Jumat, 26 April 2013

Sidang Chevron: Sendiri Hadapi Tuntutan, Istri Histeris, Pengacara “Walk Out”

Malang benar nasib terdakwa Herlan bin Ompo, kontraktor proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia yang menjadi Direktur PT Sumigita Jaya. Selain mendapat tuntutan hukuman dari jaksa penuntut
umum Kejaksaan Agung yang fantastis, yaitu pidana penjara 15 tahun penjara, ia harus menghadapi istrinya yang histeris karena tak terima dengan perlakuan itu.

Selain pidana penjara 15 tahun, Herlan juga dituntut membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, Herlan juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara 6,9 juta dollar AS, dan jika tak dibayar hartanya akan disita, dan jika tak mencukupi akan diganti dengan pidana penjara 5 tahun.


Mendengar tuntutan itu, keluarga dan kolega Herlan banyak yang berteriak histeris dan sebagian memekikkan takbir. Istri terdakwa, Sumiati, tak bisa menahan tangis. Ia juga histeris sambil mengucapkan
takbir.

Usai pembacaan tuntutan, Herlan tampak menahan emosinya. Majelis hakim sempat memutuskan untuk agenda pembelaan atau pledoi terdakwa dilakukan pada Senin pekan depan. Herlan protes dan mengajukan
perpanjangan waktu untuk membuat pledoi sendiri.

"Opini dan rekayasa ini luar biasa bagi saya. Mohon beri waktu perpanjangan saya membuat pledoi.

Dari fakta persidangan banyak bukti yang tidak disampaikan jaksa penuntut umum ke majelis hakim, jadi saya akan memberikan apa-apa yang akan kami diberikan kepada majelis hakim. Jadi mohon diberi waktu
hingga hari jumat," pinta Herlan.

Sudharmawatiningsih akhirnya mengabulkan permintaan itu dan agenda pembelaan atau pledoi akan dijadwalkan pada Jumat, 3 Mei 2013 sekitar pukul 14.00.

Di luar persidangan, penasehat hukum Herlan, Lindung Sihombing, mengatakan tuntutan jaksa ini keterlaluan dan tidak manusiawi. Jelas terungkap di fakta persidangan bahwa kontraktor tak harus memiliki
izin pengolahan limbah, yang harus mendapat izin adalah Chevron, perusahaan penghasil limbah. "Dari fakta-fakta di persidangan, jelas tak mendukung tuntutan itu," katanya.

Istri histeris
Usai sidang, Herlan menghampiri istrinya. Sambil memeluk istrinya, Herlan menatap para jaksa penuntut umum penuh emosi sambil mengepalkan tangannya. Dari kerumunan pengunjung terdengar teriakan, "Mending tak usah disidangkan di pengadilan, di bawa ke hutan saja pakai hukum rimba."

Sumiati lemas tak mampu berdiri. Herlan pun membopong istrinya sambil keluar ruangan. Di depan pintu keluar, ia berhenti sejenak sambil mengarahkan pandangan ke para jaksa yang sedang bersiap keluar.
"Saksikan ini semua, biar puas kalian. Ini koruptor, biar puas kalian. Hai jaksa dengerin," teriak Herlan yang badannya bergetar menahan emosi.

Para awak media yang berada di dekat Herlan mengurungkan niatnya memotret suasana mengharukan itu, tak kuasa memandang drama yang berlangsung tak seimbang itu. "Subhanallah, Allahu Akbar," begitu
teriak seorang pengunjung,

Tanpa penasehat hukum
Terdakwa Herlan tampil menghadapi tuntutan tanpa didampingi penasehat hukumnya. Penasehat hukum memutuskan keluar dari persidangan atau walk out sejak sidang sepekan sebelumnya sebagai protes kepada majelis hakim yang diketuai Sudharmawatiningsih yang dianggap tidak adil.

Herlan juga sempat protes dengan cara menolak diperiksa sebagai terdakwa dan memilih bungkam ketika ditanya. Pangkal protes berasal dari keputusan Sudharmawatiningsih yang hanya memberi waktu sepekan
bagi terdakwa untuk mengajukan saksi atau ahli meringankan, sementara jaksa penuntut umum diberi waktu hingga empat bulan.

Protes serupa juga dilakukan terdakwa lain yaitu Ricksy Prematuri, Direktur Green Planet Indonesia yang juga kontraktor Chevron. Protes ini sebenarnya sudah berlarut-larut sejak tiga persidangan sebelumnya.

Tuntutan para terdakwa ini sebenarnya sederhana dan hanya menuntut hak dasar sebagai terdakwa yaitu diberi kesempatan yang sama dengan jaksa untuk menghadirkan saksi dan ahli meringankan.

Namun, majelis hakim tak mengabulkan permintaan itu dengan alasan semua sudah sesuai jadwal. "Jadwal majelis hakim tidak adil bagi saya," kata Herlan pada sidang sebelumnya.

PT SGJ dianggap tidak memiliki izin pengolahan bioremediasi dan tak memenuhi kualifikasi sebagai kontraktor pekerjaan sipil bersifat khusus. "PT SGJ bukan perusahaan pengolah limbah melainkan perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi," kata jaksa Surma.

Kerugian negara akibat kegiatan bioremediasi ini menurut jaksa mencapai 6,9 juta dollar AS. Uang tersebut menurut jaksa sudah diajukan PT CPI ke BP Migas sebagai dana cost recovery. "Total kerugian 10,2 juta dollar AS, dari jumlah itu yang dibayarkan ke PT SGJ 6,9 juta dollar AS," kata jaksa.

Kasus bioremediasi ini menyeret dua orang dari pihak kontraktor dan tiga orang dari pihak PT CPI. Kejaksaan Agung dianggap memaksakan perkara ini masuk ke ranah pidana korupsi karena berdasarkan
keterangan saksi dari KLH, izin bioremediasi Chevron tak menyalahi aturan yang ada.

(Amir Sodikin)

Klik Blog Amir Sodikin

*) penulis adalah reporter desk hukum Harian Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar