Senin, 08 April 2013

Jalan Panjang Kriminalisasi Perkara Bioremediasi Chevron

Bila kontraktor atau penyedia barang-jasa di lingkungan instansi pemerintah terjerat pasal tindak pidana korupsi bisa dibilang biasa. Dan memang sudah cukup banyak perkara korupsi yang melibatkan pejabat penyelenggara negara yang sekaligus menyeret pihak kontraktor atau rekanan di instansi pemerintah.



Namun, tidaklah biasa jika yang terjerat perkara korupsi adalah kontraktor atau rekanan perusahaan swasta. Itulah yang dialami Ricksy Prematuri (47 tahun), Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI). Alumnus Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini tak pernah membayangkan atau menyangka dirinya akan duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Tapi, itulah yang terjadi. Sejak Oktober tahun lalu, Ricksy harus menjalani persidangan dimana dirinya sebagai terdakwa.

Perkara yang menjerat Ricksy, dan beberapa orang lainnya, berkaitan dengan proyek bioremediasi (pemulihan lahan tanah yang tercemar limbah migas secara biologis) di lahan konsesi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di sejumlah wilayah di Sumatera, dalam kurun waktu 2006 – 2012.

Sebagaimana diketahui, CPI merupakan perusahaan eksplorasi minyak bumi yang terikat production sharing contract (PSC) dengan BP Migas (sekarang berubah menjadi SKK Migas). Salah satu kewajiban CPI sebagai perusahaan PSC adalah memulihkan lahan-lahan yang tercemar akibat operasi dan eksplorasi migas. Maka, CPI pun menggelar tender untuk program pemulihan lahan lewat metode bioremediasi di sejumlah lokasi yang menjadi wilayah kerja operasinya. Sepanjang tahun 2006 sampai 2012 ada puluhan tender yang digelar CPI. PT Green Planet Indonesia sendiri memenangkan sejumlah tender yang dilakukan dengan seleksi yang ketat dan transparan. Sebagai Direktur Green Planet yang bertanggungjawab dalam menangani proyek-proyek bioremediasi, Ricksy lah yang menandatangani kontrak kerja dengan CPI.

Proyek-proyek bioremediasi lahan CPI yang ditangani Green Planet, dan sejumlah kontraktor lainnya, berjalan lancar dan terbilang sukses. “Semua proyek berjalan baik. Karena itu, ketika tiba-tiba dipersoalkan kejaksaan, kita kaget sekali,” ungkap Ricksy, ayah tiga anak, yang pernah memperdalam ilmu biotechnology/ biofertilizer di University of Kent, Inggris.

Memang tidak pernah ada yang menduga pekerjaan bioremediasi yang sudah tuntas ternyata malah dipersoalkan aparat kejaksaan. Atas laporan seseorang, Kejaksaan Agung menduga bioremediasi tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya alias fiktif maka proyek bioremediasi tersebut dianggap merugikan keuangan negara.

Sejak awal perkara bioremediasi itu beraroma kriminalisasi hukum. Lihat saja jalannya proses penetapan tersangka yang super cepat. Perkara ini mulai bergulir awal Maret 2012, saat Direktur Penyidikan pada JAM Pidsus mulai melakukan penyidikan. Hanya berselang beberapa hari saja pada 12 Maret, Direktur Penyidikan sudah mengeluarkan Sprindik dengan tersangka Ricksy Prematuri dan General Manager Sumatera Light North Operation, Alexia Tirtawidjaja. Perkara ini kemudian menyeret tiga orang karyawan CPI lainnya-- Kukuh Kertasafari, Widodo dan Endah Rumbiyanti-- serta seorang kontraktor lain: Herlan bin Ompo, Direktur PT Sumigita Jaya.

Saksi Ahli JPU Tidak Kredibel
Diduga laporan awal kasus ini berasal dari Edison Effendi, mantan dosen sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, yang pernah beberapa kali mengikuti tender proyek bioremediasi di CPI tetapi kalah. Anehnya, Edison kemudian justru diangkat sebagai ahli yang digunakan jaksa untuk mengambil sampel tanah tercemar di area Chevron yang kemudian digunakan untuk menyusun dakwaan dalam kasus ini.

Menurut informasi yang diperoleh Hotma Sitompoel, penasihat hukum dari terdakwa Herlan bin Ompo, Edison bersama saksi ahli lainnya, yakni Prayitno dan Bambang, diperiksa dalam ruang dan waktu yang bersamaan oleh penyidik yang sama dan isi BAP-nya pun disamakan sampai ke titik dan koma.

Di persidangan, kehadiran Edison Effendi kembali dipertanyakan independensinya. Ia dicecar pertanyaan oleh tim pengacara Ricksy, hingga kelabakan. Bahkan, saat persidangan dengan terdakwa Herlan. pengacara Hotma Sitompul melakukan walk-out dari persidangan karena keberatannya terhadap isi BAP Edison Effendi tidak digubris oleh majelis hakim.

Selain saksi ahli Edison, Juniver Sinaga saksi ahli dari BPKP juga dipertanyakan metodenya dalam menyimpulkan terjadi kerugian keuangan negara. Karena Juniver hanya mendasarkan perhitungan dan laporannya semata-mata dari keterangan dari Edison Effendi, tidak melakukan upaya investigasi lebih sebelum memberikan kesimpulan telah terjadi kerugian keuangan negara.

Dalam persidangan pra peradilan yang diajukan para terdakwa dari CPI, November 2012, ahli keuangan negara Arifin P Surya Atmadja menyebut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak punya kewenangan menghitung kerugian negara. Hal ini karena sudah diatur dalam undang-undang bahwa yang berhak mengaudit adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Sesuai UU No 15 tahun 2005, yang berhak mengaudit adalah BPK," ujar Arifin, dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Jalan Ampera, Selasa (20/11/2012).

Arifin menambahkan, karena BPKP tidak mempunyai kewenangan menghitung kerugian negara maka hasilnya pun menjadi tidak sah. Bahkan dia menyebut hasil penghitungan tersebut tidak bisa dimasukkan sebagai alat bukti. "BPKP tidak berwenang. Sehingga hasilnya menjadi tidak sah dan harus batal demi hukum," terangnya.

Kejanggalan lain menyangkut nilai kerugian keuangan negara. Dalam Laporan Terjadinya Tindak Pidana yang ditandatangani oleh Febri Adriansyah, Kasubdit Tindak Pidana Korupsi Kejagung, tertulis nilai negara mengalami kerugian US$ 23,3 juta. Namun dalam kesaksian di pengadilan Tipikor, Senin (1/4) ahli Juniver Sinaga menyatakan kerugian keuangan negara akibat proyek bioremediasi yang dikerjakan oleh GPI sebesar US$ 3,089 juta.

Menanggapi kasus kontrak bisnis yang diperkarakan menjadi tindak pidana korupsi karena dianggap merugikan keuangan negara, pakar hukum Prof. Dr. Ridwan Khairandy, SH, MH mengatakan bahwa PSC sebagai instrumen pengaturan hubungan antara negara dan investor dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi yang sukses diterapkan di Indonesia pada saat ini sudah diikuti oleh lebih 40 negara.

“Hubungan antara negara dan investor didasarkan pada hubungan kontraktual (perdata) berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi di bidang pertambangan. Negara sebagai pemilik SDA dan pihak dalam PSC dengan investor sebagai kontaktor sehingga hubungan antara negara dan investor equal,” ujar Ridwan.

Pendapat serupa disampaikan Dr. Mudzakkir, S.H., M.H bahwa penyelesaian perselisihan antara kedua belah pihak yang terkait dengan pelaksanaan suatu kontrak adalah tunduk kepada hukum kontrak atau hukum perdata. “Tidak ada cara lain penyelesaian permasalahan hukum yang ditimbulkan oleh kontrak, kecuali dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati kedua belah pihak dalam kontrak,” tegasnya.

Berkaitan dengan dugaan yang diungkapkan Edison Effendi bahwa proyek bioremediasi tidak perlu dilakukan, Deputi IV Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, Masnellyarti Hilman menjelaskan bahwa bioremediasi Chevron sudah sesuai ketentuan.

Menurutnya, peraturan yang digunakan Chevron untuk pengelolaan limbah B3 adalah PP No 18 Tahun 1999 dan Kepmen LH Nomor 128 Tahun 2003. Ia mengatakan bahwa meski beberapa izin bioremediasi Chevron telah habis dan dalam proses perpanjangan, tetapi kegiatan bioremediasi tetap perlu dilaksanakan tanpa menunggu keluarnya izin baru.

Hal tersebut terjadi karena terdapat beberapa lokasi pencemaran tanah oleh minyak yang cukup besar yang harus segera di bioremadiasi untuk menghindari pencemaran lebih besar. "Undang-undang mengatakan bahwa lahan terkontaminasi perlu diisolasi agar tak mencemari lingkungan," tegasnya.

Jadi, jika dicermati, aroma kriminalisasi dalam perkara bioremediasi lahan konsesi CPI sangat menyengat. Bergulirnya perkara ini di persidangan tak hanya memunculkan preseden hukum yang menafikan keadilan, tapi juga mengganggu iklim investasi di kalangan industri migas Indonesia. Tapi, bagaimanapun, Ricksy Prematuri dan para terdakwa lainnya, masih berharap dewi keadilan masih berpihak kepada mereka. “Kalau melihat fakta-fakta persidangan sejauh ini, kami yakin majelis hakim akan membebaskan klien kami,” tegas Najib Aligismar, salah seorang pengacara Ricksy. ***

1 komentar:

  1. Jangan mendiskriminasikan edison effendi tidak pernah mendapatkan kontrak dari cpi, karna edisonlah terkuaknya masalah b3 cpi. Selama ini masyarakat non karyawan subkontrak atau dikatakan petani dapat bantuan dari tuhan untuk membantunya melalui tanga edison.
    Mohon maaf saya menuliskan ini di forum solidaritas terhadap ricky.saya tidak memihak hanya melihat terkuaknya penilaian kebenaran yg selama ini dinikmati sepohak atau oknum. Saya berharap dengan permasalah ini akan terbentuklah sistem yg bekerja singkron antara pengusaha masyarakat dan pengawas. Wasalam

    BalasHapus