Kamis, 10 Oktober 2013

Bactiar Nilai, Tuntutan 6 Tahun Penjara Tak Berdasar


Created on Thursday, 10 October 2013
Bachtiar Abdul Fatah dalam sidang pembelaan (9/10)
Jakarta, GATRAnews - Bachtiar Abdul Fatah, terdakwa kasus korupsi bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) menilai, tuntutan jaksa penuntut umum untuk menghukumnya 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta, tidak berdasar dan merupakan rekayasa semata.

Penilaian tersebut disampaikan terdakwa Bachtiar, yang menjabat sebagai General Manager Sumatera Light South (SLS) CPI itu, dalam pembelaannya (pledoi), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (9/10).


Menurut Bachtiar, ia tak selayaknya diseret ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, karena hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili pra peradilan yang diajukannya, menyatakan bahwa penetapan tersangka dan penahanan terhadapnya tidak sah, sehingga ia bebas dari segala tuduhan.

Terlebih, jaksa tidak bisa menempuh upaya hukum apa pun untuk membatalkan putusan hakim pra peradilan tersebut. "Putusan pra-peradilan bersifat tegas dan tidak ada yang bisa mematahkannya, bersifat mengikat dan akhir, serta tak dapat dibatalkan," tandasnya.

Hal itu sesuai dengan pendapat ahli Prof Laicha Marzuki saat memberikan kesaksiannya sebagai ahli di persidangan kasus yang melilit Bachtiar tersebut. Namun anehnya, jaksa malah melakukan upaya ambil paksa terhadap Bachtiar pada 17 Mei 2012 untuk diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, tanpa diberi tahu alasan pengambilan paksa tersebut, sehingga harus kembali meringkuk di penjara.

"Bachtiar tidak pernah diberitahu alasan konkrit pengambilan paksa dan penahanan," ungkap Bachtiar.

Menurutnya, langkah tersebut menunjukkan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan penegak hukum. Selain itu, surat dakwaan yang disusun jaksa penuntut umum pun tidak akurat dan tidak logis, sarat rekayasa, dan pemaksaan kehendak.

Akibat penahanan tersebut, Bachtiar mengaku kehilangan waktu berkualitas bersama keluarga, tidak bisa menghadiri ulang tahun anak-anak dan wisuda anaknya, serta merayakan Idul Fitri.

Meski demikian, Bachtiar dan keluarganya selalu berpikir positif karena yakin tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan. "Kesewenang-wenangan Kejagung terlihat sejak awal penyidikan. Tidak pernah ada penjelasan penahanan spesifik dan alat bukti yang cukup," tandasnya.

Menurutnya, pengerjaan proyek bioremediasi PT CPI sudah mengacu pada Kepmen nomor 128 tahun 2003 dan dirinya tidak pernah mendapat limpahan tanggung jawab untuk pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, karena bukan merupakan tugas pokok GM SLS, tetapi dalam dakwaan disebutkan ia menyalahi PTK 007 dalam kelalaian pengadaan barang dan jasa.

JPU dalam mengutip pernyataan Laicha tidak lengkap, sehingga merugikan Bachtiar. Saat memberikan kesaksian Laicha mengatakan, "Ketika perpanjangan izin sudah diajukan dan tetap ada pengawasan, maka tetap sah."

Kemudian, pejabat berwenang untuk pengadaan C905616 adalah Bagawan Isawahyudi sebagai pejabat fungsi yang berwenang, bukan Bachtiar. Keberhasilan studi bioremediasi PT CPI menjadi inspirasi disusunnya Kepmen LH nomor 28 tahun 2003.

"Keterangan KLH, 'hasil bioremediasi sesuai peraturan dan tidak ada yang fiktif karena ada pengawasan'," ujarnya

Sedangkan penilaian jaksa penuntut umum yang menyatakan, pengerja proyek bioremediasi, yakni PT Sumi Gita Jaya (SGJ), hal itu karena peraturan tidak menyatakan, bahwa kontraktor harus mempunyai izin bioremediasi.

"PT SGJ tidak memiliki izin, karena sesuai peraturan pemerintah, CPI-lah yang bertanggung jawab terhadap pengolahan limbah tersebut sebagai perusahaan penghasil limbah," beber Bachtiar.

Selain itu, PT SGJ merupakan sub-kontraktor yang hanya melakukan pekerjaan berdasarkan perintah PT CPI sesuai work order sebagaimana mekanismenya diatur dalam C905616.

Bahkan, tandas Bachtiar, PT Yola Consultant yang merupakan milik Edison Effendi tidak memiliki izin saat melakukan bioremediasi untuk perusahaan lain, karena hanya sebagai sub-kontraktor. Edison bahkan tidak tahu bagaimana proses pengajuan izin, karena tidak pernah terlibat dalam pengurusan izin.

Kemudian, pada 14 November 2011, kontrak bridging dimulai dan Bachtiar sudah tidak lagi terlibat karena pindah ke Jakarta. Jika memang Bachtiar melakukan penyalahgunaan kewenangan, tentu CPI sudah memberikan sanksi keras, namun tidak ada sanksi tersebut karena pelanggaran yang dilakukan Bachtiar.

"Apabila ada masalah sengketa dengan PSC dapat diajukan ke ranah perdata, bukan pidana," nilainya.

Akibat kesemena-menaan tersebut, PT CPI sulit mendapatkan kontraktor yang mau menjalankan proyek bioremediasi setelah PT SGJ divonis bersalah. Tidak adanya kontraktor tersebut berdampak pada penurunan produksi minyak.

"Kalaupun ada kontraktor yang mau, mereka meminta biaya 10 kali lebih besar karena takut, sementara PT CPI harus menekan harga produksi untuk menjaga harga minyak," pungkasnya. (IS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar