Rabu, 24 April 2013

Pemerintah Harus Dominan Selesaikan Kasus Bioremediasi Chevron

Jakarta, (Antara Sumbar) - Pemerintah melalui Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dituntut berperan lebih dominan dalam menyelesaikan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) agar tidak berdampak buruk bagi investasi migas.

Anggota komisi energi DPR, Satya Widya Yudha dalam diskusi Energy and Mining Editor Society (E2S) di Jakarta, Selasa, mengingatkan bahwa dalam sistem kontrak bagi hasil (PSC), pemerintah telah menunjuk SKK Migas untuk mengawasi Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) migas dalam setiap operasional kegiatannya.



"Jangan sampai dengan berkembangnya kasus hukum korporasi yang mengganggu kepastian hukum, SKK Migas terkesan ada dan tidaknya sama saja," kata Satya dalam diskusi yang bertema "Dilematika Penanganan Kasus Bisnis Korporasi".

Ia mengatakan dalam kasus bioremediasi, seharusnya PT CPI tidak dibiarkan membela karyawan dan kontraktor serta menghadapi kasusnya sendirian. Karena tuduhan dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus bioremediasi itu, tidak terlepas dari peran SKK Migas yang sebelumnya sudah menyetujui pelaksanaan proyek dan besaran nilai proyek yang kemudian dimintakan penggantian kepada pemerintah melalui mekanisme Cost Recovery.

Perlu dicatat, kata Satya, Cost Recovery merupakan suatu bentuk investasi tidak langsung Pemerintah Indonesia dalam kegiatan hulu migas.

Dalam mekanisme Cost Recovery yang merupakan bagian dari sistem PSC, ada institusi negara yang mengaudit besarannya agar tidak sampai merugikan negara. Ada audit erjenjang di sana, termasuk oleh SKK Migas. "Kalau sampai terjadi Cost Recovery jebol, berarti yang mengaudit Cost Recovery itu yang tidak becus," tandasnya.

Sebaliknya, kalau memang dinilai ada kelebihan dalam pembayaran Cost Recovery, sesuai sistem PSC yang berlaku di Indonesia, maka dimintakan pengembalian kepada KKKS yang bersangkutan.

"Dan kalau terjadi kelebihan dalam pembayaran Cost Recovery, mestinya yang ditegur lebih dulu adalah si pengawas. Tidak bisa dibebankan langsung kesalahan itu kepada operator atau KKKS yang sebenarnya merupakan pihak yang diawasi," ujar Satya lagi.

Oleh karena itu, Satya berpendapat karyawan yang bekerja di SKK Migas tidak boleh orang sembarangan. Karyawan SKK Migas harus orang yang mumpuni, yang mampu memastikan Cost Recovery sebagai faktor pengurang hasil dari operasi hulu migas, tidak sampai merugikan negara.

"Jadi peran pemerintah harus dominan di sini, dan fungsinya harus lebih mengedepan guna menguatkan tata kelola hulu migas. Kalau tidak, maka keberadaan pengawas kegiatan hulu migas layak digugat," tegasnya.

Satya menambahkan, mencuatnya kasus bioremediasi PT CPI harus dievaluasi oleh seluruh pemangku kepentingan di sektor migas. Jangan sampai setiap orang yang kalah dalam tender dan kebetulan dekat dengan aparat hukum, bisa sewaktu-waktu mempersoalkan suatu proyek hulu migas menjadi suatu kasus pidana. "Kalau ini berlanjut terus, akan menjadi sangat tidak sehat," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesian Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menuturkan, dalam konteks pengelolaan hulu migas memang PSC migas bisa dijangkau oleh hukum pidana.

Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Bareskrim Polri sejak tahun lalu sudah menandatangani MoU (Nota Kesepahaman) untuk penanganan sepuluh sektor yang berpotensi besar menimbulkan korupsi. Salah satunya di pertambangan dan migas.

Namun menurut Firdaus, pada kasus bioremediasi PT CPI masih banyak yang belum jelas.

Dalam konteks korporasi terutama PSC Migas, tuduhan adanya tindak pidana korupsi harus didasarkan pada dua hal. Pertama, apakah terjadi pelanggaran peraturan. Kemudian yang kedua, apakah ada pihak yang diperkaya dalam kasus itu. "Kedua hal ini belum terjawab dalam kasus bioremediasi PT CPI," ujarnya.

Sejauh ini, lanjutnya, yang mengemuka dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus bioremediasi, hanya tentang adanya pembayaran Cost Recovery sebesar 9,9 juta dolar AS selama 2002-2012.

"Kalau toh kerugian negara itu ada, PT CPI kan tidak berjalan sendiri. Ada institusi yang mengawasi pelaksanaan proyek itu, yakni yang paling utama adalah SKK Migas," jelasnya.

Kalau kasus ini terus dipidanakan dan kemudian ada yang dihukum, lanjut Firdaus, maka akan menjadi preseden sebagai PSC pertama yang masuk ranah pidana. (*/jno) ANTARA Sumbar

Klik Antarasumbar.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar