Rabu, 02 Oktober 2013 | Kasus Bioremediasi Chevron
Illustrasi Chevron (Photo : AFP) |
"Beliau (Bachtiar) dinyatakan bersalah hanya berdasarkan kesimpulan jaksa," kata Maqdir ditemui usai sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (2/10) malam.
Apalagi, lanjut Maqdir, kliennya dinyatakan bersalah hanya karena dikatakan melanggar Keputusan Menteri (Kepmen) Lingkungan Hidung (LH) dan Pedoman Tata Kerja (PTK) 007 BP Migas.
Padahal, dalam Pasal 15 UU No.12/2012 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan disebut bahwa delik formil, termasuk korupsi itu berdasarkan undang-undang atau peraturan daerah (perda).
"PTK tidak ada sanksi pidananya, Kepmen juga tidak ada sanksinya. Jadi, bagaimana bisa dijadikan dasar," ujar Maqdir.
Hal senada juga diungkapkan Bachtiar. Menurutnya, jika dirinya dinyatakan bersalah atas kontrak bridging, maka semua karyawan Chevron bahkan petingginya juga harus dinyatakan bersalah.
Selain itu, Bachtiar mengatakan bahwa jaksa banyak memotong keterangan saksi maupun ahli. Dia mencontohkan keterangan ahli hukum pidana, Laica Marzuki yang dipotong sehingga menguntungkan pihak jaksa.
"Dari saksi ahli Laica dikutip jika izin habis maka aktifitas tidak sah. Padahal profesor Laica ungkap banyak hal, jika izin habis dan sedang diperpanjang dan tidak ada larangan pemberi izin dan pemberi izin ikut mengawasi maka itu sah," ujar Bachtiar.
Seperti diketahui, Bachtiar selaku General Manager Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) dituntut dengan pidana penjara selama enam tahun dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Ia dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek normalisasi lahan tercemar minyak (bioremediasi) di Riau tahun 2006-2011.
"Menyatakan terdakwa Bachtiar terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sesuai Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan primer," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung, Surma saat membacakan tuntutan dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (2/10) malam.
Tetapi, terhadap Bachtiar tidak dibebankan membayar pidana tambahan. Sebab, dalam fakta dipersidangan tidak terbukti menerima uang. Selain itu, pidana tambahan sudah dibebankan pada Herland Bin Ompo.
Bachtiar dikatakan bersama-sama dengan Herland Bin Ompo selaku Direktur Utama PT Sumigita Jaya pada bulan September 2011 sampai Maret 2012 melakukan tindak pidana korupsi terkait pelaksanaan bioremediasi di Kecamatan Minas, Kabupaten Siak Provinsi Riau.
Dalam pertimbanganya, Jaksa Rudy mengatakan terdakwa Bachtiar mengetahui bahwa izin pengolahan limbah PT CPI sudah berakhir dan PT Sumigita Jaya tidak memiliki kualifikasi pengolahan limbah karena hanya perusahaan penyedia jasa konstruksi.
Tetapi, tetap menandatangani kotrak bridging dengan PT Sumigita senilai 741.402 dolar Amerika pada tanggal 1 September 2011. Dengan lama kontrak selama enam bulan.
Namun, untuk pekerjaan yang tidak ada tersebut telah dibayarkan ke PT Sumigita sebesar 228.126 dolar Amerika. Sehingga, dianggap memperkaya Herland dan Sumigita sebesar uang yang telah dibayarkan tersebut.
"Dengan perbuatan terdakwa yang tanda tangan kontrak bridging telah memperkaya PT Sumigita Jaya dan Herland bin Ompo sejumlah yang dibayarkan 228.126 dolar Amerika," kata jaksa Ariawan.
Sedangkan, berdasarkan hasil perhitungan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) untuk pelaksaan proyek bioremediasi tahun 2006-2012, merugikan keuangan negara 9,9 juta dolar Amerika yang merupakan keseluruhn biaya bioremediasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar