Oleh: Anton Hartono
INILAH.COM, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta tidak bulat menjatuhkan vonis Bachtiar Abdul Fatah atas kasus korupsi proyek bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia. Sebab, satu orang hakim memiliki perbedaan pendapat (dissenting opinion).
Diketahui Hakim Slamet Subagyo memiliki pendapat bahwa Bachtiar tidak terbukti secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam dakwaan subsider, yaitu melanggar pasal 3 jo pasal 18 UU Tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Alasannya, penanda tanganan kontrak bridging pengerjaan proyek bioremediasi CPI dengan Direktur PT Sumigita Jaya, Herland Bin Ompo dilakukan pada September 2012. Sedangkan Bachtiar diketahui tidak lagi bertugas sebagai General Manager (GM) Sumatera Light South (SLS) CPI pada saat itu.
"Terdakwa mengakui pada September 2012, tidak lagi menjabat sebagai GM SLS karena sudah pindah ke Jakarta," ujar Hakim Slamet saat membacakan dissenting opinion, Kamis (17/10/2013).
Pendapat lain yang diajukan Slamet, terkait pengambilan sampel tanah yang menurutnya pengambilan sampel itu tidak sesuai aturan seperti yang diterangkan saksi ahli di persidangan. Bahkan, pengujian sampel itu juga tidak dilakukan di laboratorium yang telah bersertifikasi.
Proses uji laboratorium pun menyalahi aturan dan mekanisme yang ditentukan sebagaimana dikemukakan sejumlah saksi di persidangan.
Karena ada perbedaan pendapat, Ketua Majelis Hakim Antonius Widjantono memutuskan untuk mengambil suara terbanyak sesuai pasal 182 ayat 6 KUHP dalam memberikan vonis terhadap Bachtiar.
"Putusan finalnya, Bachtiar dinyatakan bersalah sebagaimana dakwaan subsider dan menjatuhkan pidana selama dua tahun penjara, dan denda Rp200 juta dan bila tidak dibayar, maka diganti pidana tiga bulan penjara," tukas Antonius.
Antonius menambahkan hal-hal yang meringankan, Bachtiar belum pernah dihukum dan mempunyai tanggungan keluarga. Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi karena desakan tanggung jawabnya.
"Hal yang memberatkan, tipikor sebagai kejahatan luar biasa dalam penegakan hukum di Indonesia. Karena terdakwa dinyatakan bersalah, maka diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp10 ribu," paparnya.
Dan atas vonis tersebut, kedua belah pihak pun langsung menyatakan banding.[ris]
Klik Inilah.com
"Terdakwa mengakui pada September 2012, tidak lagi menjabat sebagai GM SLS karena sudah pindah ke Jakarta," ujar Hakim Slamet saat membacakan dissenting opinion, Kamis (17/10/2013).
Pendapat lain yang diajukan Slamet, terkait pengambilan sampel tanah yang menurutnya pengambilan sampel itu tidak sesuai aturan seperti yang diterangkan saksi ahli di persidangan. Bahkan, pengujian sampel itu juga tidak dilakukan di laboratorium yang telah bersertifikasi.
Proses uji laboratorium pun menyalahi aturan dan mekanisme yang ditentukan sebagaimana dikemukakan sejumlah saksi di persidangan.
Karena ada perbedaan pendapat, Ketua Majelis Hakim Antonius Widjantono memutuskan untuk mengambil suara terbanyak sesuai pasal 182 ayat 6 KUHP dalam memberikan vonis terhadap Bachtiar.
"Putusan finalnya, Bachtiar dinyatakan bersalah sebagaimana dakwaan subsider dan menjatuhkan pidana selama dua tahun penjara, dan denda Rp200 juta dan bila tidak dibayar, maka diganti pidana tiga bulan penjara," tukas Antonius.
Antonius menambahkan hal-hal yang meringankan, Bachtiar belum pernah dihukum dan mempunyai tanggungan keluarga. Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi karena desakan tanggung jawabnya.
"Hal yang memberatkan, tipikor sebagai kejahatan luar biasa dalam penegakan hukum di Indonesia. Karena terdakwa dinyatakan bersalah, maka diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp10 ribu," paparnya.
Dan atas vonis tersebut, kedua belah pihak pun langsung menyatakan banding.[ris]
Klik Inilah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar