Senin, 20 Mei 2013

Surat Terbuka buat Jaksa Agung, Jaksa dan Hakim Tipikor

Sebuah ajakan untuk menggunakan otak dan nurani dalam bekerja:
Bapak Jaksa Agung, Bapak/Ibu Jaksa, dan Bapak/Ibu Hakim yang saya hormati,
Ijinkan saya menyampaikan pendapat dan harapan saya. Hal ini terkait kasus bioremediasi dengan tuduhan korupsi kepada 4 karyawan Chevron (Rumbi, Kukuh, Widodo, dan juga yang baru ditahan Bachtiar) dan 2 orang kontraktornya yang sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor (Ricksy dan Herlan).

Keadilan dalam kekuasaan manusia Kita semua sadar, keadilan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Itulah yang kita sebut Keadilan Sejati.
Bagaimana dengan keadilan dalam kekuasaan manusia?
Satu hal yang pasti, tidak mungkin sama dengan Tuhan, karena manusia mungkin salah dan berbuat salah itu manusiawi. Yang bisa diusahakan manusia adalah berusaha sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.

To err is human.

Oleh karena itulah diciptakan Sistem Peradilan. Sebuah sistem yang melibatkan Polisi, Jaksa, Hakim dengan eksaminasi berlapis dan harus berdasarkan bukti dan fakta yang jelas. Dan tentu saja ada peraturan dan Undang-Undang sebagai tuntunan dan referensi.

Namun semua itu masih menyisakan paling tidak kemungkinan:

Kemungkinan Kesalahan 1: Memenjarakan orang tak bersalah

Kemungkinan Kesalahan 2: Membebaskan orang bersalah

Kedua kesalahan itu mungkin terjadi dan bisa menyengsarakan, apalagi jika yang dipenjarakan adalah orang tak bersalah.

Sekali lagi, inilah sebabnya saya mempercayakan hidup keluarga saya kepada keyakinan bahwa sistem Peradilan mengutamakan prinsip kehati-hatian yang berdasarkan hukum dan Undang-Undang.

Saya pernah membaca tulisan almarhum Bismar Siregar, mantan Hakim Agung, yang mengatakan

“Lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah, daripada menghukum 1 orang tak bersalah, bila hakim tidak melihat cukup bukti atau ragu-ragu”.
Mengikuti kasus bioremediasi ini, membawa saya kepada keyakinan bahwa Kejaksaan Agung melakukan Kesalahan no 1 diatas dengan mendakwa orang-orang tak bersalah. Lebih jauh lagi, dua orang sudah dipenjara selama beberapa bulan dan minggu lalu sudah divonis bersalah oleh Hakim. Ada satu dissenting opinion yang menguatkan keyakinan saya. Satu orang hakim bukan ragu-ragu, ia menyatakan terdakwa tidak bersalah!

Dukungan saya kepada Rumbi, Kukuh, Widodo, Ricksy, Herland dan Bachtiar
Secara pribadi saya hanya mengenal 1 dari 6 orang yang sedang diperkarakan. Saya pernah bekerja di Chevron (waktu itu Caltex) antara tahun 1998-2005, dan cukup memahami bagaimana perusahaan ini bekerja dan nilai-nilai apa yang dianut DAN dilakukan.

Sekarang ini saya bekerja sebagai konsultan independen dimana sejak 2 tahun terakhir juga menangani Chevron untuk memastikan proses berjalan efektif dan efisien. Saya melihat komitmen perusahaan terhadap Safety dan Compliance malah semakin tinggi. Kecil sekali kemungkinan pelangaran dengan sengaja dilakukan di level korporasi, yakni proyek fiktif (belakangan di ubah menjadi melanggar KepMen KLH?).

Di luar itu, yang tidak saya pahami adalah sebenarnya dakwaan apa yang dialamatkan kepada Rumbi, Kukuh, dan Widodo? Kenapa pula kontraktor yang hanya bekerja sesuai kontrak di vonis KORUPSI? Dan mengapa Bahtiar kembali dijebloskan kedalam penjara, padahal dalam keputusan Praperadilan sudah dinyatakan penahanan dan status tersangka tidak sah?
Apa dasarnya? Apa bukti awalnya?

Coba Bapak/Ibu Jaksa dan Bapak/Ibu Hakim dilihat lagi dengan jernih perkara ini. Bayangkan anda harus menjelaskan ini nanti kepada generasi muda kita yang membahas ini di kampus dan di kelas. Betapa jauhnya logika hukum yang terjadi disini dengan logika sederhana yang pendidikan kita ajarkan kepada anak SD dan SMP.

Dalam logika yang simpel dan lurus, kita diajarkan kepada hukum sebab-akibat. Dalam kasus ini, yang mena sebab dan yang mana akibat menjadi rancu. Saya mencoba menggunakan otak saya mengerti jalannya persidangan. Saya menjadi frustasi Bapak, Ibu…Mengikuti kasus ini, terutama logika Saksi Ahli (yang juga pengambil sampel dan Saksi Fakta), tuntutan Jaksa dan Bagaimana Hakim Ketua berperan sebagai Pembela Jaksa membuat saya merasa dihina secara intelektualitas. Rugilah semua hal yang diajarkan dari SD sampai lulus S2 karena semua tidak ada yang masuk di otak saya.

Oleh karena itu saya mencoba menggunakan nurani saya. Hasilnya lebih parah, Bapak/Ibu…Setiap kali saya membaca berita tentang kasus ini, perut saya mules. Demikian juga dialami oleh istri saya. Coba anda bayangkan, saya sudah berhenti menjadi karyawan lebih dari 7 tahun yang lalu, namun merasa ini penzaliman yang luar biasa. Bayangkan apa yang terjadi pada keluarga besar Ricksy, Herland, Rumbi, Kukuh, Widodo, dan Bahtiar?

Yang saya minta adalah ajakan untuk bersama-sama menggunakan otak dan nurani kita. Saya mengandalkan Bapak dan Ibu di lembaga peradilan untuk bekerja dengan baik, seperti anda mengandalkan saya bekerja di sektor swasta. Negara ini membutuhkan yang terbaik. Saya percaya di Kejaksaan dan di Pengadilan Tipikor masih banyak Jaksa dan Hakim yang bersih yang menggunakan otak dan nuraninya.

Walaupun dulu waktu penunjukan Abdul Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung, oleh anggota DPR dia dijuluki sebagai “Ustad di Kampung Maling” ataupun kehebohan tertangkapnya Jaksa Urip. Begitu juga dengan Hakim Tipikor yang belakangan ini bertubi-tubi hakimnya tertangkap tangan.

Saya percaya pasti lebih banyak hakim yang lurus dan adil. Lebih banyak jaksa yang berniat menegakkan keadilan.

Bekerja sebagai sebuah doa

Semakin saya bertambah umur, semakin saya menyadari bahwa bekerja adalah sebuah kepercayaan, sebuah amanah. Bekerja juga merupakan doa yang kita lakukan sehari-hari untuk mewujudkan mimpi kita sebagai pribadi maupun profesional.

Sebagai orang Bali, sejak kecil saya diajarkan bahwa bekerja itu adalah “taksu”. Penghayatan total yang oleh para seniman Bali diwujudkan dalam patung yang seakan-akan bernyawa, penari Barong yang seakan-akan bukan ditarikan namun “itulah Barong”. Taksu berarti kita memberikan ruh kepada apa yang kita kerjakan. Kita tuangkan jiwa, nurani, dan akal pikiran kita dalam pekerjaan. Sehingga kerja kita menjadi berkah kepada sekelilingnya. Saya ingin mengajak Bapak/Ibu untuk bersama-sama menghayati peran kita dan bekerja menggunakan segenap jiwa kita didalamnya. Bukan atas pesanan atau niat jahat yang dibungkus dalam kekuasaan. Itu sebuah kezaliman.

Saya menolak dan akan melawan kezaliman
Dalam segala keterbatasan saya sebagai pribadi, saya akan ikut melawan kezaliman yang dialami oleh orang-orang yang saya percaya tidak bersalah. Saya juga mengajak para jaksa dan hakim bersih untuk bergabung. Karena inilah masa depan kita bersama. Sistem peradilan sesat akan menyengsarakan kita semua.

Seorang tokoh, Edmund Burke, pernah mengatakan:

Yang diinginkan oleh kuasa jahat untuk berkuasa hanyalah jika orang-orang baik diam tidak berbuat apa-apa.

Sekali lagi dengan segala keterbatasan saya, saya akan menggunakan dua tangan saya dan apa yang saya punyai untuk ikut dalam sebuah gerakan untuk melawan kesewenang-wenangan ini. Saya akan mengajak rekan-rekan dan para pembaca yang setuju untuk BANGKIT dan melawan kesewenang-wenangan yang terjadi ini.

Nb. Saya cukup menyadari bahwa surat terbuka ini mungkin tidak sampai kepada orang yang saya tujukan atau pikiran kita terlalu jauh berbeda, namun semoga kita semua bisa dibawa kepada jalan yang berdasarkan pada sistematika berpikir yang menggunakan otak dan hati nurani sehingga jalan keadilan benar-benar adil.

Hormat saya,

Gede Manggala

orang biasa, pekerja dan pembayar pajak

Klik Blog Gede Manggala

Tidak ada komentar:

Posting Komentar