Selasa, 14 Mei 2013

Hakim Kasus Chevron Diadukan ke KY

Keluarga terdakwa kasus dugaan korupsi proyek fiktif bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) mendatangi KY. Mereka adalah istri terdakwa Ricksy Prematuri, Ratna Irdiastuti dan terdakwa Herland bin Ompo, Sumiarti. Ricksy dan Herland masing-masing adalah Direktur PT Green Planet Indonesia dan Direktur PT Sumigita Jaya (PT SJ), rekanan Chevron.
Kedua istri terdakwa itu didampingi kuasanya, Nur Ridhowati yang melaporkan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang mengadili kasus itu. Mereka menilai ada sejumlah kejanggalan selama proses persidangan hingga putusan bagi kedua terdakwa itu.

“Ada beberapa hal yang kami nilai janggal dari majelis hakim selama persidangan berlangsung sampa keduanya divonis bersalah,” kata Nur Ridhowati di Gedung KY, Selasa (14/5).

Nur mengungkapkan majelis hakim telah bertindak diskriminatif karena Ricksy dan Herlan ditahan sebagai tahanan titipan Kejaksaan. Sedangkan empat terdakwa lainnya yang berasal dari PT CPI, tidak ditahan. “Bahkan, kami berkali-kali minta penangguhan penahanan tapi tidak dikabulkan,” kata Nur.

Selain itu, pemberian tenggat waktu dari majelis hakim bagi kuasa hukum terdakwa Ricksy dan Herlan untuk menghadirkan saksi-saksi sangat pendek, kurang lebih satu minggu. Sementara waktu yang diberikan kepada jaksa penuntut umum (JPU) untuk menghadirkan saksi mencapai sekitar 4 bulan. Akibatnya, kata Nur, dari 24 saksi yang disiapkan tim kuasa hukum, hanya 9 saksi yang bisa dihadirkan.

“Karena waktu yang diberikan sangat mepet, permintaan tim kuasa hukum mengajukan saksi ahli bioremediasi dari Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), Prof Udiarto ditolak majelis hakim yang diketuai Sudharmawatiningsih. Jadi saksi atau ahli dari kami banyak yang tidak bisa diakomodir,” sesalnya.

Majelis hakim juga terkesan memihak saat menjatuhkan putusan. Sebab, pertimbangan yang dipakai majelis hakim lebih banyak mendengarkan keterangan dari ahli bernama Edison Effendi.

“Edison sebenarnya kontraktor peserta tender di Chevron yang sering kalah. Walaupun tendernya sering kalah, keterangan dia dipakai dalam pertimbangan tuntutan dan putusan, BPKP untuk menghitung kerugian negara,” ungkap Nur.

Tim kuasa hukum juga sudah meminta kepada majelis untuk meninjau lapangan di Riau karena kasus bioremedasi ini terkait teknologi yang sangat rumit. Namun, permintaan itu diabaikan majelis hakim. Apalagi jika dilihat kasus bioremedasi pada dasarnya bukan kategori delik korupsi.

“Terlebih, ada dissenting opinion dari salah satu majelis (Sofialdi) memutus bebas murni. Kami merasa putusan itu dibuat dengan semena-mena. Kami melihat ada kepentingan lain dalam putusan itu,” katanya menduga.

Laporan pengaduan ini diterima langsung oleh Ketua KY Eman Suparman. Dia berjanji akan memprioritaskan pengaduan kasus ini. “Nanti akan kami periksa dan telaah,” kata Eman.

Lebih lanjut Eman mengatakan, adanya dissenting opinion dalam vonis kasus ini memunculkan kecurigaan. Pasalnya, ungkap Eman, kalau muncul dissenting opinion berarti ada pertimbangan dari salah seorang hakim bahwa kasus ini bukan pidana.

“Tetapi nanti kita lihatlah, apakah dua hakim majelis lainnya melanggar kode etik perilaku hakim atau tidak. Pelapor bisa melampirkan bukti pendukung berupa rekaman persidangan untuk menperkuat laporan ini,” pintanya.

Eman pun menegaskan proses lanjutan yang akan dilakukan KY terhadap laporan ini bukan untuk membatalkan putusan yang sudah ada. Akan tetapi, difokuskan untuk mengetahui perilaku busuk hakim ketika menjatuhkan putusan itu. “Tetapi, Saudara bisa mengajukan upaya hukum banding jika tidak puas dengan putusan itu,” sarannya.

Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Sudharmawatiningsih menghukum Ricksy dan Herland yang merupakan rekanan Chevron dalam pekerjaan pemulihan tanah terkontaminasi minyak dengan metode bioremediasi.

Majelis hakim menghukum Herland dengan pidana penjara 6 tahun dan denda sebesar Rp 250 juta subsider 3 bulan penjara. Sedangkan Ricksy dihukum 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.

Herland dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Majelis juga membebankan PT SJ untuk membayar uang pengganti sebesar AS$6,9 juta.

Sementara 4 dari 5 terdakwa lainnya dalam kasus ini berasal dari PT CPI, yakni Endah Rubiyanti (ER), Widodo (WD), Kukuh (KK), dan Bachtiar Abdul Fatah (BAF) masih dalam proses persidangan. Sedangkan satu tersangka lagi, Alexiat Tirtawidjaja (AT) hingga kini masih belum dapat dipulangkan ke Tanah Air lantaran masih berada di California, Amerika Serikat.

Klik Hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar