Rabu, 05 Juni 2013

Srikandi Pencari Keadilan Di Kasus Bioremediasi

Alamsyah Pua Saba
alam@majalahtambang.com

Jakarta-TAMBANG- Herlan bin Ompo, Direktur PT Sumigita Jaya dan Ricksy Prematuri, Direktur PT Green Planet Indonesia, divonis kurungan dan denda oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, atas kasus bioremediasi di PT Chevron Pacific Indonesia. Proses peradilan keduanya dinilai diskriminatif dan menciderai rasa keadilan. Dibalik “musibah” yang menimpa kedunya, ada istri-istri yang selalau setia menemani mereka. Upaya mencari keadilan terhadap sang suami terus dilakukan. tenaga dan fikiran dicurahkan sepenuhnya. Selama masih ada peradilan lebih tinggi untuk mencari keadilan, mereka, para istri dan srikandi terus berazam mencari keadilan.

Air mata Sumarti (42) tak kuasa untuk dibendung. Tangisnya pecah, mengingat kejadian yang dialaminya pada 3 Oktober 2012, sepekan setelah suami tercinta Herlan bin Ompo, ditahan Kejaksaan Agung pada 26 September 2012, atas kasus proyek bioremediasi di PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Sumi sapaan akrabnya bersama dua buah hatinya yang masih kecil, harus berhadapan dengan puluhan petugas kejaksaan dan anggota kepolisian berseragam dan bersenjata laras panjang. Sabtu akhir pekan itu, menjadi hari kelabu baginya, kenangan terburuk dalam hidup yang tak mungkin dilupakan.
Ia merasa seperti terduga teroris yang sering dilihatnya di layar kaca, saat digrebek anggota detasemen khusus. Puluhan pasang mata tetangga melihat kejadian itu, melihatnya bersitegang dengan petugas kejaksaan. Dua anaknya yang masih kecil berada di sana, bersembunyi, menangis ketakutan.

Petugas kejaksaan bersama anggota polisi mendatangi rumahnya, ingin menyita rumah mereka. Sehari sebelumnya, mobil operasional mereka juga diambil paksa, saat berada di lapangan. Sumi bercerita, saat petugas mendatangi kediamannya, ia masih di kantor . ia memiliki usaha sendiri. Ketua RW setempat mengabarkan kedatangan petugas tersebut. saat tiba di rumah, surat penyitaan rumah disodorkan kepadanya.

Ia terbelalak kaget bercampur marah. Belum hilang kesedihan karena sang suami ditahan, mobil operasional yang tidak ada kaitan dengan proyek bioremediasi diambil paksa, kini rumah yang dibangun setelah mengumpulkan kepingan rupiah dari hasil usaha bertahun-tahun juga akan di sita.

Ia berang, karena rumah itupun bukan hasil dari proyek bioremediasi yang diperkarakan. Rumah tersebut juga bukan atas nama suaminya, tetapi atas namanya. Surat rumah pun masih diagunkan di bank. Ia tak meingizinkan petugas kejaksaan melakukan penyitaan rumahnya, ia meminta mereka untuk melihat dengan jelas, atas nama siapakah rumah itu, ia ingin menjelaskan status rumah tersebut.

Petugas tak menggubris, mereka tetap kekeuh ingin menyita rumah. Pun keinginannya untuk menghubungi pengacaranya tak dihiraukan. Bahkan untuk masuk ke rumahnya sendiri dihalang-halangi. “Saya marah, saya emosi. Melihat saya marah, anak-anak saya berlari menghampiri saya, memeluk saya,ceritanya sambil menyeka air matanya.

Ia merasa seperti pelaku kejahatan besar yang harus dijaga oleh aparat bersenjata. Tanpa suami sebagai pelindung keluarga, ia dan anak-anaknya harus menghadapi tragedi itu. Tanpa ada perikemamnusiaan, hak-haknya sebagai warga negara yang ikut berkontribusi melalui pembayaran pajak, diabaikan.

“Ya Allah, inikah negeri saya. Negeri yang katanya sudah merdeka, sudah reformasi, tetapi saya masih mengalami hal seperti ini, saya dihakimi tanpa diberikan kesempatan untuk membela hak saya. Sebagai warga negara, saya masih merasakan hal ini, di negeri saya sendiri,” ungkapnya tak kuasa menahan tangis.

Karena merasa tidak nyaman, dengan situasi tersebut, ia pun menghubungi Kepala Pengadilan Negeri setempat. Kepala PN pun menginstruksikan kepada petugas untuk tidak sewenang-wenang melakukan penyitaan, terhadapaset yang tidak terkait dengan proyek yang diperkarakan. Sumi menceritakan, surat penyitaan mobil dan rumah ditandatangni oleh Wakil PN setempat.

Ia bersyukur, bahwa keluhannya didengar oleh kepala PN. Rumah dan kendaraannnya tidak jadi di sita. “Saya bersykur, saya menangis bahwa masih ada orang baik, yang mau mendengar dan melihat apa yang saya alami dengan mata hati,” ujarnya.

Trauma Pada Anak-AnakNamun dampak dari kejadian tersebut adalah trauma yang dialami anak-anaknya. Anak keduanya, harus bersembunyi di dashboard mobil, ketika berpapasan dengan polisi di jalan. Ketika ditanya, kenapa bersembunyi, sambil terus bersembunyi, sang anak menyahut pelan”takut ditangkap polisi”. Trauma yang dialami anaknya inilah, membuatnya harus menyambangi psikiater.

Persoalan yang tidak gampang memang, menjelaskan kepada buah hatinya yang masih kecil, atas apa yang menimpa ayah mereka. Ia bercerita, suatu ketika ia menemani anak-anaknya ke toko buku. Si sulung meminta izin kepadanya untuk membeli novel. Ia menyilahkan putrinya untuk memilih novel kesukaannya. Sebuah novel diambil, judulnya membuat perempuan yang memiliki usaha salon dan spa itu seperti teriris hatinya.”Ayahku Bukan Penjahat,” demikian judul novel itu, diserahkan sang putri kepadanya sebelum sempat membuka sampul pembungkus.

“Mungkin itu sebagai bentuk protes dan pemberontakan dia, terhadap apa yang dialami oleh ayahnya. Saya berusaha menenangkannya, saya bilang ayahnya sedang dicoba ,” terangnya sambil terisak.

Selama masa persidangan sang suami, ia mengaku berada dalam keadaan yang sulit. Tertekan secara mental dan fisik. Satu sisi, ia harus hadir memberi dukungan kepada suami, memberi suntikan motivasi. Namun di sisi lain, persidangan yang dilakukan setiap pekan, mengharuskannya terbang Pekanbaru-Jakarta, meninggalkan anak-anak di rumah.

Harapannya, semuanya akan berakhir manis. Keadilan bisa didapatkan, kebenaran terungkap. Anak-anak kembali ceria. Sang ayah kembali berkumpul, keluarganya kembali utuh. Anak-anak membutuhkan figur ayah mereka, kepala keluarga dan pelindung mereka.

Penjelasan kepada anak-anak atas apa yang terjadi pada ayah mereka, juga hal sulit dirasakan Ratna Irdi Astuti (46), istri dari terpidana kasus bioremediasi lainnya, Ricksy Permaturi. Namun masih ia merasa beruntung, putri pertamanya sudah memasuki masa kuliah. Sudah memahami betul, apa yang sebenarnya terjadi. Teman-teman kuliahnya pun memberi dukungan, terus menyemangatinya.

“Mungkin yang agak susah memang yang masih sekolah. Tapi syukur juga, teman-teman sekolahnya ngga ada yang tau. Jadi secara psikologis dia tidak tertekan,” terang perempuan berjilbab tersebut.

Ratna dan keluarga tidak mengalami penyitaan aset seperti yang dialami keluarga Herlan. Namun ia mengaku prihatin terhadap apa yang menimpa rekannya tersebut. kini, kedua istri kontraktor CPI untuk proyek bioremediasi tersebut, selalu bersama mencari keadilan atas vonis yang dinilai mengabaikan fakta-fakta hukum selama persidangan terhadap suami mereka.

Srikandi Pencari KeadilanVonis yang dijatuhkan ketua Majelis Hakim, Sudharmawati Ningsih terhadap Ricksy Prematuri dan Herlan bin Ombo, masing masing 5 dan 6 tahun kurungan serta denda dan ganti rugi 3 dan 6,8 juta dollar, memantik keprihatinan karyawan dua pimpinan kontraktor proyek bioremediasi tersebut serta keluarga. Vonis itu juga semakin menegaskan bahwa keadilan merupakan barang langka di negeri ini.

Karena merasa ada diskriminasi selama persidangan, keputusan yang dinilai mengabaikan fakta-fakta persidangan, Ratna Irdi Astuti dan Sumarti, terus bersama-sama mencari keadilan terhadap suami mereka. Selama persidangan, keduanya selalu hadir memberi dukungan moral kepada suami tercinta, ayah dari anak-anak mereka.

Sidang maraton yang digelar setiap pekan, sejak pagi hingga malam hari tak pernah mereka lewatkan, anak-anak yang masih kecilpun terpaksa mereka tinggalkan di rumah. Mereka menjadi sangat paham seperti apa kegiatan bioremediasi, justru karena selalu hadir dalam persidangan.

“Kalau bu Ratna, mungkin sebelumnya sudah paham apa itu bioremediasi, tapi saya sebelumnya benar-benar tidak tau, karena itu kegiatan suami saya dan saya punya bisnis sendiri. Tetapi sejak mengikuti persidangan saya jadi tau. Jadi paham seperti apa itu bioremediasi dan bisa menilai mana yang benar-benar dan mana yang tidak,” ujar Sumarti.

Selama persidangan dengan kehadiran saksi-saksi, Ratna dan Sum berkeyakinan bahwa suami mereka akan bebas. Karena kegiatan bioremediasi yang dilakukan sudah sesaui dengan ketentuan.Apa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tetapkan oleh SKK Migas dan juga ketentuan Menteri Lingkungan Hidup (KLH).

“Dari semua keterangan saksi ahli, termasuk yaang dari JPU sebenarnya meringankan, kecuali keterangan dari Edison Effendi, makanya kita yakin bahwa akan bebas,” ujar Sumi dan Ratna nyaris bersamaan.

Namun yang terjadi, suami mereka divonis bersalah. Sumi bahkan sempat pingsan mendengar pembacaan vonis oleh hakim ketua. Meski pembacaan vonis lebih ringan dari tuntutan JPU, yang memvonis 12 dan 15 tahun penjara. Sumi mengaku tak bisa membayangkan jika memang tuntutan 15 tahun penjara kepada suami menjadi vonis hakim. Sang suami baru bisa berkumpul bersama keluarga, saat anak bungusnya berusia 20 tahun.

Namun tetap saja, Ratna dan Sumi merasa suami mereka tidak pantas untuk mendapatkan hukuman penjara juga membayar ganti rugi. Sebab pekerjaan yang dilakukan suami mereka, hanyalah menjalankan proyek milik CPI. Kasus tersebut, tidak bisa masuk ranah pidana, kontraktorpun tidak perlu mendapatkan izin mengelola limbah, sebab yang seharusnya mengurus perizinan adalah pemilik limbah dan konsesi, yakni CPI.

Ahli pidana yang dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan, membenarkan hal tersebut. Pihak KLH yang juga turut diminta menjadi saksi, mengatakan kegiatan bioremediasi sudah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan KLH. Pihak kontraktor, tidak perlu mengantongi izin. Kewajiban izin hanya milik pemilik limbah.

“Sebelum kasus ini, kita juga pernah mengajukan izin pengolahan limbah ke KLH. Namun jawaban KLH, tidak perlu, cukup Chevron saja yang memiliki izin,” demikian jelas Ratna Irdi Astuti.

Atas kesamaan nasib yang menimpa suami mereka, Ratna dan Sumi terus mencari keadilan. Keduanya selalu bersama melakukan upaya hukum dan meminta pertimbangan dari lembaga-lembaga terkait. Baik ke DPR, Komnas Ham juga ke Komisi Yudisial (KY).

Seminggu setelah vonis bersalah atas suami mereka, pada 14 Mei 2013, Ratna dan Sumi mendatangi Komisi Yudisial. Keduanya didampingi Nur Ridho Wati serta beberapa karyawan Green Planet Indonesia. Kehadiran Mereka diteriam langsung ketua KY, Erman Suparman.

Dalam pertemuan tersebut, mereka mengadukan beberapa point kepada KY. Pertama, mereka merasa ada perlakukan yang diskriminatif terhadap tersangka dalam kasus bioremediasi. Selain Ricksy dan Herlan yang merupakan vendor (kontraktor) dalam kasus bioremediasi ada 4 tersangka lain yang berasal dari PT CPI. Namun sejak proses awal pemeriksaan, Ricksy dan Herlan sudah ditahan. Sementara tersangka dari CPI dibolehkan pulang.

“Sejak awal proses (peradilan) ada perlakuan yang tidak adil, diskriminatif. Kami sudah meminta penangguhan penahahanan tetapi ditolak oleh majelis hakim,” ujar Nur Ridho mewakili kedua istri terdakwa dihadapan Ketua KY.
Kemudian dalam menghadirkan saksi selama persidangan, Jaksa penuntut Umum (JPU) diberikan waktu 4 bulan untuk menghadirkan saksi, sementara terdakwa hanya dikasi waktu 1 minggu dengan persidangan selama 4 kali setiap pekan, dengan waktu sidang yang sampai larut malam. Kondisi ini, tentu menyulitkan menghadirkan saksi seperti yang diharapkan.

Beberapa saksi sudah sempat dihadirkan, meski dalam waktu yang sangat mepet tersebut, diantaranya dari ahli pidana, BPKP dan Bioteknologi. Pihak terdakwa ingin menghadikran saksi ahli bioremediasi, karena kasus tersebut berkaitan dengan proyek bioremediasi, namun permintaan mereka tidak dikabulkan oleh hakim.

“Kami juga minta hakim untuk bisa melakukan peninjauan lapangan, tempat pelaksanaan bioremediasi, tetapi tidak digubris,” ujar Nur lagi.

Indikasi Ketidakberesan HakimSetelah mendengar penyataaan keluarga terpidana yang diwakili kuasa hukumnya, Ketua KY mengungkapkan bahwa kasus tersebut adalah kasus aktif yang masih memungkinkan pihak terpidana untuk melakukan upaya hukum yang lebih tinggi atau melakukan upaya banding.

Ia mengaku belum mengetahui konten perkara tersebut secara utuh. Namun dari informasi salah seorang anggota komisioner melalui milis bahwa kasus Chevron penuh dengan “hujan tangis” sehingga KY harus memberikan perhatian kepada kasus tersebut.

Lebih lanjut ia mengatakan, dari informasi yang disampaikan keluarga terpidana, ada indikasi yang tidak beres dengan hakim. Apalagi, dalam keputusan tersebut ada hakim anggota yang tidak mufakat dengan keputusan tersebut sehingga melakukan dissenting opinion. “Kami punya kewenangan untuk membaca dokumen dan data-data selama persidangan, adakah perilaku busuk hakim. Dari informasi yang disampaikan, saya melihat ada something wrong dengan etika hakim,” tegasnya.

Hakim, lanjutnya harus imparsial, tidak memihak. Kalau ada hakim yang parsial (memihak) maka KY akan memberikan sanksi, karena hakim telah melanggar kode etik. Karena itu, ia meminta kepada keluarga atau kuasa hukum yang mewakili terpidana untuk bisa menghadikan bukti-bukti, baik berupa publikasi media atau video yang mengindikasikan adanya perilaku hakim yang melanggar kode etik.

“Kami akan prioritaskan kasus ini, sudahdibicarakan di komisioner dan akan dibicarakan di panel,” tegas pria kelahiran Kuningan, 23 April 1959 itu lagi.

Ia menambahkan, dalam pengambilan keputusan, seorang hakim tidak mesti selalu berada di belakang meja. Bisa juga ke lokasi melakukan peninjuan lapangan. Dana untuk peninajuan lapangan ada, dan itu bukan bagian dari grativikasi. Seharusnya hakim bisa menggunakan itu. Apalagi sudah ada permintaan dari terdakwa.

Ia menyarankan kepada terpidana dan keluarga untuk terus melakukan upaya hukum yang lebih tinggi secepatnya dan berharap, pada pengadilan yang tinggi hakimnya bisa lebih baik memberikan keputusan, sehingga keadilan bisa didapatkan.

“Lebih baik membebaskan terdakwa daripada menghukum yang tidak bersalah,” ungkapnya mengutip adagium yang bisa dipakai hakim.

Ia menegaskan bahwa, KY tidak bisa mengubah keputusan yang sudah diputuskan hakim, kewenangan KY adalah memeriksa hakim yang memberikan keputusan tersebut. apakah terdapat penyimpangan dalam menjalankan kode etik hakim atau tidak. Selanjutnya, akan diberikan sanksi jika ada pelanggaran kode etik.

Erman nampak geram dengan perilkau hakim yang masiih memihak, mengabaikan fakta hukum sehingga keputusan yang diberikan mengusik rasa keadilan. Padahal, lanjutnya, pihaknya sudah mengusahakan agar gaji hakim naik sehingga tidak lagi melakukan suap. Namun buktinya, masih ada saja hakim yang menerima suap, meski gajinya sudah dinaikan berkali lipat.

“Saya benar-benar geram, marah pada keadaan ini. Kapan negeri ini akan baik, kalau masih ada hakim yang disuap, dipengruhi oleh salah satu pihak,” katanya dengan nada tinggi.
Ratna dan Sumi nampak lega mendengar jawaban ketua KY, setidaknya menambah sedikit harapan bahwa upaya yang dilakukan tidak sia-sia. Namun harapan terbesar meraka adalah suami mereka dibebaskan, nama baiknya direhabilitasi. Karena itu, upaya ke peradilan yang lebih tinggi, terus dilakukan.
“Jika keadilan di bumi tidak lagi kami dapatkan, maka kami hanya mengharapkan keadilan dari Pemilik langit dan bumi,” pungkas Sumi.

Klik Majalah Tambang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar