Kepala Divisi Humas SKK Migas Elan Budiantoro (Jaringnews/Albi Wahyudi) |
JAKARTA, Jaringnews.com - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) merasa prihatin dengan kejadian yang menimpa pekerja PT Chevron Pacific Indonesia terkait kasus bioremediasi dan khawatir hal tersebut dapat berdampak buruk terhadap iklim investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi Indonesia.
Saat ini pimpinan SKK Migas dan pimpinan para KKKS produksi berupaya menenangkan kekhawatiran puluhan ribu pekerja hulu minyak dan gas bumi agar mereka masih tetap bisa fokus bekerja seperti biasa.
Kepala Bagian Humas SKK Migas Elan Budiantoro menjelaskan, berdasarkan prinsip kontrak kerjasama jika memang terbukti ada permasalahan dalam pelaksanaan kontrak maka hal tersebut merupakan permasalahan hukum perdata.
Selain itu, SKK Migas juga telah melakukan suspended account sesuai Pedoman Tata Kerja yaitu seluruh biaya operasi yang terkait bioremediasi telah ditangguhkan sehingga tidak terjadi kerugian Negara.
"Meski demikian, kami meyakini bahwa pekerjaan bioremediasi adalah pekerjaan yang perlu dilakukan untuk menjaga lingkungan sesuai dengan aturan yang ada di Kementrian Lingkungan Hidup," kata Elan di Jakarta, Kamis (9/5).
Dia mengkhawatirkan, kasus bioremediasi chevron dapat mengganggu iklim investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi yang pada akhirnya dapat menghambat upaya Pemerintah untuk menaikkan produksi serta meningkatkan cadangan minyak dan gas bumi nasional.
"Kepada para pekerja Chevron. Kami menyampaikan empati yang sebesar-besarnya. Kami juga berharap pekerja Chevron tidak perlu berkecil hati dan tetap bekerja dengan baik," ujarnya.
Pengadilan Tipikor memvonis tersangka Riscky Prematuri 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta dan tersangka Herlan bin Ompu 6 tahun dan denda Rp 250 juta. Keduanya juga dikenakan kewajiban mengembalikan kerugian negara sebesar sekitar USD 9,9 juta.
Keduanya adalah pimpinan perusahaan jasa bioremediasi (PT. Green Planet dan PT. Sumigita) di lapangan minyak KKKS Chevron Pacific Indonesia.
"Akibat vonis ini membuat kekhawatiran para pelaku industri hulu migas baik pekerja KKKS dan pekerja perusahaan pendukung industri hulu migas," kata Elan.
Hal ini tentunya akan sangat mengganggu operasional eksplorasi dan eksploitasi migas yang saat ini sedang berusaha untuk meningkatkan laju produksi migas untuk penyediaan energi nasional dan pemasukan devisa negara.
"Pekerja hulu migas khawatir suatu saat bisa terkena kasus yang sama yang mereka anggap merupakan kriminalisasi dari suatu perkara perdata menjadi perkara pidana," ujar Elan.
Saat ini ada sekitar 25.000 pekerja KKKS dan lebih dari 15.000 pekerja perusahaan pendukung industri hulu migas yang tersebar di seluruh Indonesia. Khusus untuk Chevron yang berkontribusi 40% produksi minyak nasional memiliki lebih dari 6.000 pekerja dan lebih dari 3.000 tenaga pendukung operasional.
Elan juga mempertanyakan pengembalian kerugian negara yang sebesar USD 9,9 juta karena sejauh ini belum ada uang negara yang dikeluarkan dari pekerjaan bioremediasi yang dikerjakan baik oleh PT. Green Planet maupun PT. Sumigita.
"Semua pengeluaran dan pembiayaan pekerjaan bioremediasi ini belum dimasukkan dalam account cost recovery oleh SKK Migas, jadi belum ada kerugian negara sedikitpun," kata Elan.
SKK Migas mengharapkan jika ada permasalahan yang menyangkut hukum di industri hulu migas yang sangat spesifik pekerjaan teknisnya agar dibentuk komisi penyelidik yang terdiri dari para pakar bidang teknis migas terlebih dahulu sebelum masuk ke ranah hukum. Sehingga tidak muncul multi persepsi dari berbagai kalangan yang masih awam.
Semua warga negara memang tidak ada yang kebal hukum, namun dalam penegakan keadilan perlu konsistensi kepastian hukum yang proporsional dalam konteks detil kasus hukumnya. (Alb/ Deb)
Klik Jaringnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar