Senin, 23 September 2013

Diperiksa Hakim, Terdakwa Kasus Bioremediasi Chevron Menangis


BAF

Senin, 23 September 2013
Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Pemeriksaan terdakwa karyawan CPI, Bachtiar Abdul Fatah mengharu biru. Bachtiar tertunduk dan mencucurkan air mata saat menjawab pertanyaan hakim Slamet seputar penetapan dirinya sebagai tersangka.

Bachtiar ditetapkan sebagai tersangka hanya karena menandatangani kontrak bridging proyek bioremediasi mewakili perusahaan (CPI) pada tanggal 24 Agustus 2011.

"Saudara tandatangan kontrak tanggal 24 Agustus 2011 dan pindah tanggal 1 September 2011. Sebentar sekali. Berapa lama itu? Cuma enam hari?" tanya hakim Slamet di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan HR
Rasuna Said, Senin (23/9/2013).

Slamet lalu menghitung hari antara terdakwa tandatangan kontrak dan putusan CPI untuk kepindahan terdakwa ke Jakarta.

"Lalu saudara sempat ngapain saja itu enam hari?" lanjut Slamet.

"Tidak ada," jawab Bachtiar.

"Ya terus, bagaimana itu kalau tidak sempat ngapa-ngapaian?" tanya hakim Slamet penasaran.
"Ya, karena itu saya juga tidak mengerti, Yang Mulia," jawab Bachtiar sambil tertunduk dan tak kuasa menahan tangisnya.

Menurut terdakwa, dirinya mengetahui statusnya sebagai tersangka pada bulan Maret 2012 dan pada tanggal 26 September 2012, keempat tersangka karyawan CPI dan 2 kontraktor CPI langsung ditahan.

Keempat karyawan CPI melakukan gugatan praperadilan yang kemudian dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PNJaksel) dan Bachtiar dibebaskan dari tahanan dan statusnya sebagai tersangka telah
dibatalkan karena jaksa tidak dapat menunjukkan bukti-bukti termasuk selama persidangan.

"Putusan praperadilan menyebutkan penahanan dan status saya sebagai tersangka tidak sah," ungkap Bachtiar.

Menurut terdakwa, setelah adanya putusan tersebut terdakwa tidak pernah diminta untuk melakukan penyidikan ulang dan terdakwa sudah mengajukan keberatan kepada Kejaksaan Agung atas P21 namun yang terjadi malah terdakwa kemudian dijemput paksa.

"Saya tidak pernah mendapatkan surat pembatalan putusan pra-peradilan sebelum ditahan dan tidak pernah mendapatkan penjelasan mengenai adanya putusan praperadilan oleh Mahkamah Agung (MA)," terang terdakwa
Bachtiar sambil mencoba melawan kesedihannya.

Terdakwa mengaku bahwa dirinya dipaksa menandatangani surat penahanan, tidak diberikan penjelasan atas penahanan itu dan terdakwa mengaku tidak memiliki pilihan. Terdakwa pun mengaku tidak pernah diperiksa
oleh badan pemeriksaan MA mengenai putusan praperadilan dan terdakwa pun tidak pernah menerima tembusan surat resmi dari MA yang membatalkan putusan praperadilan.

Padahal mantan hakim agung Prof Laica MArzuki dan guru besar UGM, Prof Edward Siraidj yang hadir sebagai ahli dan menjelaskan dalam sidang sebelumnya bahwa putusan praperadilan bersifat final dan mengikat. Menurut kedua ahli hukum ini, tidak ada putusan administratif atau surat yang bisa membatalkannya. (asp/rvk)

Klik Detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar