Rabu, 22 Mei 2013

Bioremediasi Chevron: Kenapa Mereka Perlu dibela?

Oleh : Martin Adhy

Malang benar nasib Kukuh, Rumbi, Widodo, Bahtiar, Herland, dan Ricksy . . . bisa jadi karena “label” Chevron menempel di mereka, keadilan sepertinya enggan mendekat . . . demikian pula sebagian element masyarakat enggan melirik kasus ini karena salah kaprah dalam membedakan insan manusia biasa yang sedang mencari keadilan dan label korporasi tempat mereka bekerja. Lebih parah lagi sebagian golongan yang menunggangi issue ini untuk semakin menyudutkan dan menutup mata atas ketidak adilan yang menimpa para pekerja professional tersebut. Dengan maksud menyerang korporasi asing (dalam hal ini Chevron), tapi tidak memperdulikan rekan sebangsa yang tengah duduk di kursi pesakitan yang terancam masuk penjara untuk dasar dakwaan yang sesat. Justru para professional yang menaati hukum lingkungan direngut kebebasannya dan para koruptor sejati bebas berfoya-foya dan tak tersentuh.
Seperti yang kita ketahui, kelima orang tersebut, saat ini duduk sebagai tersangka/ terdakwa pengadilan Tipikor Jakarta untuk sangkaan kasus korupsi di kasus bioremediasi. Dua orang dari kontraktor Chevron sudah divonis bersalah, sedangkan untuk pegawai Chevron proses persidangan masih berlangsung. Suatu kasus yang penuh kontroversi karena penuh kejanggalan-kejanggalan yang terang benderang dan sangat kontras terlihat kriminalisasinya. Untuk jelasnya bisa dilihat di tautan berikut kasus bioremediasi chevron

Mengapa penulis berpikir dengan label Chevron melekat di mereka justru keadilan enggan mendekat bagi mereka? Penulis menilai ini merupakan buah dari kurangnya edukasi bagi penegak hukum dan masyarakat sebagai pengawas tentang regulasi pelaksanaan pengelolaan migas di Indonesia, ditambah lagi kampanye-kampanye bermuatan politis begitu kencangnya menyudutkan pengelolaan migas oleh kontraktor asing, tanpa menampilkan fakta yang berimbang. Terlebih di era reformasi saat ini, isu nasionalisme menjadi begitu bergairah dibicarakan, dan segala sesuatu yang berbau kerja sama dengan asing atau globalisasi sepertinya haram atau tidak populis untuk dibicarakan. Sangat disayangkan justru nasionalisme dalam arti sempit yang lebih radikal penyebaran pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat.

Perusahaan minyak (terlebih perusahaan asing) mempunyai citra semu yang buruk di tengah-tengah masyarakat, karena sangat sering diasosiasikan sebagai perampok kekayaan alam, ketidak adilan pemanfaatan kekayaan alam, ditambah lagi fasilitas (gaji dan benefit lainnya) yang diterima para karyawannya jauh di atas rata-rata pendapatan masyarakat umum. Kecemburuan sosial terjadi dan perlahan tapi pasti terbentuk jurang pemisah. Bahkan ada artikel di Kompasiana yang begitu teganya mengasosiasikan karyawan Kontraktor Migas layaknya bekerja pada VOC alias penjajah di negeri sendiri. Ditambah lagi sudut pandang yang mengasosiasikan buruknya kualitas pembangunan di daerah penghasil migas adalah karena kontribusi perusahaan yang kurang. Padahal fakta yang ada justru karena korupsi yang bombastis terjadi dari level pusat sampai daerah, menyebabkan manfaat setoran pajak dan hasil produksi tinggal tetes-tetesnya saja sampai di lokasi produksi minyak itu sendiri.

Selain itu, minimnya sosialisasi dan pengetahuan tersebut juga berimplikasi kepada ketidak pastian hukum bagi investor asing. Jika kita melirik kembali kasus bioremediasi, sangat jelas terlihat gagapnya majelis dan penyidik dalam pemahaman prinsip kelola migas dan aturan-aturan hukum yang terkandung didalamnya . Fakta-fakta tersebut sudah saya uraikan di artikel lain.

Melihat hal ini, penulis hendak memberikan perspektif baru bagi warga kompasiana khususnya dan warga Negara Indonesia umumnya, agar bisa mengambil sikap yang lebih tepat dan bijaksana dalam menyikapi persoalan pengelolaan migas di tanah air. Terutama jika melihat persoalan hukum yang terkait dengan Industri Migas di Indonesia. Hendaklah tulisan ini disikapi sebagai refleksi seluruh pihak, termasuk pemerintah, kontraktor Migas asing, dan seluruh elemen masyarakat.

Apa benar perusahaan migas asing itu “merampok kekayaan alam kita” ?

Sering kita mendengar atau menonton para pengamat ekonomi dan politik (dengan berbagai motif) di berbagai forum begitu lantangnya mengkritik sistem kelola migas Indonesia. Inti dari pesan yang mereka sampaikan adalah, seolah-olah Negara selalu rugi dan asing pasti untung, ditambah lagi embel-embel ongkos cost recovery yang naik dan lifting migas yang turun. Tak bisa disalahkan pola pikir tersebut jika memang yang bersangkutan tidak memahami situasi dan kondisi kerja pengelolaan lapangan Migas. Kritik tentu diperlukan agar bisa ditemukan formula yang lebih optimum lagi untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Tetapi kesengajaan untuk menyembunyikan fakta tentang madu atau manfaat yang telah Negara kecap, juga merupakan suatu tindakan yang tidak bisa dipuji. Apalagi kalau ditunggangi motif-motif politik untuk kepentingan golongannya.

Penjelasan tentang cost recovery yang semakin naik dan lifting yang turun juga mudah untuk dijelaskan. Dimanapun di dunia ini terjadi inflasi dan kenaikan harga barang, yang secara langsung berakibat naiknya ongkos operasi pengelolaan Migas. Contohnya adalah kenaikan harga besi baja sangat berpengaruh karena proyek-proyek penunjang operasi Migas sangat berkaitan erat dengan komponen tersebut. Hal pertama sudah terjawab, lalu kenapa lifting terus turun? Bagi yang mengerti teknologi migas akan sangat paham akan hal ini. Penurunan itu merupakan sifat alami dari reservoir migas itu sendiri, analogi gampangnya jika kita isi balon dengan air, lalu kita keluarkan airnya, lama2 tekanan di dalam balon berkurang yang berakibat air yang keluar dari balon semakin sedikit. Istilah kerennya adalah natural declining dan belum pernah penulis mengetahui ada fenomena sebaliknya yaitu natural inclining.

Faktor-faktor lain penurunan lifting juga disebabkan penurunan effiensi peralatan produksi, kerusakan formasi, dan kondisi cuaca (musim hujan mengurangi kelancaran fluida untuk mengalir). Suatu alasan yang logis. Namun bukan berarti usaha-usaha untuk menaikkan lifting migas tidak bisa dilakukan. Lapangan minyak Duri misalnya, awal tahun 80an lapangan tersebut sudah hampir ditutup, karena produksi minyaknya sudah sangat sedikit dan tidak ekonomis lagi.

Namun PT Caltex Pacific Indonesia (saat ini bernama PT Chevron Pacific Indonesia), memperkenalkan teknologi injeksi uap di lapangan minyak Duri, yang meningkatkan kembali secara signifikan produksi minyak Duri. Bahkan lapangan minyak uap Duri merupakan salah satu lapangan minyak dengan injeksi uap (steam flood) yang terbesar di Dunia. Manfaat dari teknologi ini juga merupakan salah satu faktor yang mendukung berputarnya roda pembangunan Indonesia pada jaman orde baru.

Penurunan menaikkan lifting migas selain menggunakan teknologi baru juga bisa dilakukan dengan meningkatkan aktivitas pengeboran di lapangan-lapangan yang sudah terbukti ada cadangan minyaknya. Namun sekali lagi, penurunan lifting Migas oleh beberapa pengkritik disebabkan kurang efisiennya kontraktor Migas, para pengamat tersebut menegasikan faktor “X” yang justru merupakan faktor utama lambannya penambahan cadangan, yakni hilangnya wibawa Negara di tengah-tengah masyarakat dan tumpang tindih hukum. Di era reformasi saat ini persoalan menjadi lebih kompleks, karena di alam demokrasi ini semua pihak mempunyai kesempatan untuk berekspresi, bahkan untuk kepentingan yang sesat. Contoh gampangnya adalah para kontraktor migas dibiarkan head to head untuk bertarung dengan masyarakat mengenai penyelesaian issue penyerobotan dan pembebasan lahan. Reformasi yang kebablasan ini justru memunculkan raja-raja kecil di daerah yang justru tidak mendukung tercapainya kemakmuran bagi masyarakat banyak. Lalu siapa yang bisa disalahkan?

Apa benar Negara banyak dirugikan dengan sistem kelola Migas saat ini?

Untuk mengukur hal ini, tidak adil rasanya jika kita hanya mempercayai pendapat para pengamat yang tidak berbicara lewat fakta. Berdasarkan informasi dari Wood Mackenzie, khususnya di wilayah Asia Indonesia termasuk 2 besar Negara yang paling banyak mengambil manfaat dari hasil produksi Migas. Untuk ranking dunia, Indonesia masuk 5 besar. Dengan demikian sistem tata kelola Migas di Indonesia dalam ketidak sempurnaannya, sudah nasionalis karena Negara menikmati untung yang cukup besar. Bahkan mengungguli China yang menganut paham komunis. Dengan rata-rata 86% porsi untuk pemerintah, Indonesia jauh mengungguli rata-rata 56% porsi bagi hasil di Negara-negara lain di dunia. Lalu ada suara sumbang yang membandingkan Malaysia dan Indonesia. Menurut penulis, perbandingan Malaysia dan Indonesia tidak apple to apple. Mengapa begitu? Data di tahun 2012, cadangan migas Indonesia 3.8 milliar barel dan Malaysia 5.3 milliar barel. Padahal di tahun 70an, cadangan minyak Indonesia mencapai 10 milliar barel dan Malaysia hanya 1-2 milliar barel. Belum lagi jika menambahkan faktor jumlah penduduk Indonesia yang jauh lebih banyak dari pada Malaysia, yang artinya semakin sedikit porsi yang bisa dirasakan perjumlah penduduk.

Pesan yang ingin penulis sampaikan adalah, justru pemerintah harus menciptakan suasana investasi yang nyaman agar bisa menikmati manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jika sistem kelola migas ini terus menerus menjadi komoditas politik, maka tujuan utama pemanfaatan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat justru malah tidak maksimal. Terlebih lagi kepastian hukum yang sangat lemah di negeri yang kita cintai ini. Point terakhir ini sangat terkait dengan kasus bioremediasi yang menjadi inspirasi penulis untuk membuat tulisan ini.

Apa Benar Karyawan Perusahaan Asing =Pro Asing dan tidak nasionalis?

Hal yang sangat disayangkan jika masih ada yang berpendapat jika saya bekerja untuk perusahaan asing, maka saya tidak nasionalis dan membela kepentingan asing. Hal ini sangat menyesatkan. Tanpa banyak berargumen, mari kita berbicara fakta melalui contoh kasus Chevron di Indonesia. Jumlah pegawai Chevron di Indonesia adalah 6,400 orang dimana 97% di antaranya adalah karyawan nasional. Itu belum termasuk 30,000 karyawan mitra kerja. Sejumlah 1000an orang Indonesia telah mengikuti penugasan karir di luar negeri untuk pengembangan dirinya. Dengan fakta ini, terlalu tendensius jika kita berpikir 97% orang tersebut tidak nasionalis dan tidak berpihak Negara. Walaupun Chevron adalah perusahaan asing, namun diisi mayoritas oleh Bangsa Indonesia sendiri. Bahkan tidak terhitung jumlahnya anak bangsa yang menjadi pimpinan tinggi di perusahaan ini.

Dalam ketidaksempurnaannya, saya berani jamin, para pembaca yang pernah bekerja di dalam lingkungan perusahaan sebesar Chevron pasti merasakan suasana kerja yang disiplin, berintegritas, dan yang paling penting transparan dan bersih. Saya tidak mendewa-dewakan Chevron,hanya berbicara fakta yang ada. Bahkan jika anda berkesempatan masuk ke dalam Camp Chevron di Riau, anda akan merasakan suasana disiplin berlalu lintas yang sangat kontras dengan yang kita lihat di luar pagar Chevron. Kita harus mengakui pasti ada sesuatu nilai-nilai yang luhur dan baik yang menjadi landasan bertindak para karyawannya. Hal-hal yang harus dicontoh oleh bangsa Indonesia sendiri. Belum lagi kalau kita tambahkan penghargaan perusahaan yang luar biasa terhadap nyawa manusia, melalui kampanye safetynya yang begitu gencar dan penerapan konsekuensi yang tegas untuk setiap pelanggaran.

Penutup

Pada tulisan ini saya bermaksud memperbaiki konstruksi berpikir untuk menyikapi kasus bioremediasi yang kurang populer di tengah-tengah masyarakat. Seperti di awal tulisan, keadilan yang sedang dicari oleh Kukuh, Rumbi, Bahtiar, Widodo, Ricksy, dan Herlan, alangkah baiknya jangan dicampur adukkan dengan kebencian kita terhadap institusi asing tempat mereka bekerja. Apalagi kebencian tersebut diakibatkan sesuatu yang kurang berdasar dan ditambah bumbu teori konspirasi yang tidak jelas juntrungannya.

Keadilan itu harus diperjuangkan. Para terdakwa ini telah direngut kebebasannya atas dakwaan yang sesat. Mereka adalah anak bangsa, mereka adalah professional yang berintegritas, mereka telah mengerjakan tugas mereka sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun karena pemahaman konstruksi hukum migas yang fatal, mereka menjadi korban ketidak adilan. Adalah sangat tidak adil, jika anak bangsa yang penuh talenta dan potensi untuk membangun bangsa, dijadikan tumbal untuk kepentingan-kepentingan yang sesat. Belum lagi jika kita memperhitungkan kontribusi mereka selama ini untuk kemajuan industri Migas yang secara langsung bermanfaat untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Tahukah pembaca, bahwa 40% produksi minyak Indonesia berasal dari Chevron tempat mereka ini bekerja.

Suka tidak suka, kita harus mau menerima Kontraktor Migas Asing sebagai MITRA Negara untuk membangun Indonesia. Maukah kita menjadi Bangsa yang terkutuk, yang membiarkan sekian banyak orang yang tak bersalah masuk penjara dan membiarkan mafia hukum dan koruptor jahanam justru kita berikan tempat sebagai penguasa dan penegak hukum? Mari kita berjuang bersama untuk mendapatkan keadilan yang sangat langka di negeri ini. Para terdakwa PANTAS diBELA at ALL COST …

Note

Segala tulisan di atas tidak bermaksud membela kepentingan Chevron, tulisan ini dibuat semata-mata untuk mendukung pencarian keadilan oleh karyawan Chevron dan mitra kerjanya yang didakwa dengan dakwaan yang tidak berdasar.

Klik Kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar