JAKARTA (RiauInfo) - Sidang perkara bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia menghadirkan dua pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, untuk memberikan keterangan di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diketuai Sudharmawati Ningsih. Keterangan mereka sebagai ahli digunakan untuk terdakwa Endah Rumbiyanti, Widodo, dan Kukuh Kertasafari.
Di hadapan majelis hakim kasus bioremediasi, Guru Besar Hukum UGM, Edward Omar Syarif Hiariej menerangkan bahwa sesuai asas hukum pidana, seseorang tidak boleh dihukum hanya karena prasangka. Seperti yang tertuang pada Pasal 2 dan 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dapat dipidana adalah kesalahan yang nyata, artinya kasat mata terlihat dan dapat dibuktikan.
“Kalau seseorang dijadikan tersangka, harus ada bukti permulaan. Jika tidak, maka ini disebut unfair prejudice. Harusnya bukti permulaan itu sudah ada sebelum orang disangkakan (dijadikan tersangka, red) dalam suatu perkara pidana,†jelas Edward pada sidang Rabu lalu (29/5).
Edward pun menerangkan, tentang adanya asas hukum yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh dihukum hanya berdasarkan satu prasangka belaka. Oleh karena itu, kesalahan adalah elemen terpenting dalam pertanggungjawaban pidana. “Maka kesalahan itu harus nyata,†tegasnya.
Tiga hal yang terkait dengan kesalahan, lanjut Edward, adalah kemampuan bertanggung jawab, hubungan antara pelaku dan perbuatan yang dilakukan yang melahirkan suatu kesalahan, serta tidak adanya alasan penghapuspertanggungjawaban pidana.
“Jika seseorang dijadikan tersangka sebelum unsur terpenuhi ini disebut unfair prejudice atau prasangka yang tidak wajar. Ini harus dihindari,†tandasnya.
Edward menambahkan, perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana adalah dua hal yang berbeda. Perbuatan pidana berkaitan dengan asas legalitas, sedangkan pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan asas kulpabilitas. “Disini terkandung asas tiada pidana tanpa kesalahan,†paparnya.
Ia juga menerangkan di hadapan majelis hakim, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh UU, dan ada ancaman bagi barang siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. Untuk menerapkan pidana, ada hukum acara pidana yang mengaturnya. “Hukum acara harus tertulis, dan tidak boleh diinterpretasikan selain yang tertulis. Jadi hukum acara itu mandatory,†jelasnya.
Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan mengakui adanya kejanggalan dalam penetapan karyawan CPI sebagai tersangka karena dilakukan oleh kejagung sebelum ada bukti kerugian negara atau bukti adanya pelanggaran peraturan lingkungan hidup yang dinyatakan oleh lembaga yang berwenang.
“Laporan perhitungan kerugian negara atas permintaan Kejagung baru disampaikan BPKP pada bulan Nopember 2012 sementara karyawan kami sudah dijadikan tersangka korupsi pada bulan Maret 2012 dan ditahan pada September 2012. Artinya mereka ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan oleh aparat sebelum ada bukti yang cukup sesuai ketentuan hukum,†ungkap Dony.
“Perhitungan BPKP atas kerugian negara ini pun hanya mengacu kepada keterangan ahli Kejagung, Edison Effendi, yang sarat kepentingan karena beberapa kali kalah tender proyek ini di CPI, yang menyatakan bahwa proyek kami fiktif,†ujar Dony.
Dalam persidangan, lanjut Dony, tidak ada bukti kerugian negara karena SKK Migas telah menyatakan bahwa biaya proyek bioremediasi belum dikembalikan oleh pemerintah kepada CPI sesuai mekanisme PSC dan KLH sebagai regulator yang berwenang sesuai undang-undang lingkungan menyatakan bahwa proyek bioremediasi CPI telah taat hukum.
“Terlebih bahwa dalam skema PSCy ang menjadi landasan operasi CPI dan proyek bioremediasi ini, karyawan yang menjalankan tugas dalam program-program perusahaan, tidak bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kontrak PSC karena kontrak ini adalah antar CPI sebagai korporasi dan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh SKK Migas,†terang Dony.
“Vonis kepada kedua kontraktor kami memang telah terjadi dan sangat kami sesalkan, namun kami masih menyimpan harapan besar bahwa para hakim dan jaksa bisa membuka hati dan pikiran untuk menerima dan menilai fakta-fakta persidangan ini sebagai dasar untuk membuat keputusan yang obyektif dan adil dalam perkara ini. Semoga kekeliruan sebelumnya tidak dilakukan kembali sebagai bukti komitmen atas sumpah jabatan sebagai wakil Tuhan,†pungkasnya.(zas/rls)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar