Rabu, 18 September 2013
Tim penyidik Kejaksaan Agung saat mengumpulkan sampel tanah kasus bioremediasi. |
Perbedaan hasil uji sampel ini terungkap dalam sidang kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah yang berlangsung si Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin, 16 September 2013.
Dalam sidang itu, dihadirkan saksi bernama Wahyu Budiarto, yang mengetahui proses pengambilan sampel oleh penyidik Kejagung di lokasi bioremediasi CPI. Wahyu yang saat ini menjabat General Manager (GM) SLS PT CPI, mengaku melakukan pengujian sendiri terhadap sampel yang diambil dari lokasi yang sama.
“CPI juga melakukan tes terhadap sampel yang diambil. Hasil pemeriksaan stockpile oleh ahli yang ditunjuk Kejaksaan yang tercantum dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) seluruhnya berbeda dengan hasil yang dikeluarkan laboratorium CPI,” ujar saksi yang mengaku memiliki hasil tes CPI tersebut.
Saksi mengaku ikut hadir dan menyaksikan, saat ahli dan penyidik dari Kejagung melakukan pengambilan sampel pada April 2012 lalu. Ia menerangkan, sampel itu diambil Tim Jaksa Kejagung di Minas dan di Duri. Sedangkan CPI diwakili oleh tim operasional dan hukum.
Saksi pun menerangkan bahwa dalam pengambilan sampel tersebut, tim Kejagung dikepalai oleh Edison Effendi, yang kerap disapa “Profesor” oleh para jaksa. “Si Profesor” inilah yang menginstruksikan cara pengambilan sampel. Dalam persidangan sebelumnya terungkap bahwa Edison Effendi ternyata pernah mengikuti tender dan kalah dalam proyek bioremediasi CPI yang saat ini dipersoalkan oleh Kejagung.
Sebenarnya, kata Wahyu, pada Februari 2012 tim Kejagung sempat datang ke fasilitas bioremediasi CPI. Maka dari itu, untuk kedatangan berikutnya pada April 2012, CPI sudah mempersiapkan pertemuan dan presentasi, untuk memperlihatkan seluruh SBF (Soil Bioremediation Facilities) yang dibangun CPI.
Namun pada April 2012, lanjut saksi Wahyu, tim Kejagung memilih untuk langsung datang ke SBF 8D72, yakni SBF yang sama dengan yang mereka kunjungi pada Februari 2012. “Kami sudah mempersiapkan ruang pertemuan, tetapi tim Kejagung memilih untuk tetap di mobil, dan langsung memilih lahan-lahan yang mereka inginkan, tanpa bertanya dan membuat kesepakatan terlebih dulu,” ungkap Wahyu.
“Setelah pengambilan sampel normalnya dibuat komposit. Namun saat itu terjadi perdebatan bagaimana mengkompositkannya, karena ada keinginan dari Edison Effendi untuk memisahkan sampel yang gelap dan yang terang. Sementara menurut ahli dari CPI, tidak seperti itu. Sempat terjadi argumentasi yang cukup panjang saat itu,” kisah Wahyu.
Meskipun keberatan, kata Wahyu, namun akhirnya staff CPI mengikuti apa yang diminta Kejagung dan Edison Effendi, karena merasa yang meminta adalah penegak hukum yang merupakan wakil negara. Mereka lantas membawa sampel itu, untuk diuji dengan cara Edison Effendi dan Kejagung sendiri. Saksi pun tidak pernah diundang oleh Kejagung maupun Edison Effendi, untuk menyaksikan proses pengetesan sampel tersebut di kantor Kejagung.
Meski demikian, kata Wahyu lagi, CPI tetap melakukan pengujian sampel sendiri, namun menggunakan laboratorium yang terakreditasi. “Pengujian dilakukan di laboratorium ALS dan laboratorium internal PT CPI, yang keduanya sudah terakreditasi sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku mengenai laboratorium lingkungan,” ungkap saksi Wahyu.
Dalam persidangan sebelumnya, Edison Effendi yang hadir sebagai ahli yang ditunjuk JPU mengakui bahwa laboratorium yang digunakan olehnya tidak terakreditasi sebagai laboratorium lingkungan, sebagaimana disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Klik Dunia-energi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar