Penulis : Amir Sodikin
Direktur PT Green Planet Indonesia, Ricksy Presmaturi ketika mengikuti sidang vonis di Gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (7/5/2013). Pada kasus bioremediasi ini jaksa menuntut hukuman selama 15 tahun penjara sementara majelis hakim pada vonisnya menjatuhkan hukuman selama lima tahun. KOMPAS IMAGES/VITALIS YOGI TRISNA | VITALIS YOGI TRISNA |
”Dua hakim ad hoc dengan lantang telah membacakan dissenting opinion dengan penuh keyakinan, sementara tiga hakim kariernya dengan malu-malu membacakan vonis,” seru pengunjung. Sindiran itu adalah buah kejengkelan para pengunjung terhadap suasana sidang.
Seperti sudah diduga sebelumnya, tiga karyawan PT Chevron Pacific Indonesia akhirnya tetap dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait dakwaan bioremediasi fiktif. Mereka adalah Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, dan Widodo. Ketiganya divonis dua tahun penjara.
Vonis ini seolah menegaskan kebenaran vonis sebelumnya untuk dua kontraktor Chevron, yaitu Herlan bin Ompo dan Ricksy Prematuri. Seperti sudah diduga sebelumnya, vonis ketiga karyawan Chevron ini tak akan ”mempermalukan” vonis terdahulu untuk kontraktor Chevron.
Dibandingkan dengan sidang lainnya, sidang Chevron termasuk sidang dengan tensi tinggi dan kedua kubu begitu sensitif satu sama lain. Gelagat yang tak umum diperlihatkan salah satu kubu dimaknai berbeda di belakang layar.
Majelis Hakim yang mengadili perkara ini ditengarai pengunjung begitu ”sensitif” dan dirasa berbeda karakternya ketika menangani perkara lain. Ketua Majelis Hakim Sudharmawatiningsih, misalnya, melarang fotografer mengambil gambar dari depan pengunjung sidang. Biasanya, larangan yang dikenal selama ini adalah melewati batas pagar arena sidang. Sudharmawatiningsih juga melarang kebiasaan para wartawan mencantolkan rekamannya pada pengeras suara.
Chevron sendiri telah melengkapi timnya dengan dokumentasi video, dengan juru kamera yang selalu terlihat mengambil gambar di belakang pengunjung. Mereka melengkapi diri dengan sistem pengeras suara tambahan, untuk memastikan suara lirih dari para hakim bisa terdengar saat direkam.
Karena itu, ketika vonis pekan lalu, setiap hakim karier mendapatkan giliran membacakan isi vonis, sebagian pengunjung keluar ruangan untuk memantau suara-suara lirih itu dari pengeras suara milik Chevron yang diputar di luar sidang. Mereka bergerombol di luar sidang untuk mendengarkan vonis pelantang ala kadarnya.
Kubu jaksa walau secara umum kalem-kalem menanggapi persidangan, ada juga yang ekspresif saat mendengar timnya menang dengan adanya vonis bersalah.
Di kubu terdakwa, suasananya lebih berapi-api dengan disulut kemarahan akibat kekecewaan terhadap majelis hakim. Di berbagai media sosial, penuh percakapan bernada mencemooh hakim yang hanya mengambil fakta yang mendukung dakwaan dan tuntutan jaksa.
Berbeda dengan sidang-sidang korupsi biasanya, kubu terdakwa memang selalu mendapat dukungan mencolok. Dukungan paling banyak berasal dari para karyawan Chevron di Riau yang didatangkan secara bergantian ke Jakarta. Mereka mudah dikenali dengan pin bertuliskan ”Nurani untuk Keadilan”. Gerakan ini bertujuan mendukung para terdakwa.
Karena itu, ketika para terdakwa perkara korupsi lainnya tertunduk malu dan lesu usai divonis bersalah, para terdakwa Chevron keluar dari ruang sidang dengan keyakinan tak bersalah. Di luar sidang, selalu sudah menunggu pengunjung yang mendukung.
Kasus bioremediasi ini memang penuh kontroversi karena dianggap banyak fakta persidangan yang meringankan terdakwa tak disinggung dalam pertimbangan majelis hakim, mulai dari pelaporan kasus ini yang diduga dilakukan ahli yang sakit hati hingga hakim yang dianggap telah berprasangka.
Pertimbangan logis perkara ini hanya bisa didengarkan dari pandangan para hakim yang mengajukan dissenting opinion. Mereka adalah hakim ad hoc, yaitu Sofialdi dan Slamet Subagio.
Pada prinsipnya, terdakwa dianggap melanggar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 128/2003 yang mengatur pengolahan limbah secara biologis (teknik bioremediasi). Hakim ad hoc berkeyakinan, selain para terdakwa tak melanggar aturan itu, jika melanggar pun tak bisa dijerat pidana hanya karena melanggar regulasi menteri yang bersifat internal.
Soal perbuatan melawan hukum, para hakim sebenarnya telah kalah debat dengan pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Eddy OS Hiariej.
Namun, di luar berbagai argumentasi itu, tampak jelas bagaimana rapuhnya ilmu pengetahuan (dalam hal ini ilmu bioremediasi) yang masih setitik itu dihadapkan ke pengadilan.
Mereka yang terlibat dalam pengadilan baru mengenal istilah bioremediasi pertama kalinya ketika menangani kasus itu. Karena itu, tak heran jika di persidangan masih terdengar orang mengeja kata mikroorganisme dengan ”mikroorgasme”.
Para ahli dari berbagai disiplin ilmu membutuhkan perdebatan bertahun-tahun bahkan ratusan tahun untuk membahas soal teknik bioremediasi ini.
Di luar itu semua, para terdakwa mengeluhkan, ahli bioremediasi yang memahami persoalan teknis ini banyak yang tak bernyali ketika diminta menjadi ahli dalam persidangan. Mereka hanya mau dihubungi di luar sidang. (Amir Sodikin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar