Selasa, 28 Mei 2013

Pengamat: Jika Chevron Hengkang, Indonesia Rugi

28 Mei 2013

Jakarta – Pemerintah didesak tidak menganggap enteng tudingan korupsi yang disampaikan aparat Kejaksaan Agung dalam masalah proyek bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) di sejumlah lokasi di Riau. Pasalnya dalam kasus ini investor migas mengancam hengkang karena merasa tidak mendapatkan kepastian hukum di tanah air.

Desakan disampaikan Direktur Indonesia for Public Trust, Hilmi Rahman Ibrahim, di Jakarta, Selasa (28/5). Ia mengatakan hal itu terkait penjemputan paksa pejabat bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia Bachtiar Abdul Fattah, dari rumahnya di Jakarta, Jumat (17/5) pekan lalu, yang kemudian juga diikuti dengan penahanan. “Kejaksaan Agung sungguh sangat sewenang-wenang,” kata Hilmi.
Ia mengatakan, semua instansi pemerintah yang terkait dengan proyek bioremediasi sudah menyatakan tidak ada kerugian negara, bahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah membatalkan penetapan tersangka Bachtiar Abdul Fattah, tetapi Kejaksaan Agung tetap saja memaksa seolah-olah ada kerugian negara sehingga harus mengkriminalisasi Chevron.

Dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Nasional (Unas) Jakarta itu mengingatkan pemerintah agar serius menangani permasalahan proyek bioremediasi Chevron di Riau itu, sebab investor sangat membutuhkan kepastian hukum untuk meneruskan investasinya di tanah air. “Bayangkan bila sekelas Chevron menganggap tidak ada kepastian hukum di sini, lalu mereka hengkang, berapa besar kerugian kita hanya karena aparat Kejaksaan Agung yang main paksa,” tutur Hilmi.

Dalam catatan media ini, hingga saat ini investasi hulu migas Chevron mencapai 3 miliar dollar AS atau 17 persen dari total investasi hulu migas tahun ini sebesar 23,5 miliar dollar AS. Chevron ditargetkan memproduksi minyak 320 ribu barel perhari (bph) atau mencapai 37,6 persen dari total produksi mnyak yang diusulkan dalam WP&B 2013 sebesar 850.000 bph.

Chevron masih menjadi kontraktor dengan investasi terbesar tahun ini sekitar 3 miliar dolla AS, disusul Total E&P Indonesia sekitar 2,5 miliar dollar AS, lalu Petamina, dan Conoco Phillips.

Sebagaimana diketahui, dalam kerjasama pertambangan antara BP Migas dan PT Chevron Pasific Indonesia disepakati bahwa PT Chevron harus melakukan bioremediasi alias penormalan fungsi tanah paska penambangan. Perusahaan asal Amerika Serikat itu lantas menggandeng PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya untuk menggarapnya.

Namun Kejaksaan Agung menuding kasus ini tidak dijalankan alias fiktif, sementara dana terus dikucurkan. Proyek yang berjalan dari 2003 hingga 2011 itu dinilai Kejaksaan Agung terdapat indikasi pidana korupsi yang merugikan negara sebesar 23 juta dollar AS atau setara dengan Rp 200 miliar dari biaya proyek yang nilainya US$ 270 juta atau Rp 2,5 triliun.

Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka dalam proyek ini, yaitu lima orang dari Chevron yaitu Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirtawidjaja, dan Bachtiar Abdul Fatah. Sedangkan dua tersangka lainnya, yaitu Ricky Prematusuri adalah direktur perusahaan kontraktor PT GPI, dan Herlan selaku Direktur PT Sumigita Jaya.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Selasa (7/5) telah menjatuhkan vonis pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 200 juta subsider kurungan dua bulan kepada Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI), dan Ricky Prematuri yang menjadi kontraktor pelaksana dalam proyek bioremediasi PT CPI.

Pengadilan juga memvonis Herlan bin Ompu, Direktur PT GPI dengan pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 250 juta. Sementara penetapan tersangka atas diri Bachtiar Abdul Fatah dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar hukum.

Pengamat hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Dr Mudzakkir, mempertanyakan sikap majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang tidak menggunakan UU Lingkungan Hidup, tetapi malah langsung menjerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi saat menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara bagi Herlan dan 5 tahun penjara bagi Ricksy.

Padahal , lanjut Mudzakkir, perizinan itu diatur dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU ini, diatur sanksi teguran, administratif hingga pidana bagi yang melanggar. Anehnya, jaksa malah menjerat para terdakwa bukan dengan UU 32/2009 itu tetapi dengan UU Tindak Pidana Korupsi. “Itulah maunya jaksa dan hakim,” cetus Mudzakkir beberapa waktu lalu.

Terkait perizinan pengolahan limbah, di persidangan juga terbukti bahwa rekanan Chevron tidak melanggar syarat-syarat yang diharuskan UU, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. Anehnya, kasus izin ini ditarik jaksa dan diamini hakim sebagai tindak korupsi.

Sementara menyangkut pasal merugian negara itu disanggah oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Kabag Humas SKK Migas, Elan Biantoro, dalam laporan tertulisnya Minggu (12/5) mengatakan, dalam kasus bioremediasi Chevron Pasific Indonesia sejauh ini belum ada uang negara yang dikeluarkan untuk kasus tersebut. “Semua pengeluaran dan pembiayaan pekerjaan bioremediasi ini belum dimasukkan dalam account cost recovery oleh SKK Migas. Jadi, belum ada kerugian negara sedikitpun,” tegas Elen.

Sementara menyangkut habisnya masa izin bioremediasi PT CPI, Deputi IV Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Masnelyati Hilman menjelaskan, bahwa Chevron sudah mengajukan perpanjangan izin ke KLH namun izin tak kunjung terbit meski seharusnya izin keluar 45 hari setelah pengajuan. “Menteri LH berpendapat tidak tepat jika perusahaan yang sudah siap disalahkan gara-gara administrasinya kurang lengkap karena lamanya izin dari KLH,” kata Masnelyati saat memberikan kesaksikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (3/4) lalu.

Direktur Indonesia for Public Trust, Hilmi Rahman Ibrahim, menilai tindakan Kejaksaan Agung membahayakan masa depan investasi di tanah air karena mengacaukan hukum pidana dan hukum perdata, serta mengabaikan perjanjian kerjasama antara PT CPI dengan SKK Migas (dulu BP Migas).

Ia berharap pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, untuk segera turun tangan agar kasus ini tidak semakin meluas. “Tidak ada gunanya kita teriak-teriak mengundang investor, kalau investor yang sudah ada justru dikriminalisasi,” kata Hilmi.

Menurut Hilmi, Kejaksaan Agung tidak bisa menangkap dan menahan seseoran hanya karena tidak bersedia datang memenuhi panggilannya. Sebab, selain sudah ada putusan dari PN Jakarta Selatan, juga sudah ada laporan dari pihak yang ditangkap itu ke Mabes Polri atas kecenderungan pelanggaran hukum oleh Kejaksaan Agung. “Ini negara hukum, Kejaksaan Agung jangan sewenang-wenang dengan kekuasaannya. Mari kita beri kepastian hukum kepada siapapun, baik warga negara maupun investor,” pinta Direktur Indonesia for Public Trust itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar