Selasa, 11 Juni 2013

Pengacara Nilai Dasar Tuntutan Jaksa Kasus Bioremediasi Tak Masuk Akal

Selasa, 11/06/2013 19:08 WIB
Ramdhan Muhaimin - detikNews

Jakarta - Sidang kasus bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) dengan agenda tuntutan atas terdakwa Kukuh Kertasafari digelar semalam hingga dini hari tadi. Kuasa hukum menilai dasar tuntutan yang disampaikan jaksa tidak masuk akal.

Kuasa hukum karyawan CPI, Maqdir Ismail menilai dasar tuntutan jaksa terhadap Kukuh nyata-nyata telah mengabaikan peraturan dan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan mengorbankan akal sehat.
"Sebagai penegak hukum, jaksa sudah semestinya mengacu kepada perundang-undangan ini sehingga harus berkoordinasi dengan KLH sebagai pihak yang berwenang. Jika jaksa lebih percaya kepada keterangan Edison Effendi, ahli yang sarat dengan konflik kepentingan, yang pernah dua kali gagal tender proyek bioremediasi di CPI, pernah mengancam karyawan CPI, pernah berbohong di muka persidangan, justru tindakan jaksa ini melanggar hukum dan layak dipertanyakan alasan sesungguhnya," ujar Maqdir dalam dalam keterangan tertulisnya kepada detikcom, Selasa (11/6/2013).

Menurutnya, jaksa terkesan bersikeras ingin membuktikan bahwa penetapan Kukuh sebagai tersangka sudah didasari bukti. Padahal jika ditinjau lagi faktanya tampak sekali kejanggalan.

Kejagung telah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus ini sejak bulan Maret 2012 padahal uji laboratorium untuk yang dilakukan Edison Effendi di laboratorium dadakan di kantor Kejagung baru dilakukan di bulan Juni 2012. Bahkan menurutnya, perhitungan kerugian negara baru disampaikan BPKP atas permintaan Kejagung pada bulan Nopember 2012. Artinya, para karyawan dan kontraktor ini ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik jauh sebelum ada bukti permulaan yang cukup.

Maqdir Ismail menduga bahwa jaksa sebenarnya tahu bahwa telah keliru soal posisi dan peran Kukuh sebagai team leader produksi bukan bioremediasi namun telanjur menetapkan kliennya sebagai tersangka. Akhirnya dokumen-dokumen yang diserahkan oleh CPI untuk menjelaskan proyek bioremediasi dijadikan senjata untuk mencari korelasi Kukuh atas proyek bioremediasi.

"Alih-alih melepaskan Kukuh karena keliru, justru jaksa mencari pembenaran dengan mencari-cari kaitan antara kliennya dengan proyek bioremediasi," cetusnya.

Maqdir juga mengatakan sesuai dengan pasal 63 UU 32/2009 jika jaksa bermaksud memeriksa kasus ini sebagai kasus pelanggaran peraturan di bidang lingkungan, maka Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) adalah pihak yang paling berwenang sesuai undang-undang sekaligus berkompeten untuk menentukan pelanggaran aturan di bidang ini.

"Dalam penanganan dugaan adanya tindak pidana lingkungan, maka peraturan yang wajib dirujuk adalah UU 32/2009 karena merupakan lex specialis terhadap UU lain dalam hal pidana lingkungan. Pakar hukum dari Unpar, Asep Warlan Yusuf pun telah menjelaskan hal ini di muka persidangan," ujar Maqdir

Sidang lanjutan kasus bioremediasi atas terdakwa Kukuh Kertasafari di pengadilan Tipikor Jakarta Pusat kemarin berlangsung selama 13 jam mulai pukul 14.30 WIB (10/6) hingga pukul 03.30 WIB (11/6). Sidang diketuai oleh Sudharmawati Ningsih dengan agenda pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum (JPU).

JPU menuntut terdakwa Kukuh dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah terdakwa ditahan di rutan. JPU juga menuntut pidana denda sebesar Rp 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah), subsidair selama 6 (enam) bulan kurungan.

(rmd/lh)

Klik Detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar