Kamis, 20 Juni 2013

Chevron Bisa Tuntut Balik Pemerintah Terkait Kasus Bioremediasi

Doni Indrawan
Jakarta - Kasus proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, seharusnya tidak perlu bergulir ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Pasalnya perkara ini bukanlah ranah pidana melainkan ranah perdata.

Manager Corporate Communication Chevron Indonesia, Doni Indrawan mengatakan, pelanggaran terhadap perjanjian kontrak kerja sama (Production Sharing Contract/PSC) masuk dalam ranah hukum perdata.

"Jika PSC bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Migas, maka tidak bisa diterapkan pidana korupsi. Perselisihan diselesaikan berdasarkan hukum kontrak," katanya di Jakarta, Kamis (20/06).
Doni menjelaskan, pemerintah berwenang melakukan audit sewaktu-waktu, dan apabila menemukan adanya keganjalan maka diselesaikan dengan mekanisme over/under lifting settlement.

PSC memiliki mekanisme kontrol dan koreksi atas pergantian biaya operasi migas, sehingga tidak akan ada kerugian negara karena pemerintah dapat meminta pengembalian sesuai dengan mekanisme yang telah ditentukan.

"Cost recovery sebesar US$ 9,9 juta untuk proyek bioremediasi 2006-2011 sudah ditangguhkan SKK Migas. Negara tidak mengalami kerugian apapun, artinya tidak ada dasar untuk tuduhan korupsi," jelasnya.

Tiga karyawan Chevron Indonesia akan menghadapi putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada awal Juli mendatang. Mereka adalah Kukuh Kertasafari selaku Ketua Tim Penanganan Isu Lingkungan Sumatera Light Sout Minas, Endah Rumbiyanti sebagai Manajer Lingkungan Sumatera Light North dan Sumatera Light South dan Widodo selaku Ketua Tim Penanganan Isu Lingkungan Sumatera Light Nort Minas.

Pakar hukum Universitas Islam Indonesia, Mudzakir mengatakan, majelis hakim Tipikor seharusnya menjatuhkan vonis bebas terhadap para terdakwa dalam kasus bioremediasi ini. Menurutnya, hakim tidak bisa menyatakan adanya kerugian keuangan negara dalam perkara ini.

"Kasus ini murni perdata. Hakim sebaiknya memutuskan bebas. Perkara ini ditolak dan masuk ke ranah perdata," ujarnya.

Mudzakir menjelaskan, kegiatan yang dilakukan Chevron di Indonesia berdasarkan perjanjian kontrak kerja sama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang mewakili pemerintah. Maka SKK Migas yang seharusnya mengajukan 'komplain' apabila ada dugaan penyimpangan dalam proyek bioremediasi, bukan aparat Kejaksaan.

Dia meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus melakukan koreksi terhadap tindakan anak buah Jaksa Agung. Dia menyebut perbuatan jaksa memperkarakan kasus bioremediasi sebagai tindakan korupsi sebagai bentuk intimidasi dalam pelaksanaan kontrak kerja sama.

"Saya khawatirkan Chevron ajukan gugatan balik ke pemerintah. Menurut saya, pemerintah bisa kalah. Ini berarti kerugiaan besar bagi Indonesia," ujarnya.

Ketiga pegawai Chevron itu dinyatakan jaksa menyatakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. Kukuh dituntut selama lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan. Endah dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan. Sedangkan Widodo dituntut 7 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan.

Penulis: Rangga Prakoso/RIN

Klik Beritasatu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar