Senin, 17 Juni 2013

Pledoi Kukuh 'Chevron: Kejagung Telah Dijadikan Alat Balas Dendam

Kukuh Kertasafari saat sidang pledoi Senin (17/6)
Kukuh Kertasafari, Team Leader Produksi PT Chevron dan juga Koordinator EIST (Environmental Issue Settlement Team atau Tim Penyelesaian Isu Sosial), mengungkapkan banyaknya kejanggalan dalam penanganan kasus dugaan bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia. Kukuh menengarai, Kejaksaan Agung telah dijadikan sarana untuk balas dendam oleh Edison Effendi, orang yang pernah beberapa kali kalah tender di Chevron namun dijadikan ahli oleh Kejagung.

Demikian pembelaan Kukuh sebagai terdakwa dugaan bioremediasi fiktif dalam pembacaan nota pembelaan atau pledoi di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin (17/6). Dalam pledoi pribadinya, Kukuh mengkhawatirkan jika kejaksaan telah dimanfaatkan oleh orang yang sakit hati untuk balas dendam.
Orang yang dimaksud adalah ahli Edison Effendi yang digunakan Kejagung sebagai ahli bioremediasi. “Edison adalah orang yang pernah mengikuti tender di Chevron dan gagal memenangkan tender,” kata Kukuh.

Akibat mengikuti dan mempercayai laporan Edison, kredibilitas Kejagung dipertaruhkan pada titik yang tak bisa dianggap rasional lagi. Diantaranya, Kejagung menetapkan Kukuh sebagai tersangka tanpa melalui pemeriksaan terlebih dulu dan tanpa didasari alasan yang jelas.

Penetapan dirinya sebagai tersangka ia dengar dari teman-temannya yang membaca website Kejagung dan dari pemberitaan online. “Manajemen Chevron pun bingung, tidak bisa menjelaskan keterkaitan saya dengan bioremediasi,” kata Kukuh.

Dua pekan setelah pengumuman di internet, Kukuh diperiksa pertama kalinya dan kesempatan itu ia gunakan untuk menanyakan mengapa ia menjadi tersangka. Namun, di luar dugaan, penyidik Kejagung pun juga tak tahu menahu mengapa dirinya sampai menjadi tersangka.

“Jaksa Sugeng Sumarno di hadapan Pak Amirullah (Koordinator Penyidik), malah bertanya ke saya, ‘Pak Kukuh kan Team Leader Bioremediasi di SLS (Sumatera Light South)?’, saya jawab, ‘Bukan Pak, saya Team Leader Produksi di Minas’,” begitu Kukuh menceritakan pengalaman pahitnya.

Keganjilan berikutnya terkait buruknya cara kerja penyidikan di Kejagung terus terjadi. Sampel tanah tercemar hanya diuji di laboratorium dadakan di Kejagung, itupun sudah lewat tujuh hari dari ketentuan seharusnya.

Aturan penetapan kadar Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 128 Tahun 2003 pun juga jelas dipelesetkan. Di dalam Kepmen 128, disebutkan tanah tercemar dengan TPH 1-15 persen boleh dibioremediasi. “Namun, Kejagung dengan hanya mendengarkan keterangan Edison yang sakit hati, menetapkan rentang TPH yang boleh dibioremediasi pada 7,5-15 persen,” kata Kukuh.

Akibat Kejagung yang mempercayai Edison, maka tanah tercemar dengan TPH 1,75 persen dianggap illegal atau tak boleh dilakukan bioremediasi. Di persidangan, baik penuntut umum maupun Edison tak bisa menjelaskan dari mana ketentuan itu diambil. “Menjadi suatu pertanyaan yang sampai sekarang tak terjawab, mengapa jaksa penuntut umum tetap menggunakan dalih bahwa penunjukan tanah tercemar 7,5 persen Kepmen 128,” protes Kukuh.

Tak terlibat bioremediasi
Kukuh juga menyatakan, dirinya tak pernah terkait pekerjaan bioremediasi di Chevron. Selaku Koordinator EIST, Kukuh tak pernah ikut campur dalam menentukan 28 lokasi lahan tercemar, sebagaimana dalam dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung. Pekerjaan seperti itu tak masuk dalam tugas tertulis maupun tugas lisan dari atasan Kukuh yaitu Manajer Produksi.

“Saya dipersalahkan karena posisi saya sebagai Koordinator EIST, akibat adanya tindakan anggota EIST yaitu Team Resources and Environmental Management- Infrastructure Management Support (REM-IMS) yang menetapkan lokasi lahan tercemar,” kata Kukuh.

“Begitu pula dalam pembayaran pembebasan lahan tercemar yang pengajuannya dilakukan Manajer Land atas usul Team Land, bukan oleh saya selaku Koordinator EIST,” lanjut Kukuh. Verifikasi pembayaran dilakukan Manager Finance melalui Team Finance, bukan lewat Kukuh atau EIST.

Terkait kontrak bioremediasi, Kukuh mengaku tak terkait dalam perencanaan, proses pelelangan, pemilihan kontraktor, pembuatan kontrak, dan seterusnya. Pengujian tanah tercemar hingga pemilihan teknologi bioremediasi juga bukan wilayah kerja Kukuh.

Kukuh menegaskan, EIST tak pernah muncul di dalam struktur organisasti Chevron. EIST bukan organisasi yang memiliki tugas dan tanggung jawab tertentu sebagaimana layaknya struktur organisasi. “EIST hanya fasilitator pertemuan jika ada masalah terkait pembebasan lahan. Pembebasan lahan tercemar di SLN Duri sama sekali tak melibatkan EIST melainkan di bawah Team Land,” jelas Kukuh.

Menanggapi pledoi Kukuh, JPU akan menyampaikan jawaban atas pledoi atau replik pada Rabu depan pukul 07.30.
(Amir Sodikin, dikutip dari amirsodikin.com)

Klik Amirsodikin.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar