Kompas, 30 April 2013 halaman 4
Kesalahan fatal jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung yang menambahi isi pasal dalam sebuah Keputusan Menteri untuk menyeret para terdakwa pada perkara dugaan korupsi bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia akhirnya dilaporkan kepada Komisi Kejaksaan. Pelapornya awalnya adalah Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) Angkatan 1994 yang merupakan angkatan salah satu terdakwa yaitu Kukuh Kertasafari.
Kukuh adalah Koordinator Tim Environmental Issue Settlement Team Sumatera Light South Minas PT Chevron yang menjadi salah satu terdakwa kasus tersebut. Selain didakwa dengan isi pasal yang berbeda, ternyata pekerjaan Kukuh juga tak terkait dengan proses bioremediasi.
"Kami awalnya hanya Alumni ITB angkatan 1994 yang mendukung Kukuh untuk melaporkan masalah kriminalisasi kegiatan bioremediasi ini ke Komisi Kejaksaan. Tapi, malam ini sedang berlangsung rapat yang akan memutuskan semua angkatan di ITB akan mendukung Kukuh," kata Ahmad Shalahudin Zulfa, Perwakilan Ikatan Alumni ITB Komisariat Angkatan 1994, di Jakarta, Senin (29/4).
Kukuh bersama perwakilan Angkatan ITB 1994 telah menghadap ke Komisi Kejaksaan dan ditemui dengan pimpinan Komisi Kejaksaan pada Jumat pekan lalu. "Kami melaporkan jaksa yang telah teledor mengutip pasal pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 128 Tahun 2003. Kesalahan fatal ini telah membuat kegiatan bioremediasi yang sebenarnya tidak memyalahi aturan, akhirnya dibuat seolah menyalahi aturan," kata Ahmad.
Tindakan tidak profesional jaksa yang dipermasalahkan adalah landasan dakwaan berdasar Kepmen LH No 128 Tahun 2003, dikatakan jaksa konsentrasi minimal tanah tercemar (TPH/Total Petroleum Hidrocarbon) yang boleh dibioremediasi adalah +7,5 – 15% dan TPH hasil akhir bioremediasi adala kurang atau sama dengan 1 persen.
Sementara, kata Ahmad, di dalam Kepmen LH No 128 tahun 2003, ternyata tidak ada tertulis +7,5 – 15 %, tetapi yang ada adalah bahwa bioremediasi dilakukan maksimum TPH 15%, dan diturunkan hingga 1%. "Angka 7,5% tidak ada dalam Kepmen tersebut. Dengan kutipan yang salah ini, bioremediasi yang dilakukan Chevron yang memproses tanah dengan TPH 1-7,5% dianggap menyalahi aturan, padahal sebenarnya itu masih dalam rentang," kata Ahmad.
Jaksa akhirnya menganggap tindakan bioremediasi yang legal dianggap menjadi tidak legal. Sesuatu yang benar menjadi dianggap sebagai korupsi. "Bioremediasi yang dilakukan Chevron yang kemudian dananya akan ditagihkan ke negara akhirnya dianggap korupsi, seseorang yang seharusnya tudak menjadi terdakwa akhirnya bisa menjadi terdakwa," kata Ahmad.
Ahmad berkeyakinan, diseretnya para terdakwa dengan alasan yang berbeda-beda, misalnya yang kontraktor pelaksana teknis dijerat dengan perizinan, merupakan upaya kriminalisasi yang mengada-ada dan menunjukkan lemahnya dakwaan. "Persoalan ini sudah menyebar ke
berbagai mailing list alumni ITB, karena itu kami menganggapnya sudah serius," kata Ahmad.
Kasus bioremediasi Chevron menyeret 5 terdakwa, tiga orang dari Chevron dan dua orang dari kontraktor pelaksana teknis bioremediasi. Jika para terdakwa dari Chevron dijerat dengan salah satu pasal yang bunyinya berbeda dari aslinya, para terdakwa dari kontraktor dijerat dengan dakwaan perizinan yang aturannya belum ada. Saksi dari Kementerian Lingkungan Hidup ternyata menyatakan, berdasarkan peraturan pemerintah, kontraktor tak perlu mendapat izin karena izin hanya diwajibkan bagi penghasil limbah yaitu Chevron. (AMR)
Klik Blog Amir Sodikin
Saya kira yg perlu dilaporkan juga hakim yang memimpin persidangan, karna hakim juga mesti bijak menanggapi dakwaan jaksa jika keliru. Perlu juga melaporkan hakim ke Komisi Yudisial
BalasHapus