Sabtu, 06 Juli 2013

Kasus Bioremediasi Kenapa Abaikan UU Migas?

Penulis : Charles Siahaan - Editor : Charles Siahaan 
Sabtu, 6 Juli 2013 

KEPASTIAN hukum di Indonesia lagi-lagi dipertanyakan, khususnya oleh investor asing dengan mencuatnya kasus bioremediasi yang menyeret empat karwayan PT Chevron Pacific Indonesia. Apa yang salah dalam kasus ini?

Jakarta - Kepastian hukum di Indonesia lagi-lagi dipertanyakan, khususnya oleh investor asing dengan mencuatnya kasus bioremediasi yang menyeret empat karwayan PT Chevron Pacific Indonesia. Apa yang salah dalam kasus ini?
Mari kita simak dulu apa yang dikatakan dalam UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas. Setidaknya ada beberapa pasal yang bisa dikaitkan dengan perkara biromediasi ini. Pasal 40 ayat (2) menyebutkan,"Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dalam kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi." Biromediasi dikutip dari Wikepedia, merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan. Itu artinya, CPI tidak salah dalam melakukan bioremediasi ini.

Apalagi ada penekanan dalam ayat (3) di pasal serupa, yang menyebutkan "Pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan."

Begitu pula dalam ayat (6) UU Migas yang terkait ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, beberapa pakar tidak melihat adanya pelanggaran yang dilakukan CPI. Dalam keterangannya di depan persidangan kasus bioremediasi akhir Mei lalu, pakar hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf menjelaskan bahwa dalam pidana lingkungan yang diatur UU 32/2009, tidak diatur tentang pidana yang terkait dengan kerugian keuangan negara atau korupsi. Begitu pun dalam UU lingkungan sebelumnya, UU 23/2007. “Saya terlibat dalam penyusunan dua UU itu,” tutur Asep di depan majelis hakim saat itu.

Pemikiran serupa juga disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Syarif Hiariej saat memberikan keterangan di depan persidangan kasus bioremediasi. Ia menegaskan, yang harus menjadi rujukan adalah UU 32/2009. Menurut dia, mengingat sifat kasus bioremediasi ini spesifik dalam konteks pidana, maka ketentuan yang khusus mengesampingkan yang umum.

“Jika ada dua UU yang bersifat khusus, maka digunakan fakta yang lebih dominan. Misalnya dalam konteks lingkungan hidup, maka rujukan yang dipilih adalah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tegas Edward.

Jadi, dari pendapat para pakar hukum tadi jelas mengclearkan soal ada tidaknya indikasi pidana yang dilakukan CPI terkait proyek bioremediasi terhadap masalah lingkungan.

Bahkan dari Kementerian Lingkungan Hidup sendiri juga menilai, proses bioremediasi yang dilakukan oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) tidak melanggar aturan. Asisten Deputi Verifikasi Pengolahan Limbah B3 Kementerian Lingkungan Hidup Wirjono Koesmoedjihardjo mengatakan, apa yang dilakukan CPI dalam kegiatan bioremediasinya telah sesuai dengan aturan. Artinya, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di sana sudah sesuai prosedur yang berlaku.

Bahkan, kata Wirjono, teknik bioremediasi yang dikontrakkan kepada PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya merupakan teknik yang paling efektif dan murah. “Secara administrasi, apa yang dilakukan CPI tidak salah. Secara teknis pun CPI telah sesuai dengan ketentuan yang ada, di mana total petroleum hydrocarbon [TPH] tidak boleh melebihi 15 persen,” katanya.

Wirjono menjelaskan lokasi dalam proses bioremediasi (pemurnian tanah yang tercemar minyak mentah) itu juga telah sesuai dengan aturan yang ada. Di mana, bioremediasi dilakukan di lokasi yang bebas banjir dan bukan wilayah resapan air agar tidak mencemari lingkungan sekitar.

Menurutnya, bioremediasi yang dipersoalkan oleh Kejaksaan merupakan kelanjutan dari kegiatan serupa yang telah dilakukan perusahaan sejak 2003 lalu. Sayangnya, pihak Kejaksaan tidak melihat hal tersebut dan lebih fokus pada potensi kehilangan penerimaan negara yang diakibatkan oleh kegiatan itu.

Kardiansyah, Deputi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup juga menambahkan, pemerintah memiliki tanggung jawab terhadap kegiatan bioremediasi itu. Pasalnya, CPI telah mengantongi izin untuk melakukan kegiatan tersebut. “Kami memiliki standar, aturan dan persyaratan dalam pengelolaan limbah. Untuk lumpur misalnya, harus dibuang di lokasi yang memiliki kedalaman 500 meter lebih,” tuturnya.

Selanjutnya, kita beralih ke bagian kedua UU Migas ini yang membahas tentang Pengawasan. Dalam pasal 41 ayat (2) disebutkan, "Pengawasan atas pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama (KKS) dilaksanakan oleh Badan Pelaksana." Dalam pasal 42 disebutkan bahwa salah satu pengawasan yang dimaksud terkait pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan hidup.

Jika dikaitkan dengan kasus bioremediasi yang dilakukan CPI, ini dilakukan berdasarkan Kontrak Kerja Sama antara Chevron yang mewakili pemerintah dengan kontraktor yang mengelolanya. Artinya, dalam pelaksanaannya di lapangan, juga telah disertai dengan pengawasan, yaitu oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMigas), yang sayangnya, sebelum kasus ini selesai sudah bubar pada 13 November 2012 lalu lewat putusan Mahkamah Agung. Jadi, karyawan CPI lagi-lagi tak ada sangkut pautnya dalam masalah ini.

Melihat kenyataan ini, Manager Corporate Communication Chevron Indonesia Doni Indrawan menegaskan, pelanggaran terhadap perjanjian Kontrak Kerja Sama jelas-jelas masuk dalam ranah hukum perdata. "Jika Koktrak Kerja Sama bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Migas, maka tidak bisa diterapkan pidana korupsi. Perselisihan diselesaikan berdasarkan hukum kontrak," tandasnya.

Doni menjelaskan, pemerintah berwenang melakukan audit sewaktu-waktu, dan apabila menemukan adanya keganjalan maka diselesaikan dengan mekanisme over/under lifting settlement.

Ia menjelaskan, Kontak Kerja Sama juga memiliki mekanisme kontrol dan koreksi atas pergantian biaya operasi migas, sehingga kecil kemungkinan akan ada kerugian negara di sana. Karena pemerintah dapat meminta pengembalian sesuai dengan mekanisme yang telah ditentukan.

Hal penting lagi seharusnya yang patut diperhatikan pengadilan dalam menangani kasus bioremediasi CPI adalah Bab IX UU Migas soal Badan Pelaksana dan Badan Pengatur. Nah, di Pasal 44 ayat (3) b jelas-jelas disebutkan bahwa "Tugas Badan Pelaksana adalah melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama." Dalam huruf e disebutkan Badan Pelaksana juga memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran. Dan di huruf f ditambahkan bahwa Badan Pelaksana juga bertugas melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Meteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama.

Menilik ke Bab tersebut, seharusnya yang patut dimintai pertanggunganjawab dalam kasus bioremediasi di CPI ini adalah pihak Badan Pelaksana, yang dalam hal ini BPMigas waktu sebelum dibubarkan.

Dan jika mengacu ke Pasal 45 UU Migas ayat (1) yang menyebutkan Badan Pelaksana merupakan badan hukum milik negara, dan ayat (2) menyatakan Badan Pelaksana terdiri atas unsur pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis, dan tenaga administratif, maka pihak-pihak ini lah yang seharusnya diperkarakan.

Begitu juga jika melihat dalam Bab XI UU Migas tentang Ketentuan Pidana. Semua pasal mulai pasal 51 hingga pasal 58-58 yang memuat ketentuan pidana ini, tak satu pun yang bisa digunakan untuk menghukum ketiga karyawan CPI. Di sana hanya disebutkan, yang dikenakan pidana itu adalah setiap orang yang melakukan Survey Umum tanpa seizin pemerintah, yang mengirimkan atau menyerahkan atau memindahtangankan data tanpa hak dalam bentuk apa pun. Kemudian, yang melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi tanpa mempunyai Kotrak Kerja Sama, yang melakukan pengolahan tanpa Izin Usaha Pengolahan (IUP), pengangkutan tanpa IUP, penyimpanan tanpa IUP, Niaga tanpa IUP. Selanjutnya, yang meniru atau memalsukan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi dan hasil olahan, yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau Niaga BBM yang disubsidi pemerintah. Dan dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan "Dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh atau atas nama Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tuntutan pidana dikenakan terhadap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dan/atau pengurusnya."

Jadi, kalau pun tuntutan pidana dilakukan, tidak dikatakan dilakukan terhadap karyawan, tapi pengurus Badan Usaha.

Dan dalam pasal 56 ayat (2) disebutkan "Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, pidana yang dijatuhkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tersebut adalah pidana denda, dengan ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiganya." Jadi, kalau pun ada tindak pidana yang dilakukan Badan Usaha, hukumannya itu hanya denda dan tidak ditahan seperti yang pernah dialami empat karyawan CPI.

Melihat keganjilan dalam proses pengadilan kasus bioremediasi yang seakan mengabaikan UU Migas ini, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar Satya W Yudha mengaku prihatin. Ia memandang, fungsi pengawasan yang dilakukan BPMigas (sebelum dibubarkan) dan juga penggantinya Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) belum optimal.

"Tidak ada sama sekali perannya. Menurut saya, ada atau tidak ada SKK Migas dalam kasus yang dihadapi industri migas, tidak terlalu tampak. Ini bisa menjadi gugatan dari industri kepada peran dari SKK Migas dalam konteks melindungi para kontraktor atau operator yang selama ini menjadi institusi yang diawasi," ujarnya kepada JurnalParlemen.

Ia melihat, kasus bioremediasi itu terjadi karena masalah pemahaman semata. Selama ini pemahaman terhadap industri minyak dan gas bumi ini tidak disertai dengan pemahaman hukum di belakangnya. "Ini kemudian yang memunculkan terciptanya banyak kepentingan yang praktis," tuturnya.

Tidak hanya Satya Yudha saja, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai juga melihat hal serupa. Ia menyatakan, ada indikasi pelanggaran HAM dalam penanganan kasus Proyek Bioremediasi CPI yang ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Menurut Natalius, berdasarkan penyelidikan dan investigasi mendalam oleh para penyidik Komnas HAM, ditemukan beberapa indikasi pelanggaran HAM.

Pertama, proyek biormediasi adalah proyek perusahaan atau korporasi yang mekanisme pengadaan, perencanaan, dan persetujuannya mengikuti mekanisme PSC Migas. Artinya, pertanggungjawaban ada pada level korporasi yaitu pimpinan korporasi/perusahaan.

Kedua, CPI mengacu pada Production Sharing Contract (PSC) dalam menjalankan proyek korporasi ini yang memiliki klausul "Terkait adanya perbedaan penafsiran soal kebutuhan, kerugian, dan segala macam, itu mekanismenya adalah perdata seperti yang diatur dalam kontrak tersebut. Kalau tidak bisa diselesaikan secara perdata maka dibawa ke arbitrase".

Ini berarti semua terdakwa tidak memenuhi unsur sebagai pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai korporasi. CPI telah menjelaskan bahwa proyek ini adalah proyek korporasi dan tidak ada karyawan yang melakukan kesalahan. Jika Kejaksaan Agung menganggap ada masalah, maka yang seharusnya dimintai pertanggung jawaban adalah pimpinan korporasi, bukan karyawannya. "Oleh karenanya penetapan tersangka dalam kasus proyek ini salah sasaran," kata Pigai.

Apalagi, tambahnya, KLH telah menyampaikan bahwa tidak ada masalah dan pelanggaran soal izin, baik oleh CPI maupun kontraktornya. CPI telah memiliki izin dan KLH membolehkan CPI meneruskan proyek bioremediasi saat perpanjangan izin belum keluar dan ada berita acaranya. Soal jaksa bilang kontraktor tidak berizin, KLH menjelaskan kontraktornya memang tidak perlu izin karena izin hanya diberikan kepada CPI yang memiliki limbah, bukan kontraktor.

Kelima, Kejagung mengambil sampel tanah dari 2 SBF, menilai bermasalah tapi menyimpulkan bahwa seluruh proyek di 9 SBF bermasalah. Para ahli yang dimintai keterangan oleh Komnas HAM mengatakan tidak bisa metodologi pengambilan sampel seperti itu digunakan, karena sampel pada dua SBF tidak dapat mewakili sembilan SBF yang jaraknya saling berjauhan dan bisa berjam-jam untuk menempuhnya. Logika ini tidak dapat diterima. Kerugian negara sebesar 9,9 juta dolar AS yang dihitung oleh BPKP didasarkan pembayaran kepada kontraktor atas pekerjaan di 9 SBF, dan bukan hanya 2 SBF.


Pakar hukum Universitas Islam Indonesia, Mudzakir mengatakan, majelis hakim Tipikor seharusnya menjatuhkan vonis bebas terhadap para terdakwa dalam kasus bioremediasi ini. Menurutnya, hakim tidak bisa menyatakan adanya kerugian keuangan negara dalam perkara ini. "Kasus ini murni perdata. Hakim sebaiknya memutuskan bebas. Perkara ini ditolak dan masuk ke ranah perdata," ujarnya.

Mudzakir menjelaskan, kegiatan yang dilakukan Chevron di Indonesia berdasarkan perjanjian Kontrak Kerja Sama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang mewakili pemerintah. Maka SKK Migas yang seharusnya mengajukan komplain apabila ada dugaan penyimpangan dalam proyek bioremediasi, bukan aparat Kejaksaan.

Klik Jurnalparlemen.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar