Selasa, 17 September 2013
JAKARTA – Untuk kesekian kalinya saksi yang dihadirkan dalam persidangan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) menegaskan bahwa Soil Bioremediation Facilities (SBF) yang dioperasikan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) minyak dan gas bumi (migas) itu telah mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Kali ini, kesaksian itu terlontar dari bibir Wahyu Budiarto, yang dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, dengan terdakwa karyawan PT CPI, Bachtiar Abdul Fatah, Senin, 16 September 2013. Wahyu menyatakan, laporan-laporan pelaksanaan proyek bioremediasi PT CPI, telah diterima dan diverifikasi oleh KLH.
“Dalam pengerjaan bioremediasi selalu diawasi oleh KLH, ada laporan secara kuartal yang dikirimkan oleh CPI. Setiap tahun juga ada audit ke lapangan oleh KLH,” ungkap Wahyu Budiarto yang saat ini menjabat sebagai GM SLS PT CPI, sejak 2011.
Menurut saksi, CPI melaporkan semua perkembangan SBF dalam laporan kuartal, dan selama saksi menjabat sebagai GM Health Environment and Safety tidak pernah ada laporan mengenai pelanggaran yang dilakukan CPI, juga tidak pernah ada dokumen yang mengatakan adanya pelanggaran.
“Setelah dilakukan pembersihan (bioremediasi, red) langsung dilaporkan ke KLH, lengkap dengan data-datanya. Kemudian KLH akan mengirimkan pejabatnya disertai Dewan Pakar, untuk memeriksa apakah benar tanah yang dibioremediasi sudah benar-benar bersih. Setelah benar-benar bersih, akan dikeluarkan surat status tanah pembersihan lahan terkontaminasi (SSPLT) oleh KLH. Sekitar 132 lokasi sudah dibersihkan,” ujar Wahyu Budiarto.
Dalam keterangan di persidangan itu, saksi menjelaskan bahwa dirinya terlibat dalam pembuatan PROPER (penilaian ketaatan terhadap Undang-Undang Lingkungan) sejak 2010. Pada periode penilaian PROPER 2009-2010, CPI dianggap taat dalam masalah izin kerja. Lalu pada periode 2010-2012, CPI mendapatkan PEROPER Biru yang artinya mentaati seluruh aturan.
Terkait dakwaan jaksa yang menyebutkan bahwa CPI tidak memiliki izin terkait dengan SBF-nya dalam periode 2009-2011, dalam keterangannya kemarin saksi membantah hal tersebut.
“SBF-SBF yang dimiliki CPI sudah mendapatkan izin KLH. Izin-izin ini memiliki jangka waktu, dan untuk memperpanjang izin tersebut CPI perlu memasukkan permohonan perpanjangan sebelum izin berakhir, dan itu sudah dilakukan CPI,” ungkap Wahyu.
Menurut saksi, proses permohonan perpanjangan izin tersebut, sudah diverifikasi oleh KLH. Saksi mengaku melihat sendiri dokumen-dokumennya, antara lain berupa dokumen pemeriksaan dari pejabat KLH yang berkunjung ke lokasi SBF.
“Dalam dokumen yang saya miliki disebutkan bahwa CPI diizinkan tetap melakukan bioremediasi, sedangkan izin sedang dalam masa perpanjangan. Perpanjangan izin diterbitkan secara administratif oleh KLH pada tahun 2012,” ungkap saksi yang telah bekerja di CPI sejak 1988.
Berharap Mendapat KeadilanMenanggapi keterangan saksi ini, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan membenarkan bahwa pelaksanaan proyek bioremediasi CPI telah dikerjakan sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan diawasi serta disetujui oleh instansi pemerintah terkait, diantaranya KLH.
“Pejabat KLH telah bersaksi di persidangan, dan kami pun memiliki dokumen yang menunjukkan bahwa CPI telah memiliki izin serta kontraktor CPI tidak perlu memiliki izin. CPI justru diharuskan oleh KLH untuk melanjutkan proyek bioremediasi ini, sesuai dengan mandat Undang-Undang Lingkungan, guna memulihkan lingkungan seiring proses perpanjangan izin yang berlangsung,” ungkap Dony.
Dalam beberapa kali sidang sebelumnya, saksi-saksi dari KLH, juga para ahli dari perguruan tinggi, sudah menjelaskan hal yang sama. Bahwa kontraktor bioremediasi CPI tidak perlu memegang izin, yang harus mempunyai izin adalah CPI selaku pemilik limbah.
Demikian pula dengan perizinan, para saksi dan ahli sebelumnya sudah menjelaskan bahwa bioremediasi masih bisa dilanjutkan hingga tanah benar-benar bersih, seiring dengan proses perizinan yang sedang berlangsung. Hal ini karena sesuai Undang-Undang (UU) Lingkungan, kegiatan rehabilitasi lingkungan tidak boleh ditunda dan harus dikerjakan secepatnya hingga tuntas.
“Dalam vonis terhadap tiga karyawan kami sebelumnya, majelis hakim mengabaikan keterangan dan bukti-bukti yang menjelaskan adanya izin dan persetujuan KLH agar CPI melanjutkan proyek bioremediasinya. Keterangan yang menjelaskan bahwa kontraktor CPI tidak memerlukan izin, dan kegiatan bioremediasi sudah sesuai peraturan yang ada, juga diabaikan,” jelas Dony.
Dony mengaku heran dengan pengabaian tersebut. Karena sesuai UU Lingkungan, mestinya KLH yang paling berwenang dalam menentukan ketaatan atau adanya pelanggaran atas peraturan di bidang lingkungan. Atas dasar itu, seharusnya semua pihak termasuk penegak hukum dalam memutus perkara lingkungan, merujuk pada keterangan pejabat KLH serta bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan.
“Kami sangat berharap bahwa karyawan kami akan segera memperoleh keadilan. Oleh karena itu kami meminta penegak hukum untuk merujuk kepada keterangan pejabat pemerintah berwenang, ahli-ahli yang kredibel dan peraturan yang berlaku, serta mengabaikan keterangan dari pihak yang tidak kredibel,” pungkasnya.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Klik Dunia-energi.com
Menurut saksi, CPI melaporkan semua perkembangan SBF dalam laporan kuartal, dan selama saksi menjabat sebagai GM Health Environment and Safety tidak pernah ada laporan mengenai pelanggaran yang dilakukan CPI, juga tidak pernah ada dokumen yang mengatakan adanya pelanggaran.
“Setelah dilakukan pembersihan (bioremediasi, red) langsung dilaporkan ke KLH, lengkap dengan data-datanya. Kemudian KLH akan mengirimkan pejabatnya disertai Dewan Pakar, untuk memeriksa apakah benar tanah yang dibioremediasi sudah benar-benar bersih. Setelah benar-benar bersih, akan dikeluarkan surat status tanah pembersihan lahan terkontaminasi (SSPLT) oleh KLH. Sekitar 132 lokasi sudah dibersihkan,” ujar Wahyu Budiarto.
Dalam keterangan di persidangan itu, saksi menjelaskan bahwa dirinya terlibat dalam pembuatan PROPER (penilaian ketaatan terhadap Undang-Undang Lingkungan) sejak 2010. Pada periode penilaian PROPER 2009-2010, CPI dianggap taat dalam masalah izin kerja. Lalu pada periode 2010-2012, CPI mendapatkan PEROPER Biru yang artinya mentaati seluruh aturan.
Terkait dakwaan jaksa yang menyebutkan bahwa CPI tidak memiliki izin terkait dengan SBF-nya dalam periode 2009-2011, dalam keterangannya kemarin saksi membantah hal tersebut.
“SBF-SBF yang dimiliki CPI sudah mendapatkan izin KLH. Izin-izin ini memiliki jangka waktu, dan untuk memperpanjang izin tersebut CPI perlu memasukkan permohonan perpanjangan sebelum izin berakhir, dan itu sudah dilakukan CPI,” ungkap Wahyu.
Menurut saksi, proses permohonan perpanjangan izin tersebut, sudah diverifikasi oleh KLH. Saksi mengaku melihat sendiri dokumen-dokumennya, antara lain berupa dokumen pemeriksaan dari pejabat KLH yang berkunjung ke lokasi SBF.
“Dalam dokumen yang saya miliki disebutkan bahwa CPI diizinkan tetap melakukan bioremediasi, sedangkan izin sedang dalam masa perpanjangan. Perpanjangan izin diterbitkan secara administratif oleh KLH pada tahun 2012,” ungkap saksi yang telah bekerja di CPI sejak 1988.
Berharap Mendapat KeadilanMenanggapi keterangan saksi ini, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan membenarkan bahwa pelaksanaan proyek bioremediasi CPI telah dikerjakan sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan diawasi serta disetujui oleh instansi pemerintah terkait, diantaranya KLH.
“Pejabat KLH telah bersaksi di persidangan, dan kami pun memiliki dokumen yang menunjukkan bahwa CPI telah memiliki izin serta kontraktor CPI tidak perlu memiliki izin. CPI justru diharuskan oleh KLH untuk melanjutkan proyek bioremediasi ini, sesuai dengan mandat Undang-Undang Lingkungan, guna memulihkan lingkungan seiring proses perpanjangan izin yang berlangsung,” ungkap Dony.
Dalam beberapa kali sidang sebelumnya, saksi-saksi dari KLH, juga para ahli dari perguruan tinggi, sudah menjelaskan hal yang sama. Bahwa kontraktor bioremediasi CPI tidak perlu memegang izin, yang harus mempunyai izin adalah CPI selaku pemilik limbah.
Demikian pula dengan perizinan, para saksi dan ahli sebelumnya sudah menjelaskan bahwa bioremediasi masih bisa dilanjutkan hingga tanah benar-benar bersih, seiring dengan proses perizinan yang sedang berlangsung. Hal ini karena sesuai Undang-Undang (UU) Lingkungan, kegiatan rehabilitasi lingkungan tidak boleh ditunda dan harus dikerjakan secepatnya hingga tuntas.
“Dalam vonis terhadap tiga karyawan kami sebelumnya, majelis hakim mengabaikan keterangan dan bukti-bukti yang menjelaskan adanya izin dan persetujuan KLH agar CPI melanjutkan proyek bioremediasinya. Keterangan yang menjelaskan bahwa kontraktor CPI tidak memerlukan izin, dan kegiatan bioremediasi sudah sesuai peraturan yang ada, juga diabaikan,” jelas Dony.
Dony mengaku heran dengan pengabaian tersebut. Karena sesuai UU Lingkungan, mestinya KLH yang paling berwenang dalam menentukan ketaatan atau adanya pelanggaran atas peraturan di bidang lingkungan. Atas dasar itu, seharusnya semua pihak termasuk penegak hukum dalam memutus perkara lingkungan, merujuk pada keterangan pejabat KLH serta bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan.
“Kami sangat berharap bahwa karyawan kami akan segera memperoleh keadilan. Oleh karena itu kami meminta penegak hukum untuk merujuk kepada keterangan pejabat pemerintah berwenang, ahli-ahli yang kredibel dan peraturan yang berlaku, serta mengabaikan keterangan dari pihak yang tidak kredibel,” pungkasnya.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Klik Dunia-energi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar