Senin, 07 Oktober 2013

Hindari Kriminalisasi, Indonesia Butuh Pengadilan Khusus Lingkungan

Dunia Energi
Senin, 7 Oktober 2013
Sidang kasus bioremediasi di Pengadilan Tipikor

JAKARTA – Kriminalisasi yang menimpa proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Bukan tidak mungkin ke depan kejadian yang sama bakal terulang. Indonesia membutuhkan pengadilan khusus lingkungan guna menghindari hal tersebut.

Pakar lingkungan hidup, Dra Masnellyarti Hilman, MSc (Nelly) menilai, mencuatnya kasus bioremediasi PT CPI yang dituding bermuatan korupsi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) merupakan akibat dari minimnya pengetahuan serta pemahaman aparat penegak hukum tentang kegiatan bioremediasi di industri hulu minyak dan gas bumi (migas).


Bioremediasi, kata Nelly, merupakan suatu teknologi pembersihan limbah B3 (bahan berbahaya beracun) menggunakan bantuan mikroorganisme atau bakteri. Sudah banyak perusahaan migas dan tambang yang meneliti dan mengembangkan teknologi itu, karena terbukti lebih efektif dan efisien.

Untuk memberikan payung hukum, ujarnya, maka pemerintah mengatur teknis pelaksanaannya melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 128 tahun 2003. Dalam Kepmen itu, diatur tentang syarat-syarat dilakukannya bioremediasi di industri hulu migas, berikut prosedur pengawasannya.

Nelly mengaku, saat menjabat Deputi IV Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menjadi leader dalam pengawasan penerapan teknologi bioremediasi di industri migas, termasuk yang dilakukan PT CPI. Ia baru memasuki masa pensiun pada Juni 2013 lalu.

“Dalam mengawasi praktek bioremediasi pihak KLH sudah berupaya sangat hati-hati dan transparan. Termasuk dalam melakukan verifikasi terhadap proses bioremediasi CPI, KLH mengikutsertakan banyak ahli dari perguruan tinggi. Namun sekarang, para ahli itu justru dibuat repot karena ikut diperiksa di kantor Kejagung,” ujarnya.

“KLH niatnya transparan, para ilmuan niatnya membantu untuk pengawasan yang transparan, sekarang malah dibuat repot dipanggil-panggil ke Gedung Bundar (kantor Kejagung),” ungkap Nelly yang selama menjabat dikenal sangat tegas terhadap perusahaan-perusahaan migas dan tambang pelanggar peraturan lingkungan.

Nelly mengungkapkan, sebelum ia pensiun, Menteri LH telah mengirim surat ke Presiden dengan tembusan ke Kejagung, meminta klarifikasi atas kasus bioremediasi CPI yang meresahkan itu. Hal ini lantaran, dalam menjerat CPI Kejagung menggunakan keterangan seseorang bernama Edison Effendi, yang penjelasannya justru bertentang dengan Kepmen LH 128/2003. “KLH anti korupsi. Kalau dituding ada kongkalikong, silahkan cek dan periksa,” tegasnya.

Dari kasus yang berkembang itu, Nelly pun menilai Indonesia butuh pengadilan khusus lingkungan, yang jaksa dan hakimnya adalah orang-oang yang telah mendapat pelatihan teknis seputar penanganan persoalan lingkungan. Mereka yang sudah mendapatkan pelatihan itulah yang nantinya fokus ditugaskan menegakkan hukum bidang lingkungan, secara profesional.

Karena menurut dia, kasus bioremediasi ini muncul, karena adanya kesenjangan pengetahuan para aparat penegak hukum, terkait hal-hal teknis penegakan hukum lingkungan. Diantaranya, proses pembuktian adanya pidana lingkungan, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, haruslah berkoordinasi dengan aparat KLH.

Namun dalam kasus bioremediasi, prosedur yang sudah diatur oleh UU itu diterabas oleh penyidik Kejagung. Bahkan pakar hukum lingkungan, Asep Warlan Yusuf sudah menjelaskan bahwa penadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak berwenang mengadili kasus bioremediasi. Namun keterangan itu tidak diindahkan oleh jaksa maupun hakim.

“Kita selalu melakukan pelatihan lingkungan bagi aparat penegak hukum. Namun rotasi di kejaksaan dan kehakiman begitu cepat, sehingga yang sudah mendapat pelatihan tidak lagi bertugas mengurus persoalan lingkungan,” jelasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tjatur Sapto Edi juga mengungkapkan, kasus bioremediasi CPI muncul karena minimnya pengetahuan aparat penegak hukum, terhadap hal-hal teknis di industri migas, khususnya tentang bioremediasi.

Hal senada juga diungkapkan kolega Tjatur dari Komisi VII DPR, Totok Daryanto dan Satya Widya Yudha. “Kalau jaksa dan hakim memahami mekanisme kerja di industri hulu migas, tentu tidak akan muncul kasus bioremediasi ini,” ujar Satya Yudha.

Sementara pakar biorremediasi dari Intitut Teknologi Bandung (ITB) Dr Renni Sri Haryati Suhardi menuturkan, dari seluruh proyek bioremediasi yang telah berlangsung di seantero dunia, hanya di Indonesia yang sampai menjadi kasus pidana. “Kalau kasus pidananya pidana lingkungan sih wajar, tapi ini kasus korupsi. Kok tidak nyambung,” tutur Renni yang ikut membidani lahirnya Kepmen LH 128/2003.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)

Klik Dunia Energi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar