Senin, 20 Mei 2013

SKK Migas: Bioremediasi Tak Menggunakan APBN

Sidang dugaan bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia tetap berlangsung "panas". Dalam sidang dengan terdakwa Kukuh Kertasafari, perang argumentasi kerugian negara makin sengit antara penasehat hukum dengan hakim ketua.

Walaupun dalam kasus yang sama, dua kontraktor telah divonis bersalah, namun sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (20/5) tetap dipadati pendukung terdakwa. Saksi Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Johannes Widjonarko menyatakan dana untuk proyek bioremediasi bukan berasal dari APBN melainkan dana yang ditanggung oleh negara.



Pernyataan saksi tersebut memicu perang argumentasi secara terbuka antara penasehat hukum terdakwa dengan Ketua Majelis Hakim Sudharmawatiningsih. Beberapa pertanyaan penasehat hukum yang
meringankan terdakwa, akan dilanjutkan dengan pertanyaan Sudharmawatiningsih yang bisa memojokkan terdakwa.

Terdakwa Kukuh adalah Koordinator Tim Environmental Issue Settlement (EIS) Sumatera Light South (SLS) Minas, Riau, PT Chevron. Penasehat hukum terdakwa, Maqdir Ismail, menanyakan apakah pernah ada teguran dari Kementerian Lingkungan Hidup maupun dari SKK Migas terkait bioremediasi Chevron, dan dijawab belum oleh saksi Johannes.

"Apa dalam pengadaan proyek bioremediasi pernah dapat teguran?" tanya Maqdir. "Tidak, seluruh pengadaan sah dan disetujui SKK Migas," jawab Johannes.

Jawaban Johannes memicu pertanyaan baik dari Sudharmawatiningsih atas ketentuan Pedoman Tata Kerja (PTK) 007 tahun 2004 yang menjadi acuan dalam menyelenggarakan lelang. Sudharmawatiningsih mencecar saksi terkait adanya anggota panitia yang tak mengikuti pelatihan PTK 007 dan tak bersertifikat sesuai ketentuan.

"Ini transisi PTK 007, belum semua personel punya sertifikat sehingga BP Migas waktu itu menganggap sah," kata Johannes. "Apa masa transisi diatur dalam PTK 007?" tanya Sudharmawatiningsih. "Tidak, ini policy
BP Migas mengingat aturan ini yang membuat BP Migas," jawab Johannes.

Sudharmawatiningsih mempermasalahkan soal transisi yang begitu lama dan juga mempersoalkan bagaimana pengawasan SKK Migas. "PTK kan tahun 2004, kejadian 2008, kan cukup lama transisinya, sampai dengan kapan?" tanya Sudharmawatiningsih. "Itu policy dan kami menyadari keterbatasan dari sisi internal kami," jawab Johannes.

Johannes juga menjelaskan, SKK Migas melalui Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan telah membekukan (suspensi) dana sebesar 15 juta dollar AS pada 26 Desember 2012 yang merupakan dana proyek bioremediasi. Suspensi dilakukan setelah kasus bioremediasi ini diperkarakan Kejaksaan Agung.

Walaupun sering disebut di persidangan, tetap saja ada hakim yang menanyakan kenapa terjadi penangguha. Setelah dijawab karena ada masalah hukum, tetap saja ada pertanyaan masalah hukum terkait apa.
Seorang pengunjung pun dengan jengkel nyeletuk, "Ya karena kasus bioremediasi ini.

Hingga kini, kubu terdakwa memang mencurigai beberapa hakim tak memahami kontrak bagi hasil dan selalu berpegang pada kesaksian ahli bioremediasi Edison Effendi yang pernah kalah tender di Chevron dan
melaporkan kasus ini ke Kejagung. Hakim juga dianggap tak memahami  soal sistem penyelesaian yang biasa dilakukan dalam kontrak bagi hasil.

Dalan perjanjian bagi hasil, kata Johannes, akan diperhitungkan apakah kontraktor lebih ambil atau negara yang lebih ambil. "Ini disebut koreksi dan berlangsung sepanjang perjanjian. Koreksi underlifting dan
overlifting sangat sering terjadi. Kontrak kita adalah jangka panjang," katanya.

Jika ada perselisihan di tahun itu, maka penyelesaian bisa dilakukan pada tahun berjalan berikutnya karena tidak mungkin operasi dihentikan untuk menunggu perjanjian selesai. "Yang melakukan koreksi kedua belah
pihak atas hasil audit oleh BP Migas, BPKP, BPK, dan Dirjen Pajak secara rutin," kata Johannes.

Dalam biaya operasional, semua beban ditanggung pihak Chevron. "Dari negara sama sekali tidak ada," kata Johannes.

Pembagian hasil dilakukan bukan dalam bentuk uang melainkan dalam bentuk minyak. Skema bagi hasil adalah 90:10 setelah pajak, 90 persen untuk negara dan 10 persen untuk Chevron. "Minyak untuk negara akan diterima di titik serah yang disepakati. Chevron akan dapat bagiannya di titik serah di lokasi milik Chevron," kata Johannes.

Johannes menjelaskan, tidak hanya Chevron yang pernah mengalami suspensi. Banyak kontraktor kerjasama lainnya juga pernah mengalami hal yang sama dan perselisihan yang ada sudah lazim diselesaikan
dengan mekanisme kontrak kerjasama. Namun, baru pada kasus Chevron yang dibawa ke ranah pidana korupsi.

"Apa tahu Chevron menggunakan APBN?" tanya penasehat hukum terdakwa Tarwo Hadi. "Tidak, semua milik chevron sendiri," kata Johannes.

Hakim Ketua Sudharmawatiningsih kemudian mencecar Johannes dengan pertanyaan soal penerimaan minyak sebagai penerimaan negara dari nonpajak. "Setau Saudara, apa ini masuk APBN?" tanya
Sudharmawatiningsih. "Setelah diperhitungkan hak dan kewajiban para piyak, iya," jawab Johannes. (AMR)

Klik endonesia.net

1 komentar:

  1. Jaksa-Hakim jika mempermainkan keadilan pasti menggunakan modus penafsiran-pertimbangan Hukum sesat, itu sebabnya anda akan merasa Jijik membaca Dakwaan maupun putusan, saat ini mereka memang sedang berpesta pora mempermainkan Keadilan demi kepentingan & pencitraan, saran saya :
    1. upayakan tidak banding-kasasi
    2. Kalaupun harus banding-kasasi tidak usah lagi menggunakan Pengacara, mubazir hanya buang2 Dana.
    3. Ajukan PK saat Pemerintahan baru saja.
    Sabarlah.. Tuhan tidak Mungkin tutup mata melihat keadilannya dipermainkan Jaksa-Hakim sesat, atau Mungkin juga Tuhan sedang menghukum pihak terzolimi atas perbuatan mereka yang lain..
    Berbagi pengalaman : 02195302078

    BalasHapus