TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi Jakarta memvonis dua tahun penjara terhadap Team Leader SLS Sumatera Light South (SLS) Minas Chevron Indonesia, Kukuh Kertasafari karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Menanggapi vonis tersebut, Ketua Komisi III DPR RI, I Gede Pasek Suardika di Jakarta, Kamis (18/7/2013), mengatakan kasus dan vonis tersebut masih ada yang harus diperdebatkan. Pasalnya, ada beberapa temuan yakni adanya hasil penyidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyatakan proses kasus ini melanggar HAM.
Kemudian, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang diketuai Sudharmawati Ningsih tidak secara bulat memutus Kukuh bersalah melakukan tindak pidana korupsi, setelah seorang hakim menyatakan dissenting opinion.
"Masih ada masalah yang kita harus perdebatkan. Dengan hal tersebut publik menjadi tahu," kata Pasek berbincang dengan wartawan melalui ponselnya, Kamis (18/7/2013).
Terkait dissenting opinion tersebut, menurut Pasek, itu merupakan hal yang wajar terjadi. Namun dengan adanya perbedaan tersebut, menandakan ada pandangan fakta lain dalam perkara.
"Itu hal yang wajar dan keputusan tergantung suara mayoritas hakim," kata Pasek.
Terkait kasus dan vonis tersebut, Pasek mengaku komisi III akan menyikapinya. Terlebih kasus ini pernah diadukan ke komisi ini dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) beberapa waktu lalu. Meski demikian, politisi Partai Demokrat ini mengimbau semua pihak menghormati putusan hakim, karena vonis tersebut sudah menjadi putusan pengadilan.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang diketuai Sudharmawati Ningsih memvonis Kukuh bersalah setelah pembacaan putusan ini tertunda satu minggu, karena pada 10 Juli 2013 lalu belum siap membacakan putusan, dengan alasan butuh waktu lebih lama untuk bermusyawarah.
"Menyatakan Kukuh Kertasafari terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," kata Sudharmawati Ningsih membacakan amar putusannya.
Menurutnya, Kukuh terbukti melakukan perbuatan sebagaimana diatur Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Selain pidana penjara selama 2 tahun, Kukuh wajib membayar denda Rp 100 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Vonis terhadap Kukuh tidak bulat, karena Hakim Anggota, Slamet Subagyo, mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) dan menyatakan Kukuh tidak bersalah. Kukuh tidak terbukti menyalahgunakan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU 31 tahun 1999 juncto UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi.
"Unsur pokok Pasal 3 tidak terbukti secara sah dan meyakinkan," kata Slamet membacakan pendapatnya di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Dalam pertimbangannya, Slamet menyatakan Kukuh tidak ikut menetapkan lahan yang disebut terkontaminasi limbah minyak bumi di SLS Minas, Riau.
"Yang menetapkan 28 lahan sebagai lahan terkontaminasi minyak adalah Tim IMS (Infrastructure Management Support)," kata Slamet Subagyo.
Dijelaskan pula, penetapan lahan terkontaminasi limbah yang dilakukan Tim IMS, juga tidak berdasarkan perintah ataupun penugasan Kukuh. Dari keterangan saksi di persidangan juga diperoleh fakta, Kukuh tidak memiliki kewenangan melakukan pengujian terhadap tanah terkontaminasi.
"Dapat dibuktikan tanah yang disebut terkontaminasi adalah benar-benar terkontaminasi," kata Slamet.
Selain itu, imbuh Slamet, pembayaran ganti rugi kepada warga atas lahan yang terkontaminasi minyak, tidak berhubungan dengan proyek bioremediasi yang dikerjakan PT Sumigita Jaya sebagai kontraktor.
"Proses bioremediasi merupakan pekerjaan lain yang pelaksanaannya tidak melibatkan terdakwa," ujarnya.
Tidak hanya itu, putusan majelis hakim, terhadap Manajer Lingkungan Health Environmental Safety (HES) PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI), Endah Rumbiyanti, hari ini, juga terdapat perbedaan. Di mana, pada perkara ini justru tiga dari lima orang hakim mengeluarkan dissenting opinion.
Hakim anggota Slamet Subagio menilai Endah tidak melanggar Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi, terkait penyalahgunaan wewenang.
"Terdakwa sama sekali tidak memiliki niat jahat yang menyimpang dari tugasnya," kata hakim Slamet, saat membacakan dissenting opinion dalam sidang putusan, Kamis (18/7/2013) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Selain itu, Slamet juga menyatakan tugas Endah dalam HES tidak berkaitan dengan kegiatan tersebut. Karena kasus bioremedasi tersebut jauh sudah terjadi sebelum Endah menjabat manager pada bulan Juni 2011.
"Jabatan terdakwa sebagai manajer bulan Juni 2011, itu tidak ada kaitannya dengan pengelolaan limbah minyak," kata Slamet.
Hakim anggota Solfiadi dalam dissenting opinionnya menyatakan kegiatan bioremediasi sesuai dengan Kepmen Lingkungan Hidup No. 128 Tahun 2003. PT. CPI melakukan kegiatan bioremediasi sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ada. Atas pertimbangan tersebut, hakim Slamet dan Solfiadi menginginkan Endah dibebaskan.
Pendapat lain muncul dari hakim anggota Anas Mustakim. Menurutnya, Endah tidak terbukti dakwaan subsider, melainkan dakwaan terbukti secara sah pada dakwaan primer.
"Terdakwa tidak melaksanakan kewenangannya merupakan melawan hukum. Semua unsur dalam dakwaan primer terbukti," kata Anas.
Kendati demikian secara keseluruhan, hakim sepakat menjatuhkan vonis dua tahun penjara, denda Rp 200 juta dan subsider tiga bulan pada Endah. Vonis tersebut dijatuhkan salah satunya karena perbuatan Endah dianggap merugikan keuangan negara. Perbuatan tersebut adalah pembayaran biaya bioremediasi sebesar 1,6 juta dollar AS kepada PT. Sumigita Jaya, dan 204,6 ribu dollar AS ke PT. Green Planet Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar