Rabu, 27 Maret 2013

Dan Penasihat Hukum Pun Walk Out di Persidangan



Edison Effendi

Sidang perkara dugaan korupsi bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia (Chevron) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (25/3) malam, mencapai klimaksnya. Perseteruan terbuka antara kubu jaksa penuntut umum dan kubu terdakwa ditumpahkan lewat perantara ahli yang dihadirkan.



Malam itu, tim penasihat hukum terdakwa Direktur PT Sumigita Jaya, Herlan bin Ompo, menghadirkan ahli yang bisa dibilang “tokoh kunci” karena berada di balik pelaporan dugaan bioremediasi fiktif Chevron. [koreksi : yang menghadirkan saksi ahli adalah JPU bukan pihak terdakwa]

Suasana panas sudah terasa sejak sebelum sidang. Apalagi, beberapa menit sebelumnya ada sidang kasus yang sama, dengan terdakwa Direktur PT Green Planet Indonesia Ricksy Prematuri. Dalam sidang itu, perseteruan terbuka sudah memuncak dengan dicecarnya ahli yang dihadirkan jaksa dari Kejaksaan Agung, yaitu Edison Effendi.

Edison adalah ahli yang digunakan Kejagung untuk mengambil sampel tanah tercemar di area Chevron yang kemudian digunakan untuk menyusun dakwaan dalam kasus ini. Masalahnya, para terdakwa mengenal Edison sebagai orang yang sakit hati kepada Chevron karena pernah ikut tender di Chevron, tetapi kalah.

Di persidangan, nama Edison seolah “legenda” yang lama tak pernah mereka lihat, tetapi begitu kuat pengaruhnya karena memberatkan terdakwa di persidangan. Dengan level persepsi yang berbeda, nama Edison sering disebut dalam sidang sebagai orang yang mengungkap kasus ini.

Tak heran jika sejak persidangan pertama dengan terdakwa Ricksy, penasihat hukum terdakwa, yaitu Najib Ali Gisymar, tak memberi jeda “bernafas” bagi ahli. Najib menumpahkan segala jurus andalannya untuk melawan ahli yang dianggap tidak independen. Setiap pertanyaan Najib adalah sengatan bagi ahli, diperparah lagi dengan pertanyaan menohok hakim anggota Sofialdi yang memperberat reputasi ahli.

Suasana gaduh, saling serang, dan adu argumentasi membuat Ketua Majelis Hakim Sudharmawatiningsih hampir setiap menit harus melerai “pertikaian” kedua kubu.

Saat sidang kedua dengan terdakwa Herlan bin Ompo digelar, diantara deretan nama penasihat hukum tersua nama Hotma Sitompoel, pengacara yang dikenal lantang bertanya. “Pasti ahli akan dibantai Hotma. Saya nunggu aksi Hotma,” kata seorang pengunjung.

Dan memang, baru pembacaan riwayat hidup ahli dan berita acara pemeriksaan (BAP), Hotma memilih keluar (walk out) dari ruang sidang. Hotma memprotes isi BAP tiga orang ahli, yaitu Edison, Prayitno, dan Bambang. Menurut Hotma, ketiga ahli itu (Edison dan Prayitno, Bambang tidak dihadirkan dalam sidang) diperiksa dalam waktu bersamaan oleh penyidik yang sama dan isi BAP-nya juga sama hingga titik koma.

“Kami akan melaporkan ketiga orang ini karena memberikan sumpah palsu waktu di-BAP. Kami keberatan kedua ahli ini didengar kesaksiannya,” kata Hotma. Hotma mengutip Pasal 185 Ayat (6) huruf d KUHAP, yang menegaskan bahwa cara hidup dan kesusilaan saksi sangatlah penting berpengaruh pada tingkat kepercayaan di persidangan.

“keterangan tiga orang ini tak bisa dipercaya. Saya tidak mau dibohongi ahli ini. Saya dengan izin majelis hakim akan meninggalkan ruangan ini,” lanjut Hotma yang dipersilahkan Sudharmawatiningsih keluar persidangan. Hotma pun meninggalkan sidang.

Entah apa yang dimaksud “cara hidup dan kesusilaan” pada diri Edison. Namun, dalam persidangan, penasihat hukum Herlan lainnya, Dion Y Pongkor, mencecar Edison mengapa tidak lagi mengajar di sebuah universitas. Namun, jaksa keberatan terhadap pertanyaan itu.

Dalam berbagai media sosial, banyak orang yang menyayangkan aksi walk out itu karena lebih mementingkan sensasi. Namun, terlepas dari kritik itu, aksi Hotma ternayta menyedit perhatian banyak media massa dan pembaca. Dari yang biasanya berita persidangan Chevron selalu sepi pemberitaan, aksi itu justru memicu publikasi.

Aksi serupa pernah dilakukan penasihat hukum Neneng Sriwahyuni yang menolak mendengarkan pembacaan amar putusan in absentia akibat terdakwa kasus dugaan korupsi di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu tak bisa hadir karena mengaku sakit. Hanya saja, aksi itu tidak mendapat perhatian publik karena Neneng sering mengaku sakit.

Aksi walk out itu memang hak penasihat hukum. Namun, publik bisa tahu mana aksi yang elegan dan mana yang tidak. Karena itu, berhitunglah sebelum walk out. (AMIR SODIKIN)

KOMPAS, 27 Maret 2013 halaman 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar