Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai |
21 Mei 2013
JAKARTA – Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan bahwa penanganan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia oleh Kejaksaan Agung, merupakan suatu bentuk nyata kejahatan hukum di zaman modern.
Pernyataan ini disampaikan Komisioner sekaligus Koordinator Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Natalius Pigai di Jakarta, Selasa, 21 Mei 2013. Pigai menjelaskan, Komnas HAM telah melakukan pemantauan dan penyelidikan cukup lama, terhadap penanganan kasus bioremediasi Chevron ini oleh Kejaksaan Agung dan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Pernyataan ini disampaikan Komisioner sekaligus Koordinator Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Natalius Pigai di Jakarta, Selasa, 21 Mei 2013. Pigai menjelaskan, Komnas HAM telah melakukan pemantauan dan penyelidikan cukup lama, terhadap penanganan kasus bioremediasi Chevron ini oleh Kejaksaan Agung dan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Komnas HAM, kata Pigai, menghadirkan berbagai pihak yang terkait kasus ini, termasuk para korban atau keluarga terdakwa, pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pejabat Kementerian Lingkungan Hidup, para ahli bioremediasi, saksi ahli dari BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), BPK (Badan Pengawas Keuangan), dan banyak lainnya untuk dimintai keterangan.
Hasilnya, lanjut Pigai, Komnas HAM menemukan empat aspek pelanggaran HAM yang dialami para terdakwa dalam penanganan kasus bioremediasi Chevron oleh Kejaksaan Agung dan Majelis Hakim Tipikor. Pertama, terlanggarnya hak untuk mendapatkan kepastian dan perlakuan hukum yang sama.
Kedua, terlanggarnya hak untuk tidak ditangkap dan ditahan dengan semena-mena. Ketiga, terlanggarnya hak untuk mendapatkan keadilan melalui proses hukum yang jujur, adil, dan berimbang. Keempat, terlanggarnya hak untuk tidak dipidana karena perjanjian perdata.
Temuan Komnas HAM ini, jelasnya, didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. “Kami secara keseluruhan berkesimpulan bahwa kasus bioremediasi yang setahun ditangani oleh Kejaksaan ini telah melanggar hak asasi manusia sesuai UU 39 tahun 1999,” tegasnya.
Pigai menuturkan, dalam penyelidikan Komnas HAM terungkap 11 variabel kejanggalan penanganan kasus bioremediasi oleh Kejaksaan Agung, yang kami rangkum dalam 400 halaman laporan hasil pemantauan, kesimpulan, dan rekomendasi.
“Kami punya bukti bahwa ahli bioremediasi dari Kejaksaan Agung mempunyai konflik kepentingan yang sangat besar dalam kasus ini,” ungkap Pigai tentang salah satu variabel kejanggalan tersebut.
“Komnas HAM jarang membuat laporan hasil pemantauan sampai 400 halaman lho, biasanya 50 sampai 100 halaman, paling banter 200. Ini yang paling banyak, karena dalam pemahaman dan potret kami, ini sebuah kejahatan hukum di zaman modern ini,” tandasnya.
Kejahatan hukum yang dimaksud adalah, sesuatu yang sesungguhnya salah, tapi dilaksanakan. “Jadi substansi hukum dan makna hukum adalah, hukum itu bermanfaat bukan karena sekedar mengambil suatu keputusan. Tapi sejauh mana hasilnya dirasakan oleh semua orang, bahwa keputusan itu benar,” terangnya.
“Jadi jangan dilihat keputusan yang diambilnya, tetapi hasilnya itu benar atau tidak di hadapan publik? Nah itu hukum yang benar. Kalau setelah mengambil keputusan semua masyarakat merasa kecewa, maka itu hukum tidak bermanfaat,” tukasnya.
Pada sisi kosong inilah (hukum yang tidak bermanfaat, red), kata Pigai, HAM masuk menabrak semua sendi-sendi yang ada. Orang bunuh diri saja, padahal menghilangkan nyawanya sendiri, bisa dianggap melanggar HAM. Apalagi yang perbuatannya melanggar hak asasi orang lain.
“Jadi Komnas HAM posisinya imparsial dan independen, tidak memihak dan tidak bisa diintervensi oleh siapa saja,” kata Pigai lagi saat menyampaikan hasil pemantauan tersebut di kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari Nomor 4B, Menteng, Jakarta Pusat.
Dengan hasil yang ada ini, lanjutnya, Komnas HAM akan menyampaikan hasil pemantauan itu ke Presiden, Komisi III DPR RI, Kejaksaan, dan Komisi Yudisial. “Saya juga sampaikan kepada semua tim saya, kita tidak sekedar mengirimkan, bila perlu mengantar langsung,” jelasnya.
“Jadi ada sesuatu yang kita bergerak secara visual, tidak sekedar surat, sehingga dengan begitu apa yang dilakukan Komnas HAM ini bisa dirasakan, dilihat, dan segera bisa ditindaklanjuti,” pungkas Pigai.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Klik Dunia-energi.com
Hasilnya, lanjut Pigai, Komnas HAM menemukan empat aspek pelanggaran HAM yang dialami para terdakwa dalam penanganan kasus bioremediasi Chevron oleh Kejaksaan Agung dan Majelis Hakim Tipikor. Pertama, terlanggarnya hak untuk mendapatkan kepastian dan perlakuan hukum yang sama.
Kedua, terlanggarnya hak untuk tidak ditangkap dan ditahan dengan semena-mena. Ketiga, terlanggarnya hak untuk mendapatkan keadilan melalui proses hukum yang jujur, adil, dan berimbang. Keempat, terlanggarnya hak untuk tidak dipidana karena perjanjian perdata.
Temuan Komnas HAM ini, jelasnya, didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. “Kami secara keseluruhan berkesimpulan bahwa kasus bioremediasi yang setahun ditangani oleh Kejaksaan ini telah melanggar hak asasi manusia sesuai UU 39 tahun 1999,” tegasnya.
Pigai menuturkan, dalam penyelidikan Komnas HAM terungkap 11 variabel kejanggalan penanganan kasus bioremediasi oleh Kejaksaan Agung, yang kami rangkum dalam 400 halaman laporan hasil pemantauan, kesimpulan, dan rekomendasi.
“Kami punya bukti bahwa ahli bioremediasi dari Kejaksaan Agung mempunyai konflik kepentingan yang sangat besar dalam kasus ini,” ungkap Pigai tentang salah satu variabel kejanggalan tersebut.
“Komnas HAM jarang membuat laporan hasil pemantauan sampai 400 halaman lho, biasanya 50 sampai 100 halaman, paling banter 200. Ini yang paling banyak, karena dalam pemahaman dan potret kami, ini sebuah kejahatan hukum di zaman modern ini,” tandasnya.
Kejahatan hukum yang dimaksud adalah, sesuatu yang sesungguhnya salah, tapi dilaksanakan. “Jadi substansi hukum dan makna hukum adalah, hukum itu bermanfaat bukan karena sekedar mengambil suatu keputusan. Tapi sejauh mana hasilnya dirasakan oleh semua orang, bahwa keputusan itu benar,” terangnya.
“Jadi jangan dilihat keputusan yang diambilnya, tetapi hasilnya itu benar atau tidak di hadapan publik? Nah itu hukum yang benar. Kalau setelah mengambil keputusan semua masyarakat merasa kecewa, maka itu hukum tidak bermanfaat,” tukasnya.
Pada sisi kosong inilah (hukum yang tidak bermanfaat, red), kata Pigai, HAM masuk menabrak semua sendi-sendi yang ada. Orang bunuh diri saja, padahal menghilangkan nyawanya sendiri, bisa dianggap melanggar HAM. Apalagi yang perbuatannya melanggar hak asasi orang lain.
“Jadi Komnas HAM posisinya imparsial dan independen, tidak memihak dan tidak bisa diintervensi oleh siapa saja,” kata Pigai lagi saat menyampaikan hasil pemantauan tersebut di kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari Nomor 4B, Menteng, Jakarta Pusat.
Dengan hasil yang ada ini, lanjutnya, Komnas HAM akan menyampaikan hasil pemantauan itu ke Presiden, Komisi III DPR RI, Kejaksaan, dan Komisi Yudisial. “Saya juga sampaikan kepada semua tim saya, kita tidak sekedar mengirimkan, bila perlu mengantar langsung,” jelasnya.
“Jadi ada sesuatu yang kita bergerak secara visual, tidak sekedar surat, sehingga dengan begitu apa yang dilakukan Komnas HAM ini bisa dirasakan, dilihat, dan segera bisa ditindaklanjuti,” pungkas Pigai.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Klik Dunia-energi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar