Rabu, 11 September 2013

Kasus Bioremediasi Chevron, Keterangan Ahli Kejagung Tidak Valid

Rabu, 11 September 2013
Terdakwa kasus Bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, Kukuh Kertasafari (baju batik coklat) selesai pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (17/7/2013). Majelis Hakim menjatuhkan vonis kepada Kukuh yang merupakan ketua tim penanganan isu sosial lingkungan Sumatera Light South (SLS) Minas PT Chevron Pacific Indonesia tersebut dengan hukuman dua tahun penjara serta denda Rp.100 juta subsider tiga bulan penjara terkait proyek normalisasi lahan tercemar minyak menggunakan bantuan mikroorganisme (bioremediasi) di Riau pada 2006-2011. (Warta Kota/Henry Lopulalan) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Persidangan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah, hari ini (11/9/2013) kembali digelar dengan agenda pemeriksaan para ahli.

Meski demikian, para pakar dari berbagai lembaga dan perguruan tinggi, menilai seluruh keterangan dari ahli bioremediasi yang ditunjuk Kejaksaan Agung (Kejagung) Edison Effendi, tidak valid dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

Prof M Udiharto, Pakar Bioremediasi dari Pusat Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan merujuk pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 128 tahun 2003 tentang pelaksanaan bioremediasi di industri hulu minyak dan gas bumi (migas) maka metode yang digunakan cenderung eksitu.

“Eksitu artinya, mengangkat tanah yang tercemar limbah B3 (bahan berbahaya beracun) ke tempat lain, untuk direhabilitasi hingga kandungan minyak dalam tanah sesuai dengan yang dipersyarakatkan oleh Kepmen LH 128/2003,” jelasnya.

Kepmen LH 128/2003 tidak mengarahkan bioremediasi pada metode insitu (tanpa dipindahkan) karena dikhawatirkan justru mengganggu lingkungan, karena adanya mikroorganisme lain yang berada di lokasi limbah berada. Metode eksitu inilah, kata Udiharto, yang digunakan CPI dalam melakukan bioremediasi. Yakni tanah yang tercemar limbah B3 dipindahkan untuk diolah di tempat yang lain, yang disebut SBF (Soil Bioremediation Facility).

Di SBF itulah, kadar minyak atau Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) dalam tanah diturunkan hingga dibawah 1 persen, dengan bantuan mikroba atau bakteri lokal.

Namun Edison dalam keterangannya di depan persidangan, lanjut Udiharto, cenderung mengatakan bahwa bioremediasi pada industri hulu migas, harus menggunakan metode insitu. Menurut Edison, limbah tidak perlu dipindahkan, melainkan diproses di tempat dimana limbah berada, dengan ditambahkan bakteri dari luar.

Edison mengatakan, selama ini sukses melakukan bioremediasi, dengan cara memasukkan bakteri yang dimilikinya, pada tanah yang tercemar limbah B3. Ia pun mengaku memiliki mikroorganisme atau bakteri yang untuk proses insitu.

“Dari keterangannya ini, saya melihat ada kepentingan Edison untuk menjual mikroba atau bakteri. Keterangan Edison itu pun bertentangan dengan Kepmen LH 128/2003,” kata Udiharto.

Edison dalam memberikan keterangan, juga mengaku mendasarkan pada Kepmen LH 128/2003. Namun ia menyatakan bahwa tanah yang boleh dibioremediasi, adalah yang kandungan TPH-nya 7,5 persen-15 persen. Sehingga ketika menguji sampel tanah dari lapangan CPI mendapatkan TPH 1,7 persen, ia menyimpulkan tidak perlu dilakukan bioremediasi.

Padahal, kata Udiharto, Kepmen LH 128/2003 mensyaratkan yang boleh dibioremediasi adalah tanah dengan TPH di bawah 15 persen, untuk diturunkan TPH-nya menjadi dibawah 1 persen.

Edison juga mengaku mengambil sampel dengan teknik random, sebanyak lima sampel, lalu melakukan pembobotan. Jika warnanya berbeda, maka bobotnya pun lain. Menurut Udiharto, dalam kaidah pengujian sampel, tidak dikenal metode random dengan pembobotan.

“Jadi seluruh keterangan ahli Kejagung ini tidak bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan, dan tidak sesuai perundang-undangan. Terakhir, ketika semuanya terungkap, Edison berkilah bahwa ia tidak merujuk Kepmen LH 128/2003, melainkan berdasarkan pengalamannya di lapangan,” ungkap Udiharto.

Keprihatinan yang sama, diungkapkan ahli bioremediasi dari Intitut Teknologi Bandung (ITB) DR Renni Sri Harjati Suhardi.

Ia tak pernah membayangkan, Kepmen LH 128/2003 yang digodoknya sepuluh tahun lalu bersama sejumlah pakar termasuk Udiharto, di ulang tahunnya yang kesepuluh tahun ini justru mendapat “kado” kasus bioremediasi.

Menurut Renni, Kepmen LH 128/2003 hadir, dengan semangat memberikan “pagar” dan “rambu-rambu” agar teknologi bioremediasi bisa dilakukan dengan benar di Indonesia. Semua ilmuan termasuk Edison Effendi berhak melakukan penelitian bioremediasi dengan caranya sendiri. Namun ketika masuk dalam ranah menerapkan bioremediasi di lapangan, harus tunduk pada aturan teknis yang tertuang dalam Kepmen LH 128/2003.

“Tidak boleh seorang ahli bioremediasi memberikan keterangan hanya berdasarkan pengalaman pribadinya,” jelas Renni.

Bukan cuma itu. Edison juga mengatakan, tanah dari lapangan Minas yang diambil sebagai sampel dengan TPH 1,7 persen, setelah didiamkan selama 14 hari TPH-nya menjadi nol persen. Hal itu kemudian menjadi kesimpulan penyidik dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) bahwa selama ini kegiatan bioremediasi CPI fiktif.

“Istilah nol persen ini tidak dikenal dalam kaidah penelitian maupun keilmuan. Selama ini istilah yang digunakan adalah “not detected”,” jelasnya.

Tentang laboratorium yang digunakan Edison menguji sampel tanah dari lapangan CPI. Edison mengatakan seluruh alatnya adalah alat yang canggih, meski tidak terakreditasi berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) LH Nomor 06 Tahun 2009.

“Keterangan Edison ini tidak bisa dipertanggungjawabkan. Karena laboratorium yang digunakan untuk menguji sampel untuk kepentingan pembuktian di pengadilan, mutlak harus terakreditasi dan tersertifikasi sesuai Permen LH 06/2009,” katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar