pokoknya sebagai Kepala Divisi Pemeriksaan Biaya SKK Migas, adalah melaksanakan pemeriksaan pengeluaran SKK Migas pada masa operasi, pemeriksaan AFE dan pemeriksaan khusus.

“Secara lingkup tugas, saya tidak mengetahui tentang bioremediasi, dan tidak pernah melakukan audit bioremediasi secara khusus,” terangnya. Ia pun menjelaskan, tugasnya adalah memeriksa semua kontrak kegiatan hulu migas, yang dimintakan penggantian biaya atau cost recovery melalui SKK Migas.

Dari situlah, Nono mengaku bisa mencermati semua kontrak Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang dilaporkan ke SKK Migas, termasuk kontrak-kontrak dalam kegiatan bioremediasi CPI, namun tidak pernah menemukan nama Bachtiar Abdul Fatah.

Nono menerangkan, pemeriksaan yang dilakukannya berdasarkan mekanisme kontrak bagi hasil, dimana KKKS akan membuat laporan kuartalan atau FQR kepada BP Migas (sekarang SKK Migas), dan kegiatan bioremediasi ada di report 8.

FQR selalu diaudit setiap tahunnya, yang melibatkan pihak SKK dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) secara reguler. “Mulai tahun ini Ditjen Pajak ikut serta dan terkadang BPK juga ikut mengaudit,” ucapnya.

Ia juga memaparkan, bila ditemukan penyimpangan dalam hasil audit maka akan didiskusikan, dan bila penyimpangan memang tidak sesuai dengan regulasi maka cost recovery akan ditolak. Sesuai mekanisme PSC (Production Sharing Contract) atau Kontrak Kerjasama migas, bila ada perselisihan terkait temuan hasil audit, penyelesaiannya adalah melalui arbitrase internasional.

Surat Dinas Batalkan Putusan Pengadilan

Terkait keterangan saksi ini, pengacara terdakwa, Maqdir Ismail, membenarkan bahwa pihaknya akan tetap menghormati proses pengadilan yang sedang berlangsung namun tetap meyakini bahwa pengadilan atas nama kliennya ini semestinya tidak pernah ada.

“Klien kami (Bachtiar) telah dibebaskan dari semua tuduhan dan statusnya sebagai tersangka telah dibatalkan oleh putusan praperadilan pengadilan negeri Jakarta Selatan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat dan sampai saat ini tidak ada putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan putusan pengadilan tersebut,” jelas Maqdir di Jakarta, Rabu, 28 Agustus 2013.

Terkait adanya surat MA yang dijadikan alasan oleh Kejagung untuk menuntut kembali Bachtiar, berdasarkan penelusuran Maqdir ternyata surat korespondensi (dinas) dari badan pengawasan Mahkamah Agung, yaitu dari Inspektorat Wilayah II, bukan putusan MA yang memiliki kekuatan hukum untuk menganulir putusan pengadilan tersebut.

“Oleh karena itu kami akan terus mencari keadilan mengingat hal ini merupakan persoalan penting tentang hak-hak hukum warga negara yang dirampas secara paksa,” tegas Maqdir.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar