Senin, 14 Oktober 2013
Persidangan kasus bioremediasi dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah |
Seperti diketahui, sidang kasus bioremediasi PT CPI dengan terdakwa keenam, Bachtiar Abdul Fatah, akan memasuki pembacaan putusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang diketuai Antonius Widjantono dengan hakim anggota Anas Mustaqim dan Slamet Soebagyo pada Kamis, 17 Oktober 2013.
Maqdir menyatakan, telah terjadi proses hukum yang buruk, dalam penanganan perkara bioremediasi dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah. Terdakwa dipanggil secara paksa untuk proses penyerahan dari penyidik kepada Penuntut Umum.
Dalam pemanggilan paksa itu, atasan penyidik telah membuat keterangan menyesatkan, dengan menerangkan seolah-olah ada Putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Putusan Praperadilan yang sebelumnya telah membebaskan Bachtiar dari statusnya sebagai tersangka.
“Padahal tidak ada putusan MA seperti itu. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia dan bukan penegakan hukum,” ungkap Maqdir sambil memperlihatkan salinan putusan praperadilan yang telah membebaskan Bachtiar.
Menurut Maqdir, sangat jelas bahwa tidak ada perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan berkenaan dengan perpanjangan izin bioremediasi, karena ada pengawasan oleh pejabat pengawas dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang dilakukan secara terus menerus.
“KLH menurut Undang-Undang (UU) 32 tahun 2009 adalah pihak yang berwenang dan KLH telah mengkonfirmasi ketaatan CPI dalam proyek bioremediasi, dan inipun juga telah disampaikan ahli Prof. Laicha Marzuki dan Prof. Asep Warlan Yusuf di persidangan,” ujar Maqdir.
Selain itu, lanjutnya, juga tidak ada perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan berkenaan dengan pengadaan kontrak induk, karena ada persetujuan terhadap besarnya nilai kontrak oleh BPMIGAS, maupun kontrak lanjutan, yang dilakukan sesuai dengan PTK 007 BPMIGAS.
“Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang sebelumnya bernama BPMIGAS, telah mengkonfirmasi ketaatan kontrak proyek ini sesuai PTK 007 yang diperkuat oleh ahli Subandi yang telah memberikan keterangan di depan persidangan,” lanjut Maqdir.
Penandatanganan kontrak lanjutan (kontrak bridging) oleh Bachtiar Abdul Fatah, jelas Maqdir, merupakan kewajiban hukumnya sesuai dengan Surat Kuasa dari President Direktur CPI, dan sesuai dengan kewajibanya sebagai karyawan PT CPI, yang pelaksanaan tanggungjawabnya tidak pernah dipersoalkan oleh PT CPI.
“Tidak ada kerugian negara dalam proyek bioremediasi, karena Direktorat Jenderal Anggaran telah melakukan offseting dana sebesar US$ 9,864,190.00, dari kewajiban BPMIGAS atas under lifting PT Chevron Pacific Indonesia. Jumlah yang di-offsetting ini adalah seluruh biaya yang digunakan untuk kegiatan bioremediasi,” tegas Maqdir.
Pemerintah Justru UntungDengan fakta ini, terang Maqdir, maka pemerintah sudah mendapatkan keuntungan dari kegiatan bioremediasi PT CPI. Bukan saja tidak perlu membayar kewajiban sesuai dengan perjanjian, tetapi pada saat yang sama mengambil bagian (listing minyak , red) dari PT CPI atas bagian dari biaya bioremediasi, yang sesuai dengan PSC (Production Sharing Contract) masih barada ditangan Pemerintah.
Selain itu, kata Maqdir lagi, telah terjadi kesalahan yang sangat mendasar, yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam membuktikan surat dakwaan. Dalam surat dakwaan dikatakan ada kerugian Negara sebesar US$ 221.327,37, namun di dalam Surat Tuntutan dikatakan ada kerugian sebesar US$ 228.126 dalam perkara Bachtiar Abdul Fatah.
“Dengan adanya perbedaan besarnya jumlah kerugian Negara ini, maka sesungguhnya Surat Dakwaan tidak terbukti dan karenanya Bachtiar harus dibebaskan,” tegas Maqdir.
Ia lantas mengingatkan, JPU secara hukum tidak boleh melakukan perubahan isi surat dakwaan ketika persidangan telah dilakukan, termasuk jumlah kerugain negara. Sebab menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 003/PUU-IV/2006, kerugian negara dalam perkara korupsi itu harus nyata dan pasti,” imbuh Maqdir seraya menunjukkan perbedaan surat dakwaan dan surat tuntutan.
Empat Alasan PokokMaqdir kemudian menyimpulkan bahwa paling kurang ada empat alasan mendasar bagi dibebaskannya Bachtiar, yaitu:
1.Tidak ada pembatalan terhadap Putusan Praperadilan yang menyatakan penetapan Bachtiar Abdul Fatah sebagai tersangka tidak sah;
2.Tidak ada perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh Bachtiar Abdul Fatah;
3.Tidak ada kerugian negara;
4.Perubahan atau perbedaan kerugian negara dalam Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan membuktikan bahwa Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
“Kesimpulan ini, berdasarkan berbagai keterangan faktual, dokumen-dokumen dan bukti-bukti serta keterangan saksi dan ahli di persidangan yang telah juga dikonfirmasi oleh lembaga pemerintah yang berwenang yaitu Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan SKK Migas (dulu BPMIGAS),” tandasnya.
“Dengan semua fakta-fakta dan alasan ini merupakan kewajiban hukum dari Hakim untuk membebaskan Terdakwa Bachtiar Abdul Fatah dari semua tuntutan,” tukas Maqdir.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Klik Dunia Energi
Dalam pemanggilan paksa itu, atasan penyidik telah membuat keterangan menyesatkan, dengan menerangkan seolah-olah ada Putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Putusan Praperadilan yang sebelumnya telah membebaskan Bachtiar dari statusnya sebagai tersangka.
“Padahal tidak ada putusan MA seperti itu. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia dan bukan penegakan hukum,” ungkap Maqdir sambil memperlihatkan salinan putusan praperadilan yang telah membebaskan Bachtiar.
Menurut Maqdir, sangat jelas bahwa tidak ada perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan berkenaan dengan perpanjangan izin bioremediasi, karena ada pengawasan oleh pejabat pengawas dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang dilakukan secara terus menerus.
“KLH menurut Undang-Undang (UU) 32 tahun 2009 adalah pihak yang berwenang dan KLH telah mengkonfirmasi ketaatan CPI dalam proyek bioremediasi, dan inipun juga telah disampaikan ahli Prof. Laicha Marzuki dan Prof. Asep Warlan Yusuf di persidangan,” ujar Maqdir.
Selain itu, lanjutnya, juga tidak ada perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan berkenaan dengan pengadaan kontrak induk, karena ada persetujuan terhadap besarnya nilai kontrak oleh BPMIGAS, maupun kontrak lanjutan, yang dilakukan sesuai dengan PTK 007 BPMIGAS.
“Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang sebelumnya bernama BPMIGAS, telah mengkonfirmasi ketaatan kontrak proyek ini sesuai PTK 007 yang diperkuat oleh ahli Subandi yang telah memberikan keterangan di depan persidangan,” lanjut Maqdir.
Penandatanganan kontrak lanjutan (kontrak bridging) oleh Bachtiar Abdul Fatah, jelas Maqdir, merupakan kewajiban hukumnya sesuai dengan Surat Kuasa dari President Direktur CPI, dan sesuai dengan kewajibanya sebagai karyawan PT CPI, yang pelaksanaan tanggungjawabnya tidak pernah dipersoalkan oleh PT CPI.
“Tidak ada kerugian negara dalam proyek bioremediasi, karena Direktorat Jenderal Anggaran telah melakukan offseting dana sebesar US$ 9,864,190.00, dari kewajiban BPMIGAS atas under lifting PT Chevron Pacific Indonesia. Jumlah yang di-offsetting ini adalah seluruh biaya yang digunakan untuk kegiatan bioremediasi,” tegas Maqdir.
Pemerintah Justru UntungDengan fakta ini, terang Maqdir, maka pemerintah sudah mendapatkan keuntungan dari kegiatan bioremediasi PT CPI. Bukan saja tidak perlu membayar kewajiban sesuai dengan perjanjian, tetapi pada saat yang sama mengambil bagian (listing minyak , red) dari PT CPI atas bagian dari biaya bioremediasi, yang sesuai dengan PSC (Production Sharing Contract) masih barada ditangan Pemerintah.
Selain itu, kata Maqdir lagi, telah terjadi kesalahan yang sangat mendasar, yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam membuktikan surat dakwaan. Dalam surat dakwaan dikatakan ada kerugian Negara sebesar US$ 221.327,37, namun di dalam Surat Tuntutan dikatakan ada kerugian sebesar US$ 228.126 dalam perkara Bachtiar Abdul Fatah.
“Dengan adanya perbedaan besarnya jumlah kerugian Negara ini, maka sesungguhnya Surat Dakwaan tidak terbukti dan karenanya Bachtiar harus dibebaskan,” tegas Maqdir.
Ia lantas mengingatkan, JPU secara hukum tidak boleh melakukan perubahan isi surat dakwaan ketika persidangan telah dilakukan, termasuk jumlah kerugain negara. Sebab menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 003/PUU-IV/2006, kerugian negara dalam perkara korupsi itu harus nyata dan pasti,” imbuh Maqdir seraya menunjukkan perbedaan surat dakwaan dan surat tuntutan.
Empat Alasan PokokMaqdir kemudian menyimpulkan bahwa paling kurang ada empat alasan mendasar bagi dibebaskannya Bachtiar, yaitu:
1.Tidak ada pembatalan terhadap Putusan Praperadilan yang menyatakan penetapan Bachtiar Abdul Fatah sebagai tersangka tidak sah;
2.Tidak ada perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh Bachtiar Abdul Fatah;
3.Tidak ada kerugian negara;
4.Perubahan atau perbedaan kerugian negara dalam Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan membuktikan bahwa Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
“Kesimpulan ini, berdasarkan berbagai keterangan faktual, dokumen-dokumen dan bukti-bukti serta keterangan saksi dan ahli di persidangan yang telah juga dikonfirmasi oleh lembaga pemerintah yang berwenang yaitu Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan SKK Migas (dulu BPMIGAS),” tandasnya.
“Dengan semua fakta-fakta dan alasan ini merupakan kewajiban hukum dari Hakim untuk membebaskan Terdakwa Bachtiar Abdul Fatah dari semua tuntutan,” tukas Maqdir.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Klik Dunia Energi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar