Kompas, 16 April 2012
Perkara Bioremediasi
Ahli hukum pidana yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof Eddy OS Hiariej, didatangkan dalam sidang dugaan bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia. Eddy mengungkapkan, seorang ahli di persidangan tak boleh memihak dan jika memihak kredibilitasnya diragukan dan bisa diabaikan sebagai alat bukti yang sah.
Eddy dihadirkan sebagai ahli yang meringankan terdakwa dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (15/4), untuk dua terdakwa dari kontraktor pelaksana bioremediasi, yaitu Direktur PT Sumigita Jaya Herlan bin Ompo dan Direktur PT Green Planet Indonesia Ricksy Prematuri. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sudharmawatiningsih.
Kubu penasehat hukum Herlan, Dedy Kurniadi, menanyakan bagaimana siapa saja yang berhak menjadi seorang ahli. "Siapa yang boleh menjadi ahli ini menyangkut kapasitas intelektual. Obyektivitas ahli penting, ahli harus netral, tidak boleh terlibat dalam perkara yang disidangkan, ahli juga tak boleh memberi kesimpulan bersalah atau tidak," papar Eddy.
Walaupun keterangan Eddy tak dikaitkan langsung dengan fakta kongkrit, namun pertanyaan penasehat hukum tersebut dilandasi pada kejengkelan para terdakwa terhadap ahli yang pernah dihadirkan di persidangan yaitu Edison Effendi. Edison adalah ahli yang direkrut Kejaksaan Agung di tingkat penyidikan untuk menyusun dakwaan sekaligus digunakan sebagai ahli di persidangan.
Keberadaan ahli Edison ini pernah diprotes penasehat hukum terdakwa dan ketika itu salah satu penasehat hukum Herlan, Hotma Sitompoel, memilih walk out atau keluar dari persidangan. "Dalam hal misalnya ahli melakukan uji misalnya mikrobia, tapi tak mengikuti standard yang berlaku, bagaimana menyikapinya?" tanya penasehat hukum Dedy Kurniadi. "Dia menjadi tidak shahih, invalid, sehingga tidak bisa dipertimbangkan sebagai alat bukti," jawab Eddy.
Penasehat hukum bertanya dapatkan penegakan hukum pidana itu didahulukan dibanding penegakan hukum lain, misalnya perdata? "Sejak lahirnya hukum pidana itu sudah berfungsi sebagai sarana paling akhir digunakan jika instrumen penegakan hukum lainnya tak berfungsi," jawab Eddy.
Eddy menambahkan, tidak serta merta keruguain negara itu diakibatkan oleh tindak pidana korupsi, bisa karena pidana biasa, administrasi, atau perdata. Bahkan yang karena tindak pidana pun tak bisa langsung
dikatakan karena tindak pidana korupsi.
Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung, DP Marbun, menanyakan bagaimana membedakan sebuah perkara masuk pidana atau perdata, dan bagaimana jika tak ada pencantuman sanksi ? Eddy menjawab, untuk aturan sanksi ini harus dinyatakan tegas jika terkait hukum pidana. "Kalau tak disebutka sanksi maka disebut lex imperfecta, hukum tanpa sanksi. Kalau tidak ada sanksi maka bukan pidana," kata Eddy.
Para terdakwa diseret ke Pengadilan Tipikor karena jaksa menganggap mereka melakukan bioremediasi fiktif. Para kontraktor juga dianggap tak memiliki izin pengolahan limbah dengan teknik bioremediasi.
(AMR)
Klik langsung blog amirsodikin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar