Penulis : Palupi
Annisa Auliani | Senin, 6 Mei 2013 | 09:42
WIB
RIAU, KOMPAS.com — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan ada indikasi Kejaksaan Agung telah melakukan pelanggaran HAM terkait penanganan kasus bioremediasi Chevron. Berikut ini adalah beberapa indikasi pelanggaran HAM berdasarkan hasil penyelidikan dan investigasi Komnas HAM, yang disampaikan anggota Komnas HAM Natalius Pigai, dalam siaran pers Minggu (5/5/2013).
Pertama, sebut Pigai, proyek bioremediasi adalah proyek perusahaan atau korporasi yang mekanisme pengadaan, perencanaan, dan persetujuannya mengikuti mekanisme PSC Migas. "Sehingga pertanggungjawabannya ada pada level korporasi, yaitu pimpinan korporasi/perusahaan," kata dia.
Kedua, lanjut Pigai, PT Chevron Pacific Indonesia mengacu pada Production Sharing Contract (PSC) dalam menjalankan proyek korporasi ini yang memiliki klausul. "Terkait perbedaan penafsiran soal kebutuhan, kerugian, dan segala macam, itu mekanismenya adalah perdata seperti yang diatur dalam kontrak tersebut. Kalau tidak bisa diselesaikan secara perdata maka dibawa ke arbitrase."
Ketiga, kata Pigai, semua terdakwa tidak memenuhi unsur sebagai pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai korporasi. "CPI juga telah menjelaskan bahwa proyek ini adalah proyek korporasi dan tidak ada karyawan yang melakukan kesalahan," tegas dia.
Bila Kejaksaan Agung berpendapat ada masalah dalam proyek ini, ujar Pigai, maka yang seharusnya diminta pertangunggjawaban adalah korporasi. "Bukan karyawannya. Sehingga penetapan tersangka dalam kasus proyek ini salah besar," kecam dia.
Indikasi keempat, lanjut Pigai, Kementerian Lingkungan Hidup telah menyampaikan tidak ada masalah atau pelanggaran izin oleh PT CPI maupun kontraktornya. "CPI telah memiliki izin dan KLH membolehkan CPI meneruskan proyek bioremediasi saat perpanjangan izin belum keluar dan ada berita acaranya," kata Pigai.
Ketika jaksa berkeras menyatakan kontraktor yang menggarap proyek bioremediasi PT CPI tidak mengantongi izin, KLH menjelaskan kontraktor memang tidak perlu izin. "(Karena) izin diberikan pada CPI yang memiliki limbah, bukan kontraktor," kata dia.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, hanya perusahaan pemilik limbah yang wajib mengantongi izin bioremediasi. Ketentuan itu merujuk PP No 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 juncto PP No 85 Tahun 1999 tentang Perubahan atas PP No 18 Tahun 1999. "KLH tak mewajibkan pihak ketiga punya izin, kita melihat Chevron-nya," ujar kata Kepala Deputi IV KLH Masnellyarti Hilman.
Kejaksaan Agung memaksakan kasus
Indikasi pelanggaran kelima, lanjut Pigai, Kejaksaan Agung mengambil sampel tanah dari 2 SBF, tetapi langsung menyimpulkan seluruh proyek di 9 SBF bermasalah. Para ahli yang dimintai keterangan oleh Komnas HAM mengatakan, metodologi pengambilan sampel itu tidak dapat digunakan, karena sampel dari dua SBF tidak dapat mewakili sembilan SBF. Apalagi jarak lokasi pengambilan sampel berjauhan dan butuh waktu berjam-jam untuk menjangkaunya. "Secara logika tidak dapat diterima," kata dia.
Indikasi keenam, sebut Pigai, adalah keterangan dari pelapor sekaligus saksi ahli jaksa, Edison Simbolon menjadi dasar dugaan korupsi yang didakwakan kepada para terdakwa. Edison mengatakan bahwa bioremediasi hanya diperbolehkan untuk TPH 7,5 persen sampai 15 persen.
Namun, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, tidak pernah ada ketentuan dalam Kepmen 128/2003 soal TPH minimal 7,5 persen itu. Bahkan, Kepmen tersebut mengatakan, bioremediasi boleh dilakukan untuk TPH di atas 1 persen dan maksimal 15 persen. "Dari situ kami menemukan bahwa dakwaan jaksa penuntut umum salah," kata Pigai.
Indikasi ketujuh, ada konflik kepentingan dari ahli Kejagung, Edison Effend. Selain menjadi saksi ahli, dia juga datang ke persidangan sebagai saksi fakta. "Tidak jelas statusnya sebagai saksi (fakta) atau ahli," kecam Pigai. Edison juga pernah terlibat proyek bioremediasi yang gagal di PT CPI pada 2004 serta gagal pada tender proyek bioremediasi CPI pada 2007 dan 2011.
Selanjutnya, sebut Pigai, audit kerugian negara sebagai dasar kasus korupsi seharusnya dilakukan oleh BPK, bukan BPKP. "Kejaksaan Agung justru memaksakan diri melakukan analisis sendiri," ujar dia. Selain itu, terkait dugaan korupsi pada pembayaran cost recovery, seharusnya merujuk pada mekanisme PSC yang merupakan ranah perdata dan penyelesaiannya melalui audit atau arbitrase bukan dibawa sebagai kasus pidana, demikian Natalius.
Kasus bioremediasi ini menyeret dua orang dari pihak kontraktor dan tiga orang dari pihak PT CPI. Kejaksaan Agung dianggap memaksakan perkara ini masuk ke ranah pidana korupsi. Berdasarkan keterangan saksi dari KLH, izin bioremediasi Chevron tak menyalahi aturan yang ada.
Sumber : ANT
Editor : Palupi Annisa Auliani
Klik Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar