Sabtu, 02 Maret 2013

Saksi Bela Terdakwa Bioremediasi Chevron

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, kembali menggelar sidang perkara dugaan korupsi bioremediasi fiktif di PT Chevron Pacific Indonesia (Chevron), pada Jumat (1/3/2013).


Kali ini, sidang menghadirkan terdakwa Kukuh Kertasafari,Koordinator Tim EIST (Environmental Issue Settlement Team atau Tim Penyelesaian Isu Sosial) Sumatera Light South Minas PT Chevron.

Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Sudharmawatiningsih, saksi dari Analyst Facility Engineer Chevron, Muhammad Adib, yang dihadirkan memberi keterangan yang meringankan terdakwa.

Adib mengungkapkan, terdakwa Kukuh Kertasafari tak bertanggung jawab dalam pekerjaan bioremediasi. Kukuh hanya mengetahui peta sampel lahan terkontaminasi minyak. Kukuh ternyata juga bukan berada di divisi bioremediasi.

Penasehat hukum Kukuh, Tarwo Hadisajuri, mencecar Adib dengan pertanyaan yang terkait dakwaan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung. "Apa pekerjaan bioremediasi salah satu yang dikoordinasi Tim EIST, yang dikoordinasi terdakwa?" tanya Tarwo yang dijawab tidak, oleh Adib.

"Bioremediasi di bawah tanggung jawab siapa?" tanya Tarwo. "Di bawah tanggung jawab REM (Reliability, Engeenering, and Maintenance)," jawab Adib.

Adib juga menjelaskan, pimpinan REM tak bertanggung jawab kepada EIST dan terdakwa juga tak pernah ikut menentukan dalam proses bioremediasi. Memang ada rapat-rapat yang dipimpin Kukuh selaku Koordinator Tim EIST. Dalam rapat tersebut dibahas perkembangan pengambilan sampel tanah tercemar.

"Saya beritahu kepada terdakwa, bentuknya gambar lokasi tanah tercemar. Saya menginformasi saja ke terdakwa mana yang disurvei. Hasil survei diberi ke bagian pertanahan, bukan ke terdakwa," kata Adib. Soal ganti rugi lahan, Adib mengatakan terdakwa hanya mengetahui lokasinya di mana saja, dan apakah sudah diberikan ganti rugi atau belum. Namun, pembayaran ganti rugi bukan dilakukan Kukuh melainkan divisi keuangan di Chevron yang telah mendapat laporan dari tim pertanahan.

Jaksa Febru Mahdi dan hakim mendalami, apakah Kukuh terlibat dalam pencampuran tanah tercemar minyak dengan TPH (Total Petroleum Hydrocarbon) lebih dari 15 persen dengan tanah yang TPH-nya kurang dari 4 persen.

Menurut ketentuan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003, tanah tercemar yang boleh dibioremediasi maksimal TPH-nya 15 persen. Pemrosesan tanah dengan TPH di atas 15 persen harus mempertimbangkan ketersediaan teknologi lain yang ada.

"Ketika dapat tanah dengan TPH di atas 15 persen, maka akan kita campur dengan TPH di bawah 4 persen," jawab Adib.

"Apa pekerjaan pencampuran TPH di atas 15 persen itu masuk dalam order pekerjaan?" tanya Ketua Majelis Hakim Sudharmawatiningsih yang dijawab iya, oleh Adib.

Pencampuran tersebut sudah termasuk pekerjaan dalam proses bioremediasi yang dikerjakan PT Sumigita Jaya dan dibiayai oleh Chevron.

Adib menjelaskan, ketentuan yang ia anut sesuai standard operational procedure Chevron, yaitu TPH di atas 15 persen harus dicampur dengan TPH di bawah 4 persen, agar nantinya kadar TPH tanah tercemar berada di kisaran 4-15 persen. Kisaran itu merupakan syarat tanah tercemar bisa masuk ke fasilitas pemrosesan bioremediasi.

"Di bioremediasi itu, tak ada peranan Kukuh. Kukuh hanya tahu saat ambil sampel tanah tercemar," kata Adib.

Adib memberikan hasil laporan survei sampel tanah ke tim pertanahan bukan ke tim EIST karena terkait proses selanjutnya yaitu ganti rugi tanah yang akan ditangani tim pertanahan.

Penasihat hukum terdakwa, Tarwo Hadisajuri, kembali mengkonfirmasi dakwaan jaksa kepada Adib, apakah 28 lokasi lahan yang ditetapkan sebagai lahan tercemar benar-benar tercemar atau tidak. "Pasti tercemar," jawab Adib.

"Dari mana Saudara tahu kalau itu tercemar," tanya Tarwo. "Dari yang saya kontrol di lapangan, tampak minyak-minyaknya sudah jelas tercemar," jawab Adib.

Adib juga menjelaskan, dalam rapat Tim EIST yang dipimpin Kukuh, tak pernah menelurkan sebuah keputusan yang sifatnya mengikat, misalnya bisa membatalkan status tanah yang telah tercemar. Rapat Tim EIST sifatnya koordinasi dan tidak struktural. "Tanggung jawab hanya kepada atasan masing-masing," kata Adib.

Jaksa mendakwa Kukuh berperan dalam proyek bioremediasi antara Oktober 2009 sampai 2012, dengan secara tak sah telah menetapkan 28 lahan tak terkontaminasi minyak sebagai tanah terkontaminasi. Apa yang dilakukan Kukuh dianggap telah mengakibatkan PT Sumigita Jaya melakukan bioremediasi fiktif.

Menurut dakwaan jaksa, setelah menetapkan 28 lokasi yang seolah-olah tercemar, Kukuh lalu memberitahu Direktur PT Sumigita Jaya, Herlan bin Ompo, dan kemudian bersama-sama dengan tim membersihkan tanah dari beberapa sumber lokasi. Padahal, menurut uji laboratorium yang dilakukan penyidik terhadap beberapa sampel pada Juli 2012, tanah tersebut tak terkontaminasi minyak sehingga menurut dakwaan jaksa, tanah tersebut tak perlu dibioremediasi.

Penulis : Amir Sodikin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar