Rabu, 15 Mei 2013

Vonis Chevron dan Ketidakpastian Hukum Indonesia

"Gaji jaksa berasal dari kita. Dikriminalisasi seperti ini Chevron (harusnya) marah. Chevron lakukanlah biar negara tahu diri. Demi Allah, saya haram seperak pun korupsi," begitu Herlan bin Ompo meluapkan emosinya usai divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (8/5).

"Chevron pegang 40 persen produksi minyak di Indonesia. Berfikir logislah jangan semena-mena. Sampai ujung dunia pun saya akan banding. Saya akan melawan," lanjut Herlan.

Emosi yang sama juga diluapkan usai pledoi maupun tuntutan. "Hanya karena seorang Edison Effendi, yang kalah tender, didengar omongannya oleh Kejaksaan Agung, saya jadi begini menderita," kata Herlan.

Kemarahan itu ia sampaikan di luar persidangan sambil mendekap ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Anak-anak Herlan berlinangan air mata, didampingi ibunya, Sumiati.

"Nih koruptor nih. Tapi beli mobil pakai duit sendiri, bukan pake gaji dari meras orang. Jujur ya, tanya itu jaksa gajinya berapa, mobilnya berapa? Jangan maling teriak maling," teriak Herlan.

Kontraktor pekerjaan bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, Herlan bin Ompo, divonis pidana penjara enam tahun dan denda Rp 250 juta. Perusahaannya, PT Sumigita Jaya (SGJ), diwajibkan membayar pengganti kerugian 6,9 juta dollar AS.

Sebelumnya, Ricksy Prematuri, Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI), divonis penjara 5 tahun, denda Rp 200 juta. GPI diwajibkan membayar uang pengganti 3,089 juta dollar AS.

Beberapa jam setelah vonis, berbagai media merilis pemberitaan soal kekhawatiran iklim investasi akibat ketidakpastian hukum Indonesia.

Kasus ini Memang Kontroversial
Pihak terlibat kontrak bagi hasil yaitu Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan tak ada kerugian negara. Kontrak bagi hasil masih berlangsung hingga 2021 dan ada penyelesaian tersendiri jika terjadi perselisihan.

Dalam kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC), ternyata ada kelebihan bayar kepada pemerintah sehingga pemerintah harus mengembalikan 24 juta dollar AS kepada Chevron. Namun karena ada kasus bioremediasi, pemerintah hanya mengembalikan 14 juta dollar AS.

Sisanya, 9,9 juta dollar AS itu ditahan (suspend) sebagai proses normal jika ada perselisihan. Mekanisme itu disebut overlifting.

"Fakta soal over lifting dan suspend ini ditutupi JPU. Negara tak pernah dirugikan, uang yang dikeluarkan untuk bioremediasi adalah uang Chevron sendiri," kata Herlan

Sementara, Kementerian Lingkungan Hidup yang berkepentingan dengan pekerjaan pemulihan lahan, juga menyatakan tak ada pelanggaran dilakukan.

Sepi pemberitaan 
Pelopor bioremediasi yang kemudian memicu KLH menelurkan Keputusan Menteri LH No 128 Tahun 2003 terkait bioremediasi, ternyata Chevron. Maka, ketika Chevron diseret ke pengadilan dengan Kepmen itu, pastinya bakal seru.

Kenyataannya, di Pengadilan Tipikor Jakarta, kasus Chevron sedikit diminati awak media. Usut punya usut, alasannya menggelikan, yaitu karena ditangani Kejaksaan Agung.

Berbeda dengan kasus-kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi yang selalu jelas hitam-putihnya, kasus yang ditangani Kejagung sejak awal mendapat stigma negatif.

Di sidang pertama pembacaan dakwaan, kejaksaan tak mau memberikan salinannya kepada awak media, sesuatu yang biasanya justru diobral pihak jaksa KPK untuk transparansi dan sosialisasi dakwaannya akurat.
Akhirnya, sidang Chevron sepi seperti kasus kejaksaan lainnya.

Bintang pada sidang-sidang Chevron adalah Edison Effendi, ahli bioremediasi yang diragukan kredibilitasnya dari kubu Chevron. Laporan bioremediasi fiktif berasal dari Edison, orang yang pernah kalah tender di Chevron.

Edison pula yang menjadi ahli ketika kejaksaan menganalisa sampel tanah tercemar, kemudian menjadi saksi fakta, dan terakhir dijadikan ahli bioremediasi di persidangan.

Parahnya, pasal yang dikutip dalam dakwaan dipermasalahkan terdakawa Kukuh Kertasafari, pegawai Chevron. Kukuh melaporkan keteledoran jaksa ke Komisi Kejaksaan yang salah mengutip pasal sehingga dirinya bisa terseret kasus itu.

Dikatakan jaksa, konsentrasi minimal tanah tercemar (TPH/Total Petroleum Hidrocarbon) yang boleh dibioremediasi +7,5 – 15%. Sementara, di Kepmen 128, hanya disebutkan rentang TPH maksimal 15%.

Kasus sederhana
Kasus ini sebenarnya sederhana. Herlan dan Ricksy mendaftar menjadi kontraktor pekerjaan teknis (misalnya pengangkutan tanah, pengadukan, pemupukan) dalam proyek bioremediasi Chevron. Kontraktor bekerja berdasar prosedur Chevron.

Seharusnya, jika ada persoalan, kata Herlan dalam pembelaannya, yang berperkara adalah Chevron dengan pemerintah Indonesia. "Ini ibaratnya saya penumpang taksi, saya ditilang polisi karena sopir taksi
melanggar lalu lintas," kata Herlan.

Corporate Communication Manager Chevron, Doni Indrawan ketika mendengarkan vonis dengan geram juga menyatakan alasan yang dibangun majelis hakim itu seharusnya untuk Chevron, bukan untuk kontraktor
Chevron.

"Sebagai kontraktor pekerjaan teknis, berdasarkan peraturan pemerintah, kontraktor tak harus mengurus izin sendiri karena kewajiban mengurus izin ada pada Chevron sebagai pemilik limbah," kata Doni.

Teknik sampling tim Edison untuk dijadikan bukti juga dipertanyakan. Namun, teknik itu sulit diverifikasi di persidangan karena yang dihadirkan sebagai ahli bioremediasi adalah Edison sendiri.

Setiap pertanyaan kubu terdakwa, selalu dimentahkan Edison atau tak dijawab sama sekali. Ricksy menyatakan, pengambilan sampel untuk kasusnya salah tempat karena lokasinya berjarak dua jam perjalanan dari lokasi semestinya.

Edison di persidangan sudah memastikan bahwa sah-sah saja jika sampel tanah tercemar diambil di Rasuna Said Jakarta untuk mewakili sampel di Riau. Jawaban ini jadi bahan olok-olokan hingga kini.

Keganjilan lain, pekerjaan uji sampel itu ternyata hanya dikerjakan di laboratorium dadakan di Kejagung. Soal keganjilan ini juga disampaikan hakim anggota Sofialdi, yang mengajukan dissenting opinion (beda pendapat) dalam vonis.

Menurut Sofialdi, adalah fakta bahwa Edison adalah wakil perusahaan yang kalah tender tahun 2007 dan 2011 pada proyek bioremediasi Chevron. Sehingga ada konflik kepentingan pada keterangan Edison dan
keterangan seperti itu harus diabaikan.

Peristiwa menggelikan lain, seorang hakim anggota dengan penuh percaya diri pernah mencerca teknik pengolahan limbah dengan mengaduk-aduk tanah tercemar. Padahal, aduk mengaduk ini bagian umum proses bioremediasi.

Bagi hakim, tampak sulit menerima teori bahwa pelaku pekerjaan bioremediasi itu sebenarnya bukan siapa-siapa melainkan sang mikroorganisme. Lebih sulit dipahami, ternyata mikroorganisme bisa saja berasal dari lokasi tanah tercemar yang distimulus agar aktif mendegradasi kandungan minyak.

Atas banyaknya keganjilan itu, tiga perguruan tinggi, tempat tiga orang terdakwa (dari total lima orang terdakwa), mengerahkan para alumninya untuk memberi dukungan. Mereka adalah ikatan alumni dari
Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Pertanian Bogor.

Menguras emosi Kasus ini juga mengurai banyak air mata. Banyak kegembiraan yang disiapkan para pendukung terdakwa, namun akhirnya berakhir dengan kehampaan karena logika mereka tidak sejalan dengan jaksa dan hakim.

Pendukung terdakwa mulai berbondong-bondong penuh keyakinan mendampingi terdakwa ketika terdakwa akan dituntut jaksa. Namun, kejaksaan ternyata lebih percaya diri dengan menuntut Ricksy pidana
penjara 12 tahun dan Herlan 15 tahun.

Herlan marah kepada jaksa dengan tuntutan tak logis itu. Jaksa ia anggap telah memfitnah dirinya sehingga keluarganya menderita. Istri Herlan pingsan mendengarkan tuntutan itu. Emosi Herlan terbakar.

Herlan menggendong istrinya keluar ruangan sidang. Sebelum menjangkau pintu keluar, Herlan berbalik ke arah jaksa yang masih berada di meja sidang.

Penuh emosi tertahan, Herlan menatap para jaksa. "Saksikan ini semua, biar puas kalian. Ini koruptor, biar puas kalian. Hai jaksa dengerin," teriak Herlan.

Usai pembacaan tuntutan Ricksy, drama yang menyesakkan juga terjadi. Masih di ruangan sidang, seorang bocah remaja menghampiri jaksa di meja sidang. "Kamu punya anak enggak?" begitu tanyanya.

Belum sempat direspons jaksa, petugas kepolisian sudah mengusir bocah tadi. Tanpa disadari banyak pihak, bocah tadi diduga putra dari Ricksy.

Selain putra Ricksy, ada tiga orang putra dan putri Herlan. Mereka sempat bertemu dalam aksi solidaritas di luar sidang pascapembacaan pledoi. Isak tangis tak tertahankan dalam aksi yang dihadiri oleh Hotasi Nababan.

Hotasi pernah diseret sebagai terdakwa dalam kasus sewa pesawat Merpati Nusantara Airlines namun akhirnya divonis bebas. "Vonis bebas bukanlah hal mustahil, kita berharap mereka juga divonis bebas seperti
saya," kata Hotasi.

Namun, kali ini Rikcsy dan Herlan, juga kemungkinan tiga terdakwa lainnya, tak bernasib sama dengan Hotasi. Entah karena hakimnya, entah karena sebab lainnya. Vonis ini telah meningkatkan ketidakpastian
hukum di Indonesia.

"Chevron meminta kepastian dan jaminan pemerintah Indonesia tentang kepastian hukum pelaksanaan mekanisme PSC migas dalam penyelesaian sengketa proyek-proyek yang telah jelas diatur di dalamnya yang
mengikat secara hukum bagi pemerintah Indonesia," kata Doni. (Amir Sodikin)

Klik Endonesia.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar