Senin, 06 Mei 2013

Alumni UI, ITB, dan IPB : Tegakkan Hukum atas dasar Keadilan, Bebaskan Terdakwa yang Tidak Bersalah

Pengurus Iluni UI, IA ITB dan IA IPB dalam pernyataan bersama di Jakarta (6/5)
Pada era reformasi ini, Indonesia menghadapi banyak masalah besar tentang korupsi. Sebegitu besarnya masalah tersebut, sehingga kemudian dibentuklah persidangan khusus tindak pidana korupsi. Namun mencermati beberapa kasus belakangan ini, kami khawatir bahwa isu korupsi dapat dibelokkan. Tuduhan korupsi dapat dengan mudah dilemparkan kepada seseorang, dan orang tersebut harus dengan usaha keras membuktikan bahwa dirinya tidak korupsi.


Dalam kasus bioremediasi Chevron, telah dijadikan terdakwa adalah saudara Kukuh Kertasafari (Alumni ITB), Ricksy Prematuri (Alumni IPB), Endah Rumbiyanti (Alumni UI), Widodo dan Herlan. Ikatan Alumni ITB telah melakukan pendampingan kepada Kukuh sejak dia mengalami penahanan awal oleh Kejaksaan. Dari awal kami melihat betapa tuduhan yang dilemparkan kepada Kukuh sangat sumir, karena saudara Kukuh bertugas di bidang produksi. Dia tidak terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan ataupun tender pemilihan vendor pelaksana bioremediasi. Dengan mencermati posisinya saja, dengan mudah bisa kita simpulkan bahwa terlalu jauh seseorang yang tidak punya kewenangan dalam urusan bioremediasi menjadi tersangka korupsi bioremediasi.

ILUNI UI juga memonitor kasus Rumbi sejak awal. Dari pemeriksaan ILUNI UI, Rumbi baru diangkat menjadi Manager Lingkungan di Chevron pada Juni 2011. Sebelum itu, Rumbi ditugaskan di Amerika. Dengan dakwaan jaksa bahwa peristiwa korupsi dilakukan pada tahun 2006 hingga Februari 2012 menjadi tanda tanya b

esar, bagaimana seorang karyawan yang tidak memiliki kewenangan besar bisa melakukan korupsi di Indonesia dengan posisinya di Amerika? Dia tidak mengikuti proses tender. Tanpa memerlukan persidangan yang berbiaya besar pun, seharusnya jaksa dari awal mampu melihat ketidakmungkinan korupsi terjadi di sini.

Sedangkan untuk Ricksy Prematuri, sejak awal penyidikan hingga proses persidangan, Alumni IPB juga telah memantau bahwa dia adalah vendor yang mengikuti tender sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Tuduhan bahwa proyek bioremediasi fiktif adalah tuduhan yang sumir atau mengada-ada. Ricksy benar telah melakukan pekerjaan-pekerjaan di lapangan, baik secara teknis maupun administrasi, hal ini terbukti terang benderang dalam fakta-fakta selama persidangan dan dapat dengan mudah dicek pada dokumentasi yang ada.

Jika hal itu dianggap sebagai suatu pekerjaan yang seharusnya tidak perlu, kami mencermati bahwa tuduhan itu berdasarkan penilaian dari saksi ahli kejaksaan yang justru integritas pribadinya sangat dipertanyakan. Selain integritas pribadi dipertanyakan, secara teknis pun apa yang disampaikan oleh pihak yang mengaku ahli tersebut ternyata melanggar kaidah-kaidah ilmiah, sehingga hasilnya pun tidak valid. Padahal JPU mendasarkan dakwaan dan tuntutannya terhadap Ricksy pada kesaksian orang yang mengaku ahli yang sangat diragukan dan tidak dikenal di kalangan ahli bioremediasi, juga berdasarkan alat bukti berupa sampel tanah yang diambil oleh orang yang mengaku ahli tersebut dengan metode yang salah, teknik pengambilan yang salah, lokasi pengambilan yang salah, waktu tunggu (holding time) sampel melebihi waktu yang dipersyaratkan (hingga 60 hari, padahal seharusnya maksimal 14 hari), dan diuji dilaboratorium dadakan di Kejaksaan Agung yang tidak terakreditasi, serta dilaksanakan oleh orang yang sama yang mengaku ahli bioremediasi tersebut (padahal seharusnya dilakukan oleh orang yang kompeten menguji sampel tanah terkontaminasi minyak bumi).

Alumni IPB sangat menyesalkan bahwa Ricksy tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk melakukan pembelaan, sehingga dapat membuktikan di persidangan bahwa dia telah bekerja dengan benar, bahwa dia bukanlah bekerja fiktif. Bahwa Ricksy dituduh karena perusahaannya tidak memiliki izin pengolahan limbah B3, dalam persidangan saksi dari Kementerian LH pun telah menyatakan bahwa izin itu diberikan kepada Chevron, dan tidak masalah Chevron menunjuk pihak lain menjalankan tugasnya.

Juga dalam persyaratan tender pun hal itu tidak ada, sehingga saudara Ricksy tidak mengakali proses tender. Jaksa seharusnya memperkarakan Chevron dan Kementerian LH terlebih dahulu, sebelum memperkarakan Ricksy, karena Ricksy bekerja hanya atas dasar perintah dari Chevron dan dikontrol oleh Kementerian LH. Adalah suatu loncatan logika, ketika pihak yang bertanggung jawab belum dinyatakan bersalah, tapi pihak lain dianggap bersalah atas kebijakan yang tidak dia buat. Akan menjadi berbeda misalnya jika jaksa bisa menunjukkan bahwa saudara Ricksy berkolusi mengatur persyaratan tender. Tapi jaksa tak sedikitpun menyinggung hal ini, yang artinya bahwa Ricksy telah mengikuti tender dengan benar.

Dengan mencermati perkembangan ini, kami Ikatan Alumni ITB, Iluni UI, dan Alumni IPB berharap agar pengadilan dapat berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir. Pengadilan bukanlah tempat menghukum seseorang, tetapi tempat untuk mendapatkan keadilan. Dengan carut-marutnya situasi saat ini, kami mendorong hakim untuk berani mengambil keputusan berdasarkan kebenaran hakiki, bukan sekadar formalitas pengadilan. Kami mendorong agar Hakim berani memutus bebas, ketika seseorang benar-benar tidak bersalah.

Kami akan terus memantau perkembangan yang dialami oleh alumni kami. Berbagai cara konstitusional akan kami lakukan agar kebenaran dapat ditegakkan. Saat ini masalah menimpa alumni kami. Kami harap ini tidak akan terulang lagi, baik untuk alumni kami maupun alumni-alumni yang lain dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Tegakkan Keadilan!

Jakarta, 6 Mei 2013
Tertanda,

Chandra Motik
Ketua Umum ILUNI UI

Sawalludin Lubis
Ketua Umum IA ITB

Said Didu
Ketua Umum Keluarga Alumni IPB

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar