Kamis, 12 September 2013
Penulis : Charles Siahaan - Editor : Hadi Rahman
"KASUS biromediasi di Indonesia terkesan banyak kejanggalan ketika diproses di pengadilan. Bahkan sejumlah pakar di bidang ini pun pusing. Ide pendirian pengadilan khusus lingkungan kembali bergulir."
Jakarta – Sistem peradilan Indonesia akan tercoreng bila PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) benar-benar membawa kasus bioremediasi ke peradilan internasional. Secara khusus, kredibilitas Kejaksaan Agung akan merosot.
Prof. M Udiharto dari Lemigas Kementerian ESDM mengungkapkan, memang ada keanehan peradilan ketika menangani kasus bioremediasi yang sedang hangat di kalangan industri migas. Salah satu kejanggalannya, saksi ahli yang dihadirkan jaksa terkesan "pesanan" karena banyak mengumbar pernyataan tidak benar.
"Di zaman begini, masih ada pihak hukum yang mengikuti hal-hal yang tidak masuk akal," kata Udiharto dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (11/9).
Menurut dia, pemaparan saksi ahli kejaksaan selama ini tidak sesuai dengan isi Kepmen 128 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penanganan Limbah dan Tanah Terkontaminasi. Contohnya, saksi ahli menggunakan sampel yang sudah kadaluarsa, itu pun pengujiannya cuma satu kali dan dilakukan sendiri pula. Alhasil, kesaksiannya tidak obyektif.
Pakar bioremediasi dari Institut Teknologi Bandung Reni Sri Harjati Suhardi mengungkapkan, kasus bioremediasi di Indonesia terbilang rumit karena para jaksa dan hakim tidak memahami teknisnya.
"Kasus biromediasi dibawa ke pengadilan itu baru terjadi di Indonesia. Di negara lain, belum pernah ada kasus biromediasi itu masuk persidangan hukum. Harusnya kasus ini diselesaikan dulu di Kementerian Lingkungan Hidup," ujarnya.
"Sangat sulit jadinya. Kalau bingung, saya juga malah tambah bingung," tuturnya.
Karena itu, Masnelyarti Hilman, pakar lingkungan dan mantan Deputi V Kementerian Lingkungan Hidup, menyarankan perlunya dibentuk pengadilan khusus lingkungan. Pengadilan itu berisi para hakim yang betul-betul mengerti masalah lingkungan.
"Nah, yang lebih membingungkan lagi, kasus bioremediasi ini dikaitkan dengan kasus korupsi. Kok bisa begitu?" katanya.
Klik Jurnalparlemen.com
"KASUS biromediasi di Indonesia terkesan banyak kejanggalan ketika diproses di pengadilan. Bahkan sejumlah pakar di bidang ini pun pusing. Ide pendirian pengadilan khusus lingkungan kembali bergulir."
Jakarta – Sistem peradilan Indonesia akan tercoreng bila PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) benar-benar membawa kasus bioremediasi ke peradilan internasional. Secara khusus, kredibilitas Kejaksaan Agung akan merosot.
Prof. M Udiharto dari Lemigas Kementerian ESDM mengungkapkan, memang ada keanehan peradilan ketika menangani kasus bioremediasi yang sedang hangat di kalangan industri migas. Salah satu kejanggalannya, saksi ahli yang dihadirkan jaksa terkesan "pesanan" karena banyak mengumbar pernyataan tidak benar.
"Di zaman begini, masih ada pihak hukum yang mengikuti hal-hal yang tidak masuk akal," kata Udiharto dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (11/9).
Menurut dia, pemaparan saksi ahli kejaksaan selama ini tidak sesuai dengan isi Kepmen 128 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penanganan Limbah dan Tanah Terkontaminasi. Contohnya, saksi ahli menggunakan sampel yang sudah kadaluarsa, itu pun pengujiannya cuma satu kali dan dilakukan sendiri pula. Alhasil, kesaksiannya tidak obyektif.
Pakar bioremediasi dari Institut Teknologi Bandung Reni Sri Harjati Suhardi mengungkapkan, kasus bioremediasi di Indonesia terbilang rumit karena para jaksa dan hakim tidak memahami teknisnya.
"Kasus biromediasi dibawa ke pengadilan itu baru terjadi di Indonesia. Di negara lain, belum pernah ada kasus biromediasi itu masuk persidangan hukum. Harusnya kasus ini diselesaikan dulu di Kementerian Lingkungan Hidup," ujarnya.
"Sangat sulit jadinya. Kalau bingung, saya juga malah tambah bingung," tuturnya.
Karena itu, Masnelyarti Hilman, pakar lingkungan dan mantan Deputi V Kementerian Lingkungan Hidup, menyarankan perlunya dibentuk pengadilan khusus lingkungan. Pengadilan itu berisi para hakim yang betul-betul mengerti masalah lingkungan.
"Nah, yang lebih membingungkan lagi, kasus bioremediasi ini dikaitkan dengan kasus korupsi. Kok bisa begitu?" katanya.
Klik Jurnalparlemen.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar