Rabu, 05 Juni 2013

Menguji Integritas Pengetuk Palu Vonis

Suara Karya
Sidang Bioremediasi Chevron
Rabu, 5 Juni 2013


Kalau ada survei sidang yang paling menyedot perhatian publik dan juga pemerhati hukum negeri ini sejak awal hingga medio 2013, kasus proyek bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) pasti masuk di urutan atas hasil survei. Bukan hanya perdebatan apakah kasus ini seyogianya masuk kategori perdata atau pidana, melainkan juga ini adalah kasus lingkungan hidup yang kemasannya masuk dalam ranah pidana korupsi.

Hingga kini, sudah lima terdakwa yang diajukan ke persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta oleh Kejaksaan Agung. Dua terdakwa yang menjadi kontraktor proyek bioremediasi adalah Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia) dan Herlan bin Ompo (Direktur PT Sumigita Jaya). Keduanya sudah divonis lima dan enam tahun penjara. Tiga terdakwa lain, Endah Rumbiyanti, Manajer Lingkungan PT CPI untuk Sumatera Light North (SLN) dan Sumatera Light South (SLS); Kukuh Kertasafari, Koordinator Tim Penyelesaian Isu Sosial PT CPI; dan Widodo, Team Leader Sumatera Light North (SLN) di Duri, kini sudah memasuki babak akhir persidangan dan diperkirakan pembacaan vonis pada pertengahan Juni 2013.
Publik pasti emoh membahas materi perkara yang bisa dipastikan sangat teknis sehingga njelimet dan butuh waktu tidak sedikit untuk memahaminya. Tetapi, banyak hal lain yang menjadi sebab perkara ini layak menyedot perhatian, yakni kejadian dan keterangan yang terungkap selama persidangan terhadap lima terdakwa.

Dalam dakwaan, tim jaksa beranggapan proyek bioremediasi itu fiktif berdasarkan sampel lapangan yang ditemukan penyidik bersama ahli saat masa penyidikan. Selain itu, kedua perusahaan kontraktor yang menjadi rekanan CPI dinilai tidak memiliki izin dan kapasitas untuk mengerjakan proyek bioremedias. Menariknya, sebagian besar saksi dan ahli - baik yang dihadirkan jaksa maupun penasihat hukum terdakwa, memberi keterangan di persidangan yang malah berseberangan dengan dakwaan jaksa.

Keterangan saksi dari Kementerian Lingkungan Hidup, misalnya, menyatakan bahwa kedua perusahaan kontraktor tidak perlu memiliki izin bioremediasi karena sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup, yang wajib memiliki izin adalah CPI sebagai pemilik fasilitas pengolahan limbah.

Proyek bioremediasi adalah proyek penyelamatan lingkungan, sehingga harus mengikuti peraturan pemerintah yang berlaku, yaitu Kepmen LH Nomor 128 Tahun 2003. Kementerian LH sebagai regulator proyek lingkungan saat memaparkan audit rutinnya menyatakan, tidak ada pelanggaran yang dilakukan CPI.

Ahli hukum lingkungan dari Universitas Trisakti, Asep Warlan Yusuf, menyatakan bahwa sesuai Pasal 63 ayat 1 huruf a UU Nomor 32 Tahun 2009, jika terjadi dugaan tindak pidana, maka penegak hukum harus koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup. Artinya, kewenangan menyatakan ada pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup ada di tangan Menteri LH, tidak sekonyong-konyong Kejagung bisa menyatakan ada pelanggaran tanpa pendampingan dari kementerian tersebut.

Selain itu, fakta sidang menunjukkan, sampel tanah yang dikumpulkan oleh penyidik ternyata berbeda dengan proyek bioremediasi yang dikerjakan dua kontraktor CPI. Misalnya, penyidik yang disupervisi tim ahli menguji tanah tercemar dari sumber tanah di Minas untuk kontraktor PT Green Planet Indonesia. Padahal, perusahaan itu tidak pernah bekerja di Minas, tetapi di Sumatera Light North, yaitu di Libo, Pematang, dan Mutiara, yang jaraknya tiga jam perjalanan dari Minas.

Fakta persidangan lainnya yang menunjukan kejanggalan sidang ini adalah keterangan para terdakwa dari PT CPI bahwa mereka tidak berwenang dan tidak terlibat sama sekali mengurus proyek bioremediasi. Bahkan saat proyek itu berlangsung 2006-2011, Endah Rumbiyanti bertugas di kantor Chevron di AS, tepatnya di Houston dan Texas.

Seandainyapun ada pelanggaran yang dilakukan oleh CPI, selain harus dibawa ke ranah perdata sesuai aturan undang-undang, yang bertanggungjawab pun bukan karyawan, melainkan pimpinan tertinggi di perusahaan tersebut. Apalagi, tidak ada bukti satu pun yang menunjukkan ada niat jahat dari tersangka dengan maksud memperkaya diri sendiri. Padahal itu merupakan syarat utama untuk menjadikan perkara perdata menjadi pidana.

Kalaupun ada ahli yang menguatkan dakwaan tim jaksa, itupun tidak lepas dari aroma kejanggalan. Edison Effendi, misalnya. ahli bioremediasi tamatan ITB yang digandeng Kejaksaan Agung sejak awal hingga persidangan. Selain disebut sebagai pelapor kasus tersebut, dalam persidangan terungkap bahwa Edison beberapa kali mewakili beberapa perusahaan mengikuti tender pengadaan barang maupun jasa di CPI, namun selalu kalah. Tak pelak, aroma sakit hati tertancap di benak publik.

Saat dihadirkan sebagai ahli di persidanan yang dipimpin majelis hakim Sudharmawatiningsih, Edison kerap menyampaikan pernyataan yang nyeleneh sehingga memancing reaksi minor pengunjung sidang, tetapi anehnya majelis hakim seolah abai dengan kejadian tersebut, bukannya menegur agar yang bersangkutan menjawab dengan lebih baik dan sopan.

Suatu ketika, dalam persidangan dengan terdakwa Endah Rumbiyanti, terdakwa bertanya kepada Edison apakah di mengenal terdakwa. "Sepertinya kenal, tapi dulu gak seperti sekarang, dulu lebih cantik," kata Edison dengan santai. Tentu ini bukan jawaban yang pantas di persidangan, tetapi majelis hakim membiarkannya dan tidak menegur Edison.

Lebih lucu lagi, saat penasihat hukum terdakwa Widodo, Dasril Affandi, mempertanyakan dengan pengandaian, apakah boleh mengambil tanah tercemar di Jakarta untuk mewakili tanah tercemar di Riau, Edison menjawab, "Menurut Kepmen boleh." Jawaban itu sontak membuat ruang sidang meledak dalam tawa. Sebab, isi Kepmen Nomor 128 Tahun 2003 tidak seperti dikatakan Edison.

Penasihat hukum kemudian bertanya lagi, sebagai ahli, kaidah apa yang dipatuhi Edison. "Yang saya patuhi kesepakatan, tak hanya Kepmen 128. Saya kerjakan sesuai order," jawab Edison.

Ketua Sudharmawatiningsih menyela, acuannya apa, apakah teori, doktrin-doktrin, atau peraturan-peraturan. "Peraturan di Indonesia tidak mengikat saya sebagai ahli," kata Edison, yang kembali memicu suara sumbang pengunjung sidang.

Ahli hukum pidana dari UGM, Eddie OS Hiraej, menilai pendapat ahli yang punya konflik kepentingan tidak boleh digunakan sebagai fakta persidangan. Tapi pendapat ini tidak diperhitungkan oleh majelis hakim.

Rentetan persidangan tidak bermutu semacam ini membetot perhatian berbagai pihak. Kementerian Lingkungan Hidup, SKK MIGAS, ESDM, bahkan Komnas HAM dan sejumlah kaukus alumni berbagai universitas terkemuka di Indonesia mengecam cara kerja penegak hukum yang sembrono dan seperti dagelan itu.

Sekarang, ujian integritas berada di tangan majelis hakim yang menyidangkan perkara bioremediasiApapun putusan yang dijatuhkan, hal itu tidak saja berdampak bagi para terdakwa, melainkan juga bagi dunia peradilan secara umum dan kepastian hukum bagi investasi di negeri ini. (Jimmy Radjah)

Klik Suara Karya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar