Jumat, 18 Oktober 2013
Sidang vonis Bachtiar Abdul Fatah, Kamis (17/10) |
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang dipimpin Antonius Widjantono, tidak sepenuhnya sepakat terdakwa Bachtiar Abdul Fatah bersalah dalam kasus proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).
Sebab, tiga hakim menyatakan majelis harus membebaskan terdakwa dari dakwaan primer dan subsider jaksa penuntut umum.
Saat menyatakan disenting opinionnya pada pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Hakim Selamat Subagyo mengatakan setelah hakim ketua dan hakim anggota 1 dalam pertimbangan yuridisnya, bahwa dakwaan primer melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor, Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dinyatakan tidak terbukti, atas putusan tersebut hakim anggota 2 (Selamet Subagyo-Red.) sepakat.
"Maka, terdakwa Bachtiar harus dinyatakan secara sah dan menyakinkan tidak terbukti melanggar dakwaan primer, sehingga terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primer JPU tersebut," ujarnya, Kamis (17/10/2013).
"Hakim ketua dan hakim anggota 1 membebaskan dakwaan primer dan menyatakan melakukan Tipikor secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam dakwaan subsider, yaitu melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUAP. Terhadap putusan ini, hakim anggota dua berbeda pendapat dari putusan ini," kata Selamet.
Menurutnya, unsur pokok tersebut tercantum dalam dakwaan subsider JPU, bahwa terdakwa Bachtiar selaku GM SLS dengan Direktur PT Sumi Gita Jaya (SGJ), Herlan bin Ompo pada September 2001 -Maret 2012 atau kurun waktu 2011-2012
menandatangani kontrak bridging.
Berdasarkan fakta persidangan, Hakim Selamet Subagyo tidak sependapat dengan hakim ketua dan hakim anggota satu serta dakwaan JPU.
Pasalnya, kontrak bridging C 905616 yang dipersalahkan, yakni ditandatangani antara September 2011-2012. Padahal, kontrak dilakukan pada 24 Agustus 2011 atas surat perintah Direktur PT CPI, Hamid Batubara, berupa power of autorithy (POA).
Menurutnya, sesuai kesaksian dari Wahyu, bahwa pada September 2012, terdakwa Bachtiar Abdul Fatah sudah tidak bertugas lagi sebagai General Manager Sumatera Light South (SLS) PT CPI.
"Jabatan GM SLS dijabat saksi (Wahyu-Red.). Terdakwa juga mengakui, pada September 2012, dirinya tidak lagi menjabat sebagai GM SLS, karena sudah dipindah ke Jakarta," ujarnya.
Jika Kesaksian Prof Leicha Marzuki dihubungkan dengan keterangan Wahyu dan terdakwan Bachtiar, kata Selamet, maka tempus delicti tidak mempunyai dasar yang kuat, sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Selain itu, Selamet juga tidak sepakat bahwa terdakwa Bachtiar harus divonis terbukti melakukan korupsi karena melanggar dakwaan subsider. Pasalnya, pengambilan sampel tanah dan pengujian sampel tersebut bertentangan dengan hukum.
Menurutnya, pengambilan sampel tanah yang diambil tim ahli bioremediasi yang dikomandani Edison Efendi tersebut tidak sesuai aturan seperti yang diterangkan saksi ahli di persidangan.
Selain itu, pengujian sampel tersebut juga tidak dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi, meski Edison mengaku mempunyai sertifikasi dari ahli di Israel yang tentunya bertolak belakang dengan ketentuan di Indonesia.
Selain itu, proses uji laboratorium juga menyalahi aturan dan mekanisme yang ditentukan sebagaimana dikemukakan sejumlah saksi di persidangan.
Atas perbedaan pendapat tersebut, yakni Hakim Slamet Subagyo menyatakan terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primer dan subsider, maka majelis hakim mengambil putusan melalui suara terbanyak.
"Menimbang, karena terjadi perbedaan pendapat, majelis hakim sudah bermusyawarah dengan sungguh-sungguh, tapi tidak tercapai mupakat, maka sesuai Pasal 182 Ayat 6 KUHAP, majelis hakim mengambil keputusan dengan suara terbanyak," kata Hakim Ketua, Antonius Widjantono saat membacakan amar putusan.
Hasilnya, majelis menyatakan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah tidak terbukti secara sah dan menyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan primer dan membebaskan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah dari dakwaan tersebut.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah secara sah terbukti melakukan Tipikor secara bersama-sama dalam dakwaan subsider. Menjatuhkan pidana atas dakwaan tersebut dengan pidana selama 2 tahun," kata Antonius.
Selain divonis 2 tahun penjara, terdakwa Bachtiar juga diwajibkan membayar pidana denda sebesar Rp 200 juta dengan ketentuan diganti kurungan selama 3 bulan jika terdakwa tidak sanggup membayarnya.
"Dan pidana denda Rp 200 juta dan bila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti pidana kuruangan selama 3 bulan," kata
Antonius.
Adapun yang menjadi pertimbangan meringankan hukuman terdakwa, yakni terdakwa belum pernah dihukum dan mempunyai tanggungan keluarga, serta terdakwa melakukan Tipikor karena desakan tanggungjawabnya.
"Hal yang memberatkan, Tipikor sebagai kejahatan luar biasa dalam penegakan hukum di Indonesia. Karena terdakwa dinyatakan bersalah, maka diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp 10 ribu," ujarnya.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan perbuatan Bachtiar merugikan keuangan negara.
"Menimbang, bahwa berdasarkan hasil penghitungan kerugian keuangan negara PT CPI dan besarnya yang telah dibayar ke PT SGJ sebesar 221.327,33 dolar AS setelah dipotong PPH," ujarnya.
Atas vonis tersebut, kedua belah pihak langsung menyatakan banding. "Banding yang mulia," tegas Bachtiar dan JPU, "Kami akan mengambil hak hukum kami, yaitu melakukan banding."
saat dimintai tanggapan oleh majelis hakim. Dengan demikian, vonis tersebut belum berkekuatan hukum tetap dan akan diperiksa kembali di pengadilan lebih tinggi.
Usai persidangan, terdakwa Bachtiar Abdul Fatah menilai vonis tersebut dipaksakan, karena dirinya mengaku tidak bersalah dalam perkara ini seperti yang disampaikan Hakim Selamet Subagyo.
Ia menegaskan, tak masalah didudukan di kursi pesakitan jika dirinya memang sebagai pelaku Tipikor. Menurutnya, ini dikonstruksikan dan dicari-cari agar dirinya tetap dihukum.
Sebab, tiga hakim menyatakan majelis harus membebaskan terdakwa dari dakwaan primer dan subsider jaksa penuntut umum.
Saat menyatakan disenting opinionnya pada pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Hakim Selamat Subagyo mengatakan setelah hakim ketua dan hakim anggota 1 dalam pertimbangan yuridisnya, bahwa dakwaan primer melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor, Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dinyatakan tidak terbukti, atas putusan tersebut hakim anggota 2 (Selamet Subagyo-Red.) sepakat.
"Maka, terdakwa Bachtiar harus dinyatakan secara sah dan menyakinkan tidak terbukti melanggar dakwaan primer, sehingga terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primer JPU tersebut," ujarnya, Kamis (17/10/2013).
"Hakim ketua dan hakim anggota 1 membebaskan dakwaan primer dan menyatakan melakukan Tipikor secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam dakwaan subsider, yaitu melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUAP. Terhadap putusan ini, hakim anggota dua berbeda pendapat dari putusan ini," kata Selamet.
Menurutnya, unsur pokok tersebut tercantum dalam dakwaan subsider JPU, bahwa terdakwa Bachtiar selaku GM SLS dengan Direktur PT Sumi Gita Jaya (SGJ), Herlan bin Ompo pada September 2001 -Maret 2012 atau kurun waktu 2011-2012
menandatangani kontrak bridging.
Berdasarkan fakta persidangan, Hakim Selamet Subagyo tidak sependapat dengan hakim ketua dan hakim anggota satu serta dakwaan JPU.
Pasalnya, kontrak bridging C 905616 yang dipersalahkan, yakni ditandatangani antara September 2011-2012. Padahal, kontrak dilakukan pada 24 Agustus 2011 atas surat perintah Direktur PT CPI, Hamid Batubara, berupa power of autorithy (POA).
Menurutnya, sesuai kesaksian dari Wahyu, bahwa pada September 2012, terdakwa Bachtiar Abdul Fatah sudah tidak bertugas lagi sebagai General Manager Sumatera Light South (SLS) PT CPI.
"Jabatan GM SLS dijabat saksi (Wahyu-Red.). Terdakwa juga mengakui, pada September 2012, dirinya tidak lagi menjabat sebagai GM SLS, karena sudah dipindah ke Jakarta," ujarnya.
Jika Kesaksian Prof Leicha Marzuki dihubungkan dengan keterangan Wahyu dan terdakwan Bachtiar, kata Selamet, maka tempus delicti tidak mempunyai dasar yang kuat, sehingga harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Selain itu, Selamet juga tidak sepakat bahwa terdakwa Bachtiar harus divonis terbukti melakukan korupsi karena melanggar dakwaan subsider. Pasalnya, pengambilan sampel tanah dan pengujian sampel tersebut bertentangan dengan hukum.
Menurutnya, pengambilan sampel tanah yang diambil tim ahli bioremediasi yang dikomandani Edison Efendi tersebut tidak sesuai aturan seperti yang diterangkan saksi ahli di persidangan.
Selain itu, pengujian sampel tersebut juga tidak dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi, meski Edison mengaku mempunyai sertifikasi dari ahli di Israel yang tentunya bertolak belakang dengan ketentuan di Indonesia.
Selain itu, proses uji laboratorium juga menyalahi aturan dan mekanisme yang ditentukan sebagaimana dikemukakan sejumlah saksi di persidangan.
Atas perbedaan pendapat tersebut, yakni Hakim Slamet Subagyo menyatakan terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primer dan subsider, maka majelis hakim mengambil putusan melalui suara terbanyak.
"Menimbang, karena terjadi perbedaan pendapat, majelis hakim sudah bermusyawarah dengan sungguh-sungguh, tapi tidak tercapai mupakat, maka sesuai Pasal 182 Ayat 6 KUHAP, majelis hakim mengambil keputusan dengan suara terbanyak," kata Hakim Ketua, Antonius Widjantono saat membacakan amar putusan.
Hasilnya, majelis menyatakan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah tidak terbukti secara sah dan menyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan primer dan membebaskan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah dari dakwaan tersebut.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah secara sah terbukti melakukan Tipikor secara bersama-sama dalam dakwaan subsider. Menjatuhkan pidana atas dakwaan tersebut dengan pidana selama 2 tahun," kata Antonius.
Selain divonis 2 tahun penjara, terdakwa Bachtiar juga diwajibkan membayar pidana denda sebesar Rp 200 juta dengan ketentuan diganti kurungan selama 3 bulan jika terdakwa tidak sanggup membayarnya.
"Dan pidana denda Rp 200 juta dan bila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti pidana kuruangan selama 3 bulan," kata
Antonius.
Adapun yang menjadi pertimbangan meringankan hukuman terdakwa, yakni terdakwa belum pernah dihukum dan mempunyai tanggungan keluarga, serta terdakwa melakukan Tipikor karena desakan tanggungjawabnya.
"Hal yang memberatkan, Tipikor sebagai kejahatan luar biasa dalam penegakan hukum di Indonesia. Karena terdakwa dinyatakan bersalah, maka diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp 10 ribu," ujarnya.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan perbuatan Bachtiar merugikan keuangan negara.
"Menimbang, bahwa berdasarkan hasil penghitungan kerugian keuangan negara PT CPI dan besarnya yang telah dibayar ke PT SGJ sebesar 221.327,33 dolar AS setelah dipotong PPH," ujarnya.
Atas vonis tersebut, kedua belah pihak langsung menyatakan banding. "Banding yang mulia," tegas Bachtiar dan JPU, "Kami akan mengambil hak hukum kami, yaitu melakukan banding."
saat dimintai tanggapan oleh majelis hakim. Dengan demikian, vonis tersebut belum berkekuatan hukum tetap dan akan diperiksa kembali di pengadilan lebih tinggi.
Usai persidangan, terdakwa Bachtiar Abdul Fatah menilai vonis tersebut dipaksakan, karena dirinya mengaku tidak bersalah dalam perkara ini seperti yang disampaikan Hakim Selamet Subagyo.
Ia menegaskan, tak masalah didudukan di kursi pesakitan jika dirinya memang sebagai pelaku Tipikor. Menurutnya, ini dikonstruksikan dan dicari-cari agar dirinya tetap dihukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar