Selasa, 24 September 2013

Hakim Tipikor Soal Penetapan Tersangka Bachtiar




Selasa, 24 September 2013

Jakarta, GATRAnews - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyoal penetapan tersangka Bachtiar Abdul Fatah, GM Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pasific Indonesia (PT CPI), dalam kasus korupsi bioremediasi PT CPI.


“Saudara tanda tangan kontrak tanggal 24 Agustus 2011 dan pindah tanggal 1 September 2011. Sebentar sekali, berapa lama itu? Cuma enam hari?” tanya Hakim Slamet, saat memeriksa terdakwa Bachtiar, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (23/9).

Pertanyaan tersebut dilontarkan Hakim Slamet, karena setelah enam hari Bachtiar tandatangani kontrak bridging proyek bioremediasi mewakili perusahaan (PT CPI), 24 Agustus 2011, kemudian Bachtiar dipindahtugaskan ke Jakarta.

"Lalu saudara sempat ngapain saja itu enam hari?” tanya Slamet, yang kemudia dijawab Bachtiar, "Tidak ada”.

Kemudian Hakim Slamet kembali bertanya, “Ya terus bagaimana itu kalau tidak sempat ngapa-ngapaian?” ucapnya.

Bachtiar langsung menjawab, “Ya, karena itu saya juga tidak mengerti, Yang Mulia…” jawabnya.

Menurut terdakwa, dirinya mengetahui statusnya sebagai tersangka pada Maret 2012, dan pada 26 September 2012, keempat tersangka karyawan CPI dan dua kontraktor CPI langsung ditahan.

Ketika terdakwa menjelaskan soal penahanan ini, di bagian deretan kursi JPU di persidangan tampak Jaksa Rudi, yang dikatakan terdakwa memintanya menandatangani surat penahanan menundukan kepalanya dan duduk dengan posisi mundur sehingga tertutup badan rekan-rekan Jaksa lainnya.

Seperti terungkap dalam persidangan, keempat karyawan CPI melakukan gugatan praperadilan yang kemudian dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bachtiar kemudian dibebaskan dari tahanan dan statusnya sebagai tersangka telah dibatalkan, karena jaksa tidak dapat menunjukkan bukti-bukti termasuk selama persidangan.

“Putusan pra-peradilan menyebutkan penahanan dan status saya sebagai tersangka tidak sah,” ungkap Bachtiar.

Bachtiar menuturkan, setelah ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan usai diperiksa sebagai tersangka, dirinya melakukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatannya dan menyatakan bahwa penahanan dan penetanap terhadap dirinya tidak sah, sehingga Kejaksaan Agung melepaskannya.

Namun, setelah itu, Kejagung kembali memanggilnya untuk diperiksa dan dua kali dipanggil Bachtiar tidak memenuhinya karena Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mencabut status tersangka dalam perkara ini dan menolak berkas pemeriksaanya dinyatakan lengkap (P-21)

Tanpa diperiksa ulang dan telah menyatakan keberatan kepada Kejaksaan Agung atas pe-P-21-an berkas tersebut, Bachtiar diambil paksa dan kembali ditahan oleh penyidik, sehingga kasusnya kini bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

“Saya tidak pernah mendapatkan surat pembatalan putusan pra-peradilan sebelum ditahan dan tidak pernah mendapatkan penjelasan mengenai adanya putusan pra-peradilan oleh Mahkamah Agung,” ujar Bachtiar.

Terdakwa mengaku bahwa dirinya dipaksa menandatangani surat penahanan, tidak diberikan penjelasan atas penahanan itu dan terdakwa mengaku tidak memiliki pilihan.

Terdakwa pun mengaku tidak pernah diperiksa oleh badan pemeriksaan Mahkamah Agung mengenai putusan pra-peradilan dan terdakwa pun tidak pernah menerima tembusan surat resmi dari Mahkamah Agung yang membatalkan putusan pra-peradilan tersebut.

Padahal mantan hakim agung, Prof Laica dan guru besar UGM, Prof Edward yang hadir sebagai ahli dan menjelaskan dalam sidang sebelumnya, bahwa putusan praperadilan bersifat final dan mengikat. Menurut kedua ahli hukum ini, tidak ada putusan administratif atau surat yang bisa membatalkannya.(IS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar