Selasa, 16 April 2013

Saksi Ahli Tegaskan Kerugian Negara Belum Tentu Korupsi

Polhukam
Arief Setyadi - Okezone

JAKARTA - Persidangan kasus korupsi bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia kembali digelar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (15/4/2013), dengan terdakwa Direktur PT Green Planet Indonesia, Ricksy Prematuri.

Persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Dharmawati Ningsih, kali ini mendengar keterangan saksi dari Ahli Hukum Pidana Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej, SH. MHum dan Supervisor Lapangan Pematang dari PT GPI, Welman Afero Simbolon.

Nadjib Aligismar, Kuasa Hukum Ricksy, langsung bertanya seputar hukum pidana kepada Ahli. Termasuk soal pasal 2, pasal 3 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Indak Pidana Korupsi dan juga UU Lingkungan Hidup yang sama-sama lex spesialis.

Ahli menjelaskan secara detail mengenai pasal-pasal yang ditanyakan oleh kuasa hukum. Edward yang juga Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gajahmada, itu menerangkan, dalam ketentuan hukum pidana dikenal asas UU khusus mengesampingkan UU bersifat umum.

Dia menjelaskan, jika UU khusus dibenturkan dengan UU umum, maka otomatis UU khusus dimenangkan. Kalau UU khusus sama-sama dibenturkan, Edward menerangkan bahwa dalam teori punya keturunan, yakni lex spesialis sistematis atau kekhususan yang disistematiskan. "Akan dilihat fakta dominan dalam perkara itu apa," kata Edward di hadapan majelis hakim.

Dia menyebutkan, kalau UU lingkungan meletakkan hukum pidana sebagai ultimum remedium, maka didahulukan administasi, perdata kemudian pidana. Sanksi pidana dapat diterapkan apabila ada korban jiwa terkait kerusakan lingkungan hidup. "Apabila yang dominan fakta lingkungan hidup maka yang digunakan adalah UU lingkungan hidup," paparnya.

Nadjib juga menanyakan, apakah kerugian keuangan negara itu bisa disebut sebagai tindak pidana korupsi. Menurut Ahli, tidak selamanya kerugian keuangan negara itu selalu ada korupsi didalamnya. Itu sebabnya, dalam Konvensi PBB antikorupsi yang telah diratifikasi UU nomor 7 tahun 2006, sudah tidak menyinggung lagi kerugian keuangan negara. "Kerugian bisa karena pertama, perbuatan administrasi, kedua, perdata dan ketiga, pidana. Bahkan kalau pun pidana belum tentu dapat otomatis dikatakan korupsi," ujarnya.

Dijelaskan pula soal syarat penyertaan. Menurutnya, ada dua yakni syarat subjektif dan objektif. Dalam beberapa literatur dikatakan harus ada kesengajaan ganda. Yakni, harus ada niat yang sama dari para pelaku kejahatan, dan harus ada kerjasama yang nyata di antara pelaku. Apabila hanya satu maka bukan penyertaan. "Apabila pelaku utama tidak diadili, namun yang turut serta diadili maka terjadi diskriminasi hukum," ungkapnya.

Ketua Majelis juga bertanya soal pengajuan perkara terkait penerapan pasal 55 KUHP. Dijelaskan Edward, penerapan pasal 55, jika dua orang atau lebih sama-sama melakukan pidana, misalnya seorang melakukan perbuatan X maka pelaku lain juga melakukan hal yang sama. "Apabila tidak, maka tebang pilih. Dalam perspektif hukum pidana, ketika ada pelaku utama belum diadili menunjukkan bahwa dakwaan tidak cermat dan memerlihatkan ada diskriminasi hukum," terangnya.

Kemudian, soal dakwaan yang didasarkan pada kontrak kerjasama juga dijelaskan Edward menjawab kuasa hukum. Dia pun menjelaskan, ketika kontrak perjanjian kerjasama dijadikan sebagai dasar dakwaan, maka ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, keaslian kontrak, kedua apaka isi kontrak tersebut benar-benar dijalankan oleh pihak yang ada di dalam kontrak dan ketiga substansi kontrak tersebut. Ketiga hal ini bersifat alternatif. Pertama diperhatikan apakah kontrak ini orisinili atau tidak. Apabila orisinil maka harus diperhatikan substansi kontrak. Jangan sampai dakwaan tentang hal yang tidak ada dalam kontrak.

Dia menegaskan, jika kontrak antara swasta dengan swasta, maka tidak ada hubungan dengan korupsi. "Kalau dakwaan didasarkan pada kontrak maka harus dilihat substansi kontrak. Kalau yang didakwakan tidak menyangkut apa yang tertera dalam kontrak, maka dakwaan tidak jelas dan tidak cermat," terangnya.

Dia menerangkan, ketika kasus berangkat dari kontrak, maka pihak yang terlibat kontrak itu harus didengarkan keterangannya. "Kalau kontrak tidak orisinil, tidak perlu memeriksa lain. Termasuk substansi atau kontrak dijalankan atau tidak. Kalau orisinil, maka lihat substansi kontrak. Jangan sampai jaksa mendakwa tidak sesuai substansi kontrak. Kalau sudah sesuai, apakah kontrak itu dilaksanakan atau tidak," katanya.

Dia juga menjelaskan mengenai empat fundamental hukum pembuktian. Menurutnya pertama adalah harus relevan, bukti dapat diterima, bukti diperoleh sah dan kekuatan kekuatan pembuktian.

Kemudian majelis mempertanyakan pula soal seseorang yang disebut sebagai saksi ahli. Menurut Edward, pertama kapasitas intelektualnya apakah diperoleh dari pendidikan formal atau pengalaman. Kedua, objektivitas ahli.

Menurutnya, ahli hanya boleh berpendapat hal-hal yang bersifat umum, tidak boleh terkait perkara yang disidangkan. Ketiga corak kesaksian ahli. Ini juga terbagi empat. Yakni pertama, menjelaskan dari segi bahasa atau hal yang bersifat teknis yang mendasar, kedua menjelaskan tanpa harus melakukan penelitian, observasi atau pemeriksaan, ketiga menerangkan sesuatu setela melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Keempat, setelah melakukan penelitian, observasi terlebih daulu.

Kemudian, keempat untuk orang yang disebut ahli adalah dilihat dari kekuatan kesaksian ahli. "Pada dasarnya yang menilai adsalah majelis hakim. Jika ahli menyimpang dari empat hal ini, maka (kesaksiannya) tidak perlu dipertimbangkan atau ignore. Keterangan seorang ahli tidak boleh bertentangan dengan UU," tegasnya.

Dia pun menerangkan dalam hukum pidana ada istilah "Nemo Judex Idoneus Improperia Causa atau larangan bagi para pihak yang memiliki kepentingan di dalam perkara pidana, tidak boleh turut serta dalam perkara tersebut.

Soal perhitungan kerugian keuangan negara, Edward menjelaskan pula bahwa yang berhak menghitung adalah Badan Pemeriksa Keuangan. Ini, tegasnya, sesuai UU nomor 17 tahun 2003. "Ketentuan tersebut bersifat limitatif," tegasnya.

Terkait kesahihan barang bukti, Ahli menerangkan bahwa ada syarat-syaratnya. Yaitu, alat bukti harus diperoleh secara sah, dalam pengertian proses pengambilan dan pengumpulan bukti tersebut harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Apabila tidak diperoleh secara sah, maka disebut ekseklusionari rules. "Alat bukti tersebut diperoleh tidak sah (unlawfull legal evidence) konsekuensinya tidak dipertimbangkan oleh majelis. Semata tidak sesuai prosedur hukum, maka batal demi hukum," ungkap dia.

Dia pun menjelaskan, kalau bukti diambil dari tempat yang secara geografis berbeda, "Maka tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti," kata Edward.

Atas keterangan saksi ahli, Riscky tidak menyampaikan tanggapan dan komentar. Saksi kedua, Welman Affero Simbolon, dicecar seputar pekerjaan yang dilakoninya sebagai Supervisor SBF Pematang. Menurutnya, selama kerja di sel pengolahan, tidak ada pekerjaan keliru. Sehingga tidak pernah ada teguran dari CPI, Kementerian Lingkungan Hidup, maupun BP Migas. Ia menegaskan, dasar GPI melakukan pekerjaan adalah Standar Operasional Prosedur dari CPI. "Ada SOP dari Chevron," tandasnya.

(ful)

Klik langsung Okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar