Rabu, 17 Juli 2013

Hakim beda pendapat atas kasus korupsi bioremediasi Chevron

Merdeka.com

Slamet Subagyo (kanan)
Salah seorang hakim yang menangani kasus korupsi bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, Hakim Slamet Subagyo, berbeda pendapat terhadap perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Kukuh Kasafari. Hakim Slamet menyatakan Kukuh tidak terbukti bersalah dalam dua perbuatan tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya.


Dia menyatakan Kukuh tidak terbukti dalam dakwaan primer maupun subsider sebagaimana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan.

"Menimbang terhadap putusan hakim anggota berpendapat lain. Hakim anggota dua menyatakan perbuatan terdakwa tidak terbukti, oleh karenanya terdakwa harus dibebaskan dalam dakwaan primer," ujar Hakim Slamet, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (17/7).

Hakim Slamet menilai dalam dakwaan primer Kukuh sebagai Koordinator Tim Penanganan Isu Sosial Lingkungan Sumatera Light South (SLS) Minas PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) tidak terbukti menyalahgunakan kewenangan dalam proyek tersebut. Hakim Slamet masih meragukan apakah Kukuh selaku koordinator benar memiliki kewenangan dalam penetapan tanah yang terkontaminasi.

"Apakah benar terdakwa yang berwenang dan bersalah sehingga terjadi kekeliruan menetapkan tanah yang terkontaminasi?" ujar Hakim Slamet.

Hakim Slamet juga menyatakan dalam dakwaan subsider Kukuh tidak terbukti melakukan perbuatan itu secara bersama-sama yang menyebabkan kerugian negara. Sebab tugas Kukuh selaku koordinator berbeda dengan para terdakwa yang lain. Hal itu juga didukung oleh keterangan para saksi yang dihadirkan dalam persidangan dan di bawah sumpah.

"Unsur dari kerjasama terputus dari para peserta, suatu perbuatan tindak pidana korupsi tidak terpenuhi," ujarnya.

Beberapa saksi juga mengatakan terdakwa tidak memerintahkan penetapan tanah yang terkontaminasi. Adapun yang melakukan penetapan yakni tim lainnya, bukan terdakwa. Untuk itu, Hakim Slamet menyatakan bahwa terdakwa Kukuh harus dibebaskan dari dakwaan primer maupun subsider.

"Menindaklanjuti penjelasan di atas tidak terbuktinya dakwaan primer maupun subsider, maka terdakwa harus dibebaskan," ujarnya.

Namun, Ketua Majelis Hakim memutuskan berdasarkan suara terbanyak yakni menyatakan Kukuh tetap bersalah. Ketua Majelis Hakim Sudharmawati Ningsih menyatakan Kukuh bersala pada dakwaan subsider yakni melanggar pasal 3 juncto pasal 18 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto pasal 64 KUHP.

"Mengadili terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan subsider yakni menjatuhkan hukuman pidana penjara 2 tahun, denda 100 juta dan subsider 3 bulan," ujar Ketua Majelis Hakim Sudharmawati Ningsih.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Agung menuntut Kukuh dengan pidana penjara selama lima tahun. Mereka juga menuntut Kukuh dengan pidana denda Rp 500 juta subsidair enam bulan kurungan. Selain didakwa subsider, Kukuh juga disangkakan pasal 2 ayat (1) juncto pasal 18 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto pasal 64 KUHP.

Jaksa mengatakan Kukuh terbukti telah menguntungkan orang lain atau suatu korporasi, yaitu Direktur PT Sumigita Jaya, Herland bin Ompo, dari proyek bioremediasi pada 2006 sampai 2010. Herland sudah divonis enam tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Dia juga diwajibkan membayar uang pengganti kepada negara sebesar USD 6,9 juta.

Menurut jaksa, Kukuh selaku koordinator Tim Penanganan Isu Sosial Lingkungan SLS di Kilang Minas, Kabupaten Siak, Provinsi Riau dinilai keliru menetapkan 28 lahan terkontaminasi limbah minyak, sehingga, perlu dilakukan upaya bioremediasi. Padahal, menurut jaksa, hasil uji terhadap sampel tanah menunjukkan tidak ada kontaminasi minyak.

Hal itu terbukti dengan tidak ditemukannya mikroorganisme pendegradasi minyak. Sehingga, bioremedasi menjadi nihil atau tidak bisa dilakukan. Padahal, untuk melakukan bioremediasi tersebut PT CPI telah melakukan kerjasama dengan PT Sumigita Jaya (SGJ), dengan membayar USD 6,9 juta, serta telah membayar pembebasan lahan masyarakat sebesar Rp 5,4 miliar.

Selain salah menetapkan 28 lahan terpapar, lanjut Supracoyo, izin PT CPI untuk melaksanakan pekerjaan bioremediasi telah berakhir sejak 28 lahan dinyatakan terpapar. Sehingga, seharusnya tidak memintakan penggantian untuk biaya bioremediasi yang mengakibatkan kerugian negara.

Ditambah lagi, ternyata bioremediasi tersebut tidak dilakukan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Lingkungan Hidup (LH) No 128 tahun 2003 oleh Kukuh. Tetapi, PT CPI tetap membayarkan biaya bioremediasi yang dilakukan PT SGJ. Uang yang dibayarkan berasal dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas / kini SKK Migas) atau negara.

Jaksa menganggap atas perbuatan Kukuh, negara merugi sebanyak USD 6,9 juta guna membayar PT Sumigita Jaya, dan Rp 5,4 miliar buat biaya pembebasan lahan sekitar proyek.
[ren]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar