JAKARTA – Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan menyerukan agar segenap elemen masyarakat Indonesia untuk bersatu memperjuangkan rule of law (penegakan hukum) di negeri ini, dengan melawan tindakan sewenang-wenang dan segala upaya kriminalisasi.
Seruan ini diungkapkan Anies terkait banyaknya kasus bisnis korporasi dua tahun terakhir ini, yang secara sewenang-wenang diseret ke ranah pidana atau dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum. Selain kasus Merpati Nusantara, PT Telkomsel Tbk, dan PT lndosat Tbk, yang sedang panas saat ini ialah kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia.
Proyek bioremediasi Chevron yang oleh pemerintah, baik Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) maupun Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dinyatakan sudah berjalan baik dan sukses, justru dituduh merugikan negara oleh Kejaksaan Agung. Empat karyawan Chevron dan Direktur dua perusahaan kontraktor Chevron, dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung.
Celakanya, meski di persidangan terungkap bahwa unsur pidana yang dituduhkan Kejaksaan lemah, namun hakim tetap mengadili kasus itu dan telah menjatuhkan vonis kepada Direktur dua perusahaan kontraktor Chevron.
Kejaksaan sendiri dalam menangani kasus itu, menggunakan keterangan Edison Effendi, seseorang yang pernah dua kali kalah dalam tender proyek bioremediasi Chevron. Banyak pihak yang menduga, kriminalisasi dalam proyek bioremediasi Chevron bermotif balas dendam Edison Effendi, menggunakan jaringan oknum Kejaksaan Agung yang dekat dengannya.
Dalam sebuah diskusi yang digelar Universitas Paramadina di Jakarta pada Rabu, 8 Mei 2013, terungkap bahwa banyaknya kriminalisasi terhadap kasus bisnis korporasi, telah membuat Indonesia berada dalam jurang ketidakpastian hukum. Selain membuat turun peringkat Indonesia sebagai negara tujuan investasi, kriminalisasi itu telah menindak hak-hak hukum dan hak asasi warga negara.
Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Lukman Mahfoedz yang menjadi pembicara dalam diskusi itu mengatakan, industri hulu migas merupakan sektor yang sangat ketat diatur oleh peraturan perundang-undangan. Setiap aktivitasnya didasarkan pada proses baku, tinjauan dan persetujuan lembaga negara yang berwenang, dan diaudit secara teratur oleh auditor pemerintah.
Setiap karyawan yang bekerja di industri migas, juga bertindak dengan standar etika dan kepatuhan yang tinggi terhadap hukum. Demikian pula mitra kerja atau kontraktornya. Mereka tidak akan bekerja, menggunakan dana, mengambil keputusan dan sebagainya, sebelum ada persetujuan dari lembaga pemerintah yang berwenang. Persetujuan itu pun keluar setelah dilakukan audit berulang-ulang.
Anies Baswedan dalam kesempatan itu mengatakan, Indonesia memerlukan tegaknya Rule of Law. Demokrasi dan pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup untuk membawa Indonesia bangkit, tanpa adanya penegakan hukum yang benar dan keadilan bagi seluruh warga negara.
Terkait banyaknya kasus korporasi yang dikriminalisasi secara sewenang-wenang termasuk kasus bioremediasi Chevron, Anies meminta agar seluruh elemen masyarakat tidak tinggal diam. “Orang-orang yang baik, perusahaan-perusahaan yang baik, organisasi yang baik, harus berdiri dan melawan tindakan sewenang-wenang dan segala upaya kriminalisasi,” tegas Anies.
Putusan Tak Sesuai Aturan
Secara terpisah, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan mengaku, industri migas utamanya Chevron yang karyawan dan kontraktornya sedang menghadapi kasus hukum, saat ini sedang berhadapan dengan ketidakpastian hukum dan kesimpangsiuran penafsiran peraturan perundang-undangan.
Kondisi itu diperparah munculnya putusan atau vonis Majelis Hakim pada Selasa dan Rabu, 7 dan 8 Mei 2013, yang menyatakan dua kontraktor Chevron bersalah. Dua kontraktor Chevron itu, didakwa jaksa dan divonis hakim karena dianggap tidak memiliki izin untuk melakukan pengolahan limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) seperti yang disyaratkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3.
Padahal menurut Keputusan Menteri (Kepmen) Lingkungan Hidup (LH) Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi Secara Biologis juncto PP 18/1999, yang wajib untuk mempunyai izin pengelolaan limbah adalah Chevron sebagai penghasil limbah minyak bumi, bukan kontraktornya.
“Chevron punya izin pengelolaan limbah itu. Tetapi kontraktor Chevron tidak memerlukan izin, karena sesuai tender dan kontraknya, pekerjaan kontraktor tersebut hanya membantu mengoperasikan, merawat dan mengelola Fasilitas Bioremediasi Tanah (SBF) yang dimiliki Chevron,” tegas Dony di Jakarta, Kamis, 9 Mei 2013.
Hal ini dikuatkan kesaksian Deputi IV Bidang Pengelolaan B3 KLH, Masnellyarti Hilman di pengadilan kasus bioremediasi beberapa waktu lalu. Masnellyarti menyatakan secara tegas bahwa pengoperasian fasilitas bioremediasi oleh Chevron secara teknis, izinnya sudah memenuhi syarat sesuai dengan Kepmen LH 128/2003 dan PP 18/2003.
“Tindakan Kejaksaan Agung dan putusan Majelis Hakim yang dipimpin Sudharmawatiningsih dalam kasus ini, telah mengabaikan keberadaan dan otoritas regulator di bidang lingkungan yaitu KLH, dan regulator industri hulu migas Indonesia yaitu SKK Migas, juga badan audit pemerintah seperti BPKP dan BPK. Lembaga-lembaga ini beserta regulasinya yang telah kami ikuti dan patuhi selama berpuluh tahun dalam menjalankan operasi migas di Indonesia,” tandas Dony.
“Jika KLH dan SKK Migas sebagai wakil pemerintah dan regulator menyatakan proyek bioremediasi ini telah sesuai peraturan dan taat hukum, lantas Kejagung dan Majelis Hakim merujuk ke regulasi dan regulator yang mana dalam menetapkan adanya kesalahan atau tindak pidana?,” tambahnya.
Diduga Ada Pemerasan
Lebih lanjut Dony menegaskan, Chevron dan seluruh pelaku industri migas membutuhkan kepastian dari pemerintah, tentang siapa yang harus didengar dan dipatuhi dalam menjalankan operasi migas di Indonesia. Karena ternyata ada lembaga negara lain yang bisa menafsirkan sendiri regulasi, tanpa konfirmasi dan mengindahkan regulator yang ada seperti yang terjadi pada kasus bioremediasi ini.
“Tanpa kepastian dalam penegakan hukum maka seluruh pelaku migas akan dipenuhi keraguan dalam menjalankan operasi. Sangat penting bagi Chevron dan seluruh karyawan dalam memastikan ketaatan terhadap hukum untuk bisa terus melanjutkan operasi,” pungkasnya.
Dalam diskusi yang digelar Paramadina, hadir pula Hotasi Nababan, Direktur Utama Merpati yang sempat dikriminalisasi Kejaksaan Agung dengan tuduhan korupsi, namun diputus bebas oleh pengadilan. Menurutnya, saat ini kriminalisasi oleh aparat penegak hukum terus mengintai para pekerja korporasi, baik BUMN maupun swasta.
Akibat ketidakjelasan intrepertasi hukum dan tumpang tindih peraturan, siapa pun sangat mungkin dipersalahkan dengan dakwaan korupsi. “Integritas sebagian oknum di institusi peradilan kita, termasuk kejaksaan, membuat situasi semakin parah. Saya dan beberapa teman bertekat untuk terus bergerak meluruskan keadaan.”ungkap Hotasi berapi-api.
Hotasi juga mengungkapkan, saat ia dituduh korupsi oleh Kejaksaan Agung dan diseret ke pengadilan, ada upaya pemerasan oleh oknum tertentu terhadap dirinya dalam kasus Merpati. Sekarang ia pun menduga, hal yang sama sangat mungkin terjadi dalam kasus Chevron.
(Iksan Tejo/duniaenergi@yahoo.co.id)
Klik Dunia Energi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar